Kilas Balik Mashlahah Mursalah Hukum Shalat Jumat di Tengah Pandemi Covid-19

Hukum Shalat Jumat saat Covid-19

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung di Indonesia sejak suspect pertama teridentifikasi pada bulan Maret lalu. Masyarakat Indonesia pun sudah tidak asing lagi dengan protokol kesehatan yang diterbitkan pemerintah untuk menghadapi pandemi Covid-19 (harus menjaga jarak ataupun memakai masker), yang mana kemudian pada masa berlakunya PSBB mengharuskan masyarakat untuk tetap di rumah saja.

Banyak sekali pertentangan dan problematika yang timbul di kemudian hari berkaitan dalam keadaaan mematuhi protokol kesehatan khusus pandemi. Pada masa awal pandemi sekitar kurun bulan April atau lebih tepatnya sebelum era new normal, masyarakat muslim yang bermukim pada daerah yang memiliki suspect Covid-19 memiliki kekhawatiran untuk melakukan shalat jamaah yang merupakan rutinitas harian seorang muslim.

Kekhawatiran ini hadir ke permukaan disebabkan oleh doktrin yang berdasar pada penelitian WHO yang juga kemudian menjadi himbauan pemerintah Indonesia bahwa virus Covid-19 dapat menyebar melalui udara dalam kondisi ruang tertutup dan ramai. Maklum, kekhawatiran ini terjadi karena secara kuantiti bahkan kegiatan shalat jamaah ini dilakukan 5 kali sehari, tentunya dalam sebuah masjid ataupun musholla yang beruang tertutup. Seperti halnya probematika shalat berjamaah, termasuk juga di dalamnya adalah shalat Jumat yang diharuskan berjamaah.

Bacaan Lainnya
DONASI

Permasalahan Dalam Lingkup Khusus Sholat Jumat

Pada hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa shalat Jumat dilakukan secara berjamaah, jumlah yang harus hadir minimal 40 orang dan dilakukan di masjid yang notabenenya ruangan tertutup. Lantas bagaimana hukum kewajiban shalat Jumat bagi laki-laki muslim di tengah pandemi? Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa laki-laki memiliki hukum wajib atau berkewajiban shalat Jumat sebagaimana dalil diwajibkannya shalat Jumat yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Jumuah ayat 9:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka besegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.

Tafsir ayat tersebut ditelaah oleh seorang spesialisai hukum Islam dan filsafat hukum Islam asal Suriah yakni Prof. Wahbah Mustafa al-Zuhayli atau yang lebih familiar dengan nama Syekh Wahbah Zuhayli. Menurut Prof Wahbah, dalam ayat tersebut orang beriman diperintahkan untuk bersegera, yang berarti menuntut keharusan. Ada juga kalimat tinggalkan jual beli. “Kalau perintah itu bukan wajib lantas mengapa dilarang jual beli?

Maksud perintah bersegera di sini ialah pergi mendatangi shalat Jumat, bukan tergesa-gesa,” tulis Prof Wahbah dalam kitab yang berjudul Fiqhul Islam Wa Adillatuhu yang sudah diterbitkan dan dicetak ulang sejak tahun 1984. Dalam melaksanakan shalat Jumat, sudah selayaknya kita mengetahui tata cara shalat Jumat. Ijma’ para ulama menyepakati bahwa ada dua rukun shalat Jumat, yakni shalat dan khutbah. Shalatnya terdiri dua rakaat dan dibaca dengan suara keras. Sementara dua khutbah sebelum shalat Jumat hukumnya wajib. Namun yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah syarat shalat Jumat yang harus berjamah minimal 40 orang seperti uraian di atas.

Kilas Istishlah Hukum Sholat Jumat

Perumusan Permasalahan : Masyarakat di tengah Covid-19 era PSBB ataupun daerah merah pada era new normal memiliki kekhawatiran dan bimbang untuk tidak melakukan shalat jumat lebih dari batas maksimal yakni lebih dari 3 kali dikarenakan dapat menyebarnya virus melalui udara pada ruangan tertutup dan ramai. Referensi hadist: مَنْ سَمِعَ الاَذَان ثَلاَثَ جُمُعَاتٍ ثًمَّ لم يَحْضُرْ كُتِبَ مِنَ المُنافقيْن. Yang memiliki arti bahwa barang siapa yang mendengarkan adzan pada tiga kali shalat Jumat, kemudian ia tidak menghadirinya (melaksanakan shalat Jumat) maka niscaya namanya akan ditulis kedalam golongan orang kafir munafir (HR. At-Thabarani).

Metode Penetapan Hukum : Istishlah (Marlahah Mursalah)

Permasalahan Berdasarkan Istishlah:

Berdasarkan referensi dari hadist

HR at-Thabarani

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتْبَ مِنَ المُنَافِقِيْنَ

“ siapa saja yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali tanpa udzur, niscaya ia ditulis sebagai orang kafir nifaq atau munafik.

HR Ibnu Majah

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ، ثَلَاثًا، مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ، طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Siapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga (kali) tanpa situasi darurat, niscaya Allah menutup hatinya.”

Berdasarkan referensi dalil di kitab – kitab klasik

Kitab al-inshaf

وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَض

“Uzur yang dibolehkan meninggalkan shalat Jumat dan jamaah adalah orang yang sakit tanpa ada perbedaan di kalangan Ulama. Termasuk udzur juga yang dibolehkan meninggalkan shalat Jumat dan jamaah adalah karena takut terjadinya sakit,

Kitab Asna al-Mathalib

وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ

“Orang yang terjangkit penyakit menular dicegah untuk ke masjid dan shalat Jumat juga bercampur dengan orang-orang (yang sehat)”

Berdasarkan referensi dalil Qawaid Fiqhiyah

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَرَ

Tidak menyulitkan (memadharatkan) dan tidak disulitkan

الضَّرَرُ يُزَلُ

Kesulitan atau kemudhuratan itu harus dihilangkan

Keputusan Maslahah Mursalah Yang Diambil

Shalat Jumat pada wilayah zona merah atau masjid yang sekiranya masih belum memenuhi syarat protokol kesehatan maka boleh untuk laki-laki muslimnya untuk tidak shalat Jumat lebih dari 3 kali. Mashlahah mursalah diambil karena dalam al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama tidak terdapat hukum yang menjelaskan kejadian baru seperti pandemi ini. dan berdasarkan ijtihad diatas, maka dapat kita ambil mashlahah (menghindari kemudhorotan dari shalat Jumat di masa pandemi) tersebut dengan kejelasan mursalah (terlepas dari keterangan hukum yang menunjukkan boleh atau tidak boleh dilakukannya shalat Jumat) bagi banyak orang. Sekian.

Muizzatul Laili
Mahasiswa Prodi Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN Sunan Ampel Surabaya

Editor: Rahmat Al Kafi

Baca Juga:
Hukum Shalat Berjamaah Merenggangkan Shaf di Tengah Wabah Covid-19
Sholat Dhuha dapat Melapangkan Rejeki?
Menyambut Tamu Allah Dengan Suka Cita di Tengah Pandemi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI