Kita dan Kefakiran Idealisme

“hence the ways of men part; if you wish to strive for peace of soul dan pleasure, then believe; if you wish to be a devotee of truth, then inqueire…”

Hari ini, tepat pada 6 September 2018 para kaum intelektual muda (mahasiswa) di kotaku akan melaksanakan penandatanganan menolak 2019 ganti presiden. Entah kenapa mereka cepat sekali berpaling haluan, padahal baru kemarin mereka menggelar aksi besar-besaran menolak kedatangan dari Bapak Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh, untuk berkunjung di Kota ini.

Apa yang sedang terjadi? Ada sebuah asumsi dari seorang Doktor yang cukup ahli dalam ilmu politik pernah berkata: “di kalangan para politikus, tidak ada yang namanya menunggangi, yang ada adalah saling menunggangi”. Kekhawatiran merambah dalam benak, trauma akan kaum terpelajar di negeri ini akan segera masuk dalam pusaran politik praktis. Kita sebagai kaum terpelajar, apakah seorang politikus jua? Menurut saya tidak, kita bukanlah politikus, kita adalah sekumpulan cendekiawan yang tidak hanya “bertengger” di menara gading, namun lebih dari itu. Kita punya sebuah tanggungjawab sosial yang cukup besar. Kita layaknya “barometer” bagi sebuah orde, bila orde tersebut telah melenceng dari kepentingan rakyat, kitalah yang seharusnya berada di garda terdepan untuk melayangkan kritikan, bahkan melakukan perlawanan. Jika dalam kalangan politik saling menunggangi karena kepentingan lain, lantas kita? Apakah kita akan ditunggangi, karena kita bukan bagian dari mereka?

Bacaan Lainnya
DONASI

Sejarah pernah bercerita, ada beberapa terpelajar, bahkan yang memiliki gelar “kesatria rakyat” atau akrabnya aktivis tulen yang pernah masuk dalam lingkaran politik, dengan menyembelih idealismenya. Mereka terlihat seperti “kucing basah”, tak mampu berkutik untuk mengabdi pada tirani, lalu melaksanakan oligarki dan terjebak di dalamnya begitu lama. Padahal, dahulunya mereka yang paling suka meramaikan jalanan dengan orasi yang memantul di sudut-sudut bumi, yang menembus telinga para komprador, merekalah orang-orang selalu membuat kegusaran bagi kelompok “tikus elite”.

Dekadensi moral seorang mahasiswa menjadi permasalahan serius, hilangnya harta berharga dalam diri seorang pemuda merupakan sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan. Sebagaimana Tan Malaka pernah berujar: “harta paling berharga yang dimiliki oleh seorang pemuda adalah idealisme”. Lantas bagaimana bila harta berharga itu kini telah tiada? Hilang termakan kepentingan golongan, meredup terganggu oleh kepentingan perut, dan menghilang karena mengejar kebenaran semu.

Kaum terpelajar begitu fakir akan idealisme. Mereka terjerat dalam dua ketakutan hidup; yang pertama, jika mereka berdiri pada prinsip sendiri (mempertahankan idealisme) maka mereka akan diasingkan dalam kehidupan; yang kedua, jika mereka memilih untuk berbaur bersama dan meninggalkan prinsip mereka, maka mereka harus menguatkan diri akan siksaan batin yang akan terus meradang dalam diri mereka. Dilematis akan kedua ketakutan tersebut, seperti tak bosan-bosannya untuk terus menghantui para kaum terpelajar.

Kedua ketakutan hidup tersebut merupakan dasar kenapa kaum terpelajar saat ini “miskin idealisme”. Belum lagi mereka akan berhadapan dengan rakusnya kapitalisme yang tak henti-hentinya melahap kaum tertindas. Serta arus globalisasi dan dekadensi moral yang terus membayangi generasi mereka, sehingga hampir keseluruhan organisasi mahasiswa mengalami krisis kader militan. Parahnya demi menyambung hidup sebuah organisasi, mereka rela menjual idealisme yang tersisa pada kekuasaan, jika hal ini tidak dilakukan, maka mereka akan tertinggal seribu langkah dari yang lain. Kemudian mati atau terasingkan, karena masih mempertahankan prinsipnya.

Krisis idealisme di golongan pelajar membuat tradisi intelektual kaum terpelajar di indonesia semakin memudar. Kita yang lahir dari rahim perlawanan, dengan mengandalkan akal dan ilmu pengetahuan untuk melawan segala bentuk kolonialisme dan imperialisme, kini hanya seperti mahluk kecil yang tak tau dari mana ia berasal. Kebobrokan literasi, merosotnya etika perlahan membantu untuk memudarkan tradisi intelektual yang pernah diwariskan dahulu.

Kita bangga menceritakan sejarah pergerakan pemuda (kaum terpelajar). Kita suka membanggakan diri bahwa pada 1908 para terpelajar berjuang demi bangsa dengan organisasinya Boedi Oetomo. Kita selalu bilang kalau kita merinding melihat persatuan kaum muda pada 1928, untuk mengucap sumpah yang sama. Pada tahun 1998 adalah tragedi yang selalu kita ungkit, untuk menyatakan betapa hebatnya kaum terpelajar dalam menumbangkan rezim zalim. Kita selalu menyebut nama mendiang Soe Hok Gie atau Tan Malaka, tak lupa mengoleksi kata-kata bijak dari tokoh revolusioner tersebut.

Amat tercelakah kita? Saat mengaku golongan terpelajar namun jauh dari tindakan seorang terpelajar. Begitu hinakah kita? Mengakui diri bagian dari sejarah pemuda bangsa, sementara idealisme pun tak punya. Mengklaim diri sebagai pewaris “ruh” perjuangan dari para pendahulu, sementara sejarah pun enggan untuk menyamakan derajat kita dengan mereka (pendahulu).

Soal kapan kita akan kembali seperti semula, menjadi kaum terpelajar sebagaimana mestinya, seperti yang pernah digambarkan Pramoedya Ananta Toer: “seorang terpelajar sudah adil sedari alam pikiran apalagi perbuatan”, kita tak pernah tahu. Selama kita masih menyibukkan diri untuk memperkaya materi dan menggerus idealisme hingga habis. Kala kita begitu suka rela untuk menghamba pada tirani, hanya karena takut diasingkan. Ketika kita rela berbenturan hanya karena memperjuangkan kebenaran dari sebuah golongan dan memandang enteng persatuan. Saat itulah kita akan semakin menjauh dari, tanggungjawab sosial seorang terpelajar dan semakin jelas betapa fakirnya idealisme yang kita miliki.

Sudah saatnya kita kembali pada “raga” terpelajar, mengabdikan diri pada orang-orang malang. Kembali bermusuhan dengan rezim zalim yang bertuhankan perut dan uang, golongan yang suka meminum “sari” dari perasan rakyat jelata. Jika kita tak mau kembali, maka dengan saksama kita telah menggali kuburan untuk kebenaran.

Misbahudin Djaba
Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara/Publik
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Bina Taruna Kota Gorontalo

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI