Kondisi Mental Health Generasi Z di Indonesia Sangat Memprihatinkan: Masyarakat Cuek?

Mental awareness di Indonesia memasuki status siaga maupun waspada dalam tingkat kepeduliannya. Banyak sekali berbagai kasus bunuh diri yang disebabkan oleh kondisi mental korban itu sendiri, kenapa begitu? Berikut data riset yang saya kumpulkan.

Minimnya Tenaga Kerja Kesehatan Mental di Indonesia

Menurut data yang sudah dikumpulkan oleh KemenKes, ternyata jumlah psikiater dan psikolog sangat amat rendah jumlahnya lho, tidak percaya? Mari kita usut data-data berikut lebih dalam lagi.

Menurut data riset kesehatan dasar atau RisKesDas dari Kementrian Kesehatan (KemenKes) menyatakan bahwa Indonesia hanya mempunyai 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater, hanya sedikit bukan? Mari kita menghubungkan data tersebut dengan data kependudukan di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang kurang lebih berjumlah 250 juta orang. Hal ini berarti satu psikiater harus melayani sebanyak 300 ribu-400 ribu pasien. Padahal dari World Health Organization (WHO) sendiri sudah menetapkan standar jumlah antara jumlah tenaga psikolog maupun psikiater dengan pasien adalah dengan perbandingan 1:30 orang.

Bahkan orang yang rela ataupun berhasil menjadi psikiater itu terbilang sangat rendah per tahunnya, yaitu hanya menambah 50 orang. Yaitu di mana universitas-universitas besar di Indonesia hanya meluluskan 5-6 orang per tahunnya.

Baca Juga: Kenapa Harus Belajar Psikologi?

Hal yang sangat di khawatirkan adalah, bertambah pesatnya jumlah orang yang mengalami kondisi gangguan mental dan pertambahan ini juga sangat cepat di banding pertambahan jumlahnya lulusan psikiater maupun psikolog.

Hasil dari data yang sudah dikumpulkan RisKesDas, mereka menyatakan bahwa kenaikan kasus mental health ini bisa mencapai 7-10 persen setiap tahunnya. Persebaran psikolog dan psikiater itu sendiri tidak merata di seluruh Indonesia.

Malah kebanyakan tenaga-tenaga kerja tersebut hanya berfokuskan karir mereka di daerah kota-kota besar seperti Jakarta. Bahkan di Sulawesi Tengah sendiri, jumlah Psikolog Klinis yang terdaftar di HIMPSI hanya 17 orang per tahunnya.

Bahkan menurut artikel yang dikeluarkan oleh Universitas Gadjah Madha (UGM), di wilayah timur Indonesia, mereka kesulitan menemukan tenaga kerja di Puskesmas terdekat, apalagi psikiater dan psikolog.

Baca Juga: Siklus Krisis 10 Tahunan Indonesia, Apa yang Seharusnya Dilakukan?

Fasilitas Kesehatan yang Difasilitasi oleh Pemerintah Masih Kurang   

Poin kedua ini masih berhubungan dengan poin pertama tadi. Yang di mana tenaga kerja seorang psikiater dan psikolog masih kurang untuk mengatasi ratusan ribu bahkan jutaan pasian di seluruh Indonesia. Di sini saya berani berkata seperti itu, mengapa demikian?

Karena menurut data-data yang sudah saya kumpulkan dari beberapa sumber baik itu di sosial media maupun di web-web tertentu, ketersediaan rumah sakit jiwa di seluruh wilayah Nusantara sangat amat minim jumlahnya. Bahkan ada 8 provinsi yang sama sekali tidak mempunyai fasilitas tersebut.

Stigma dan Pandangan Masyarakat Indonesia terhadap Mental Health

Pasti kalian pernah melihat maupun mendengar stigma negatif masyarakat terhadap kesehatan mental itu sendiri. Ada orang yang lagi stres dibilang kerasukan setan lah, ada orang yang lagi panic attack diketawain sebagai bahan candaan.

Bahkan parahnya lagi orang-orang menganggap itu lebay dan alay atau sesuatu yang melebih-lebihkan. Atau mungkin kasus ekstrimnya deh, penerapan metode pemasungan bagi orang-orang yang terkena penyakit tersebut.

Pemasungan itu sendiri adalah ketika seseorang terkena gangguan mental maupun psikologis. Mereka akan dikurung di rumah, institusi sosial, dan bahkan lebih parahnya lagi mereka bias-bisa di kurung di kandang hewan. Lalu menjalani hari-hari mereka dengan keadaan yang tidak manusiawi.

Baca Juga: Dampak Serius Penurunan Kinerja Tenaga Kesehatan, Bagaimana Strategi untuk Meningkatkannya?

Ada beberapa kasus kejam tersebut yang saya baca. Salah satunya saya melihat bahwa ada satu orang dikurung di dalam ruangan kamarnya selama lima tahun dan hanya diberikan ember untuk membuang air kecil.

Bahkan dia sampai sampai tidak bisa jalan dan otot-ototnya lemas karena tidak menerima kondisi yang sepantasnya apalagi dengan ruangan yang sesempit itu. Jangankan bergerak dengan mudah, bernafas saja mungkin sudah susah di sana.

Di tahun 2016-2019 kemarin masih banyak artikel yang membahas tentang kasus pemasungan ini yang diterapkan kepada ribuan orang penderita gangguan mental, walau pemerintah sudah melarang metode ini sejak 1997 yang lalu.

Walaupun metode ini sudah dilarang dan berkurang setiap tahunnya. Tetapi masih ada beberapa wilayah di Indonesia yang masih menggunakan metode pemasungan tersebut.

Pemahaman Mengenai Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia yang Masih Minim

Lalu yang terakhir adalah faktor tentang pemahaman mengenai kesehatan mental masyarakat Indonesia yang masih minim. Keseluruhan poin yang saya jelaskan di atas intinya mempunyai 1 makna yaitu, orang-orang masih belum tau tentang kesehatan mental dan pentingnya kesehatan mental itu sendiri bagi setiap orang.

Baca Juga: Gangguan Mental Generasi Milenial

Kesadarannya memang sudah ada, tetapi hanya sadar saja itu nggak cukup gaes. Butuh pemahaman lebih biar isu mengenai kesehatan mental dapat dipahami dengan baik. Nah, hal ini yang masi kurang dan perlu dipahami bahkan dikembangkan di Indonesia.

Coba kita bayangkan deh, jika masyarakat Indonesia sudah memahami dan mengerti betul tentang kasus dan pentingnya kasus ini. Mungkin orang-orang yang bukan psikiater dan psikolog bisa mendapatkan peran yang sama pentingnya dengan mereka.  

Mungkin aja, pemerintah bakal fokus membangun fasilitas yang lebih terhadap peredaman kasus ini karena mengingat tingginya angka persenan yang menaik setiap tahunnya. Kalau aja semua orang paham tentang kesehatan mental, tidak menutup kemungkinan stigma negatif di masyarakat engga bakal sebanyak dan sebesar yang terjadi saat ini.

Mungkin contoh-contohnya tidak jauh dari kehidupan sehari-hari kita, seperti baru sadar bahwa kita selama ini masuk kedalam hubungan “toxic relationship”. Mungkin baru sadar ketika mengecek diagnosanya ternyata memiliki gejala-gejala yang mirip sekali dengan penyakit kesehatan mental tapi telat sadar gitu kan juga bisa.

Baca Juga: Pentingnya Resiliensi Moral terhadap Fenomena Toxic Relationship Hubungan Pacaran pada Generasi Millenial

Padahal kan gak seharusnya ketika kita mengalaminya, kita baru sadar kalau ternyata ini penting buat kita perhatikan, kan? By the way, kalian sadar nggak sih kalau kasus ini sama sekali tidak atau bahkan jarang dibahas di sekolahan?

Kita engga dipersiapkan apa yang harus kita lakukan kalau kita mengalami sedih yang berkepanjangan, tidak tau arah tujuan hidup, atau mungkin kita lagi mengalami stres berat. Mungkin jika hal seperti ini dibahas di sekolahan, kita juga tidak perlu repot-repot mencari psikiater dan psikolog yang susah dicari itu.

Kita bisa mengantisipasinya sendiri bahkan kita bisa juga mengobati pasien lain. Terlalu banyak manfaatnya jika kita sudah diajarkan sejak dini tentang pentingnya mental health. Tapi sayangnya kita telat menyadari pentingnya hal itu.

Dampak buruk dari menganggap enteng penyakit mental? Tentu saja sangat berisiko. Dari beberapa data yang tercantum dan yang saya baca, angka kematian yang disebabkan oleh penyakit ini tidak bisa dianggap remeh lagi guys.

Menurut data sekitar mencapai angka 800 ribu–1 juta kasus bunuh diri yang disebabkan oleh depresi. Bahkan angka yang ingin mencoba bunuh diri akibat depresi mencapai 80-90% setiap tahunnya. Bagaimana? Sangat amat tinggi bukan?

Baca Juga: Memahami Mental Health dan Self harm serta Cara Mengatasinya

Kita sebagai manusia yang mempunyai slogan membantu dan menyebarkan kasih sayang terhadap manusia lain. Sudah sepantasnya harus membantu menurunkan angka tinggi tersebut. Mungkin kita tidak bisa langsung menghilangkan angka-angka tersebut, tapi at least kita bergerak dan berusaha untuk menguranginya bukan?

Lebih baik kita bergerak walaupun sedikit daripada tidak bergerak sama sekali kan? Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi yang kita harapkan? Kita sebagai orang yang beruntung memiliki mental yang kuat. Mungkin kerennya kita adalah orang-orang terpilih untuk mendapatkan kekuatan seperti itu.

Tetapi apakah kita akan membiarkan orang-orang di luar sana melakukan bunuh diri karena masalah ini? Tentu saja tidak. Bagaimana caranya? Mungkin kita bisa menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang sedang mengalami gejala tersebut.

Setidaknya jika kita tidak bisa membantu mungkin mendengarkan saja itu sudah lebih dari cukup. Itu artinya kita menjadi orang terpercaya bagi orang-orang yang memiliki penyakit seperti itu. Daripada hanya menertawakan atau bahkan mungkin menindasnya kan?

So the point is be smart dalam menggunakan media sosial, jika kita tidak bisa menghargai orang lain jangan harap kamu akan dihargai orang lain juga.

Penulis: Muhammad Rizky
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi


Link Reference:

Lulusan Psikiater hanya bertambah 50 orang setiap tahunnya. Univ besar hanya meluluskan 5 – 6 orang saja. https://theconversation.com/
WHO sudah menetapkan perbandingan antara pasien dan psikiater adalah 1:30 https://vivahealth.co.id/article/detail/13399/kesehatan-mental
Kasus pemasungan https://mediaindonesia.com/humaniora/438885/pemasungan-penderita-gangguan-jiwa-di-indonesia-makin-meningkat
Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.