Pentingnya Resiliensi Moral terhadap Fenomena Toxic Relationship Hubungan Pacaran pada Generasi Millenial

Toxic Relationship Hubungan Pacaran

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui proses resiliensi moral terkait maraknya fenomena toxic relationship hubungan pacaran pada generasi milenial. 2) mengetahui sumber-sumber resiliensi perempuan korban toxic relationship hubungan pacaran pada generasi milenial. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik menyimak dan mencatat. Teknik validasi data menggunakan triangulasi sumber data. Analisis data menggunakan redukasi data, display data, dan gambaran kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa 1) setelah mengalami toxic relationship hubungan pacaran, seseorang akan mengalami proses resiliensi dengan beberapa fase diantaranya yaitu fase stres, fase rekontruksi dan penguatan diri, dan fase resilien. 2) sumber-sumber resiliensi yang dapat membantu toxic relationship hubungan pacaran meliputi dukungan eksternal, kekeuatan dari dalam diri, kemampuan interpersonal, serta penyelesaian masalah.

Kata Kunci : resiliensi, moral, perempuan, kekerasan, hubungan pacaran

Abstract

Bacaan Lainnya
DONASI

This study aims to 1) determine the process of moral resilience related to the rampant phenomenon of toxic relationship dating relationships in the millennial generation. 2) find out the sources of resilience of women victims of toxic relationship dating relationships in the millennial generation. This type of research is library research. Data collection techniques using listening and note-taking techniques. The data validation technique uses triangulation of data sources. Data analysis uses data reduction, data display, and drawing conclusions. Based on the results of the study, it can be seen that 1) after experiencing a toxic relationship, a person will experience a process of resilience with several phases including the stress phase, the self-reconstruction and strengthening phase, and the resilience phase. 2) sources of resilience that can help toxic relationships in courtship include external support, inner strength, interpersonal skills, and problem solving.

Keywords : resilience, moral, women, violence, courtship

PENDAHULAN

Banyaknya kekerasan yang ada di Indonesia masih menjadi ancaman bagi para perempuan. Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2019, mengungkapkan bahwa sekitar 431,471 perempuan Indonesia pada tahun 2019 mengalami kekerasan (Mustafainah et al., 2020). Melalui Hasil Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHN) 2016 juga menyebutkan bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual (BPS, 2017). Sebagaimana menurut Evendi (2018) adapun bentuk dari kekerasan fisik antara lain memukul, menendang, menampar, dan lain sebagainya. Selanjutnya bentuk dari kekerasan seksual antara lain perkosaan, intimidasi, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, dan sebagainya. Kemudian pada kekerasan psikis antara lain overprotective, memaksa, mencemooh, cemburu yang berlebihan, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu Evendi (2018) juga menambahkan jenis kekerasan lain yang juga dialami oleh perempuan yaitu kekerasan secara ekonomi seperti pemerasan atau pemalakan uang, meminta harta atau materi secara berlebihan, eksploitasi perdagangan, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Keadilan yang Ada dalam Menangani Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia

Manusia sebagai individu memiliki kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain. kebutuhan ini sebagai bentuk motif seseorang untuk mempertahankan suatu hubungan dengan orang lain baik dengan orang tua, saudara, maupun pasangan (Baron & Byrne, 2005). Tidak terkecuali afiliasi dengan kekasih sebelum menikah yang sering disebut dengan istilah pacaran. Pacaran diartikan sebagai hubungan yang dijalin oleh dua individu yang saling berinteraksi dengan menggunakan pikirannya untuk mengukur sejauh mana hubungan tersebut akan mendatangkan suatu manfaat (Permata Sari, 2018). Bentuk pacaran yang pada umumnya adalah dengan melakukan jalan bersama, berduaan di tempat yang sepi, berpegangan tangan, hingga yang terparah adalah sampai melakukan hubungan seksual selayaknya suami istri sebelum menikah (Purnomo & Suryadi, 2017).

Dibalik kegiatan pacaran yang dianggap menyenangkan dan menguntungkan, pacaran juga dapat menimbulkan kekerasan yang dapat dilakukan oleh pasangan sehingga dapat menciptakan suatu hubungan yang kasar (Kail & Cavanauhg, 2015). Kekerasan dalam pacaran juga merujuk pada sikap dominasi salah satu pasangan melalui tindakan menyakiti, memaksa, menekan dan melecehkan pasangan yang belum terikat pernikahan (Kusumaningtyas et al., 2015). Perempuan sering kali menjadi korban yang teraniaya secara psikis maupun fisik akibat kekerasan dalam pacaran (Set, 2009). Catatan Tahunan 2019 Komnas Perempuan juga melaporkan bahwa sekitar 1.815 perempuan Indonesia mengalami kekerasan dalam pacaran (Mustafainah et al., 2020).    

Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran menunjukkan dinamika emosi yang fluktuatif berupa marah, sedih, kecewa, takut, hingga senang untuk menerima pengalaman (Wishesa & Suprapti, 2014). Meskipun demikian, masih ada perempuan yang masih bertahan dengan hubungan pacaran yang tidak sehat dengan alasan merasa terjebak dalam hubungan yang membuat sulit lepas dari pasangan (Permata Sari, 2018). Kekerasan dalam pacaran dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena adanya perselingkuhan dan perilaku tidak jujur dari pacar (Evendi, 2018). Selain itu  kekerasan dalam pacaran dapat disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang hubungan pacaran.

Kekerasan dalam pacaran dapat memengaruhi perasaan, perilaku, dan kondisi fisik para korbannya (Fuadi, 2011). Kekerasan dalam pacaran juga dapat menyebabkan korban mengalami trauma dengan peristiwa yang telah dialami. Trauma tersebut menimbulkan kecemasan baik dalam kategori sedang maupun tinggi (Putriana, 2018). Selain itu, kecemasan juga berkontribusi untuk menimbulkan rasa tidak percaya diri, merasa malu, merasa terganggu, hingga depresi bagi para korbannya (Hasmayni, 2015) Kegagalan dalam menyesuaikan diri terhadap persoalan hidup yang dihadapi dapat menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan perilaku lain yang lebih parah (Notosoedirdjo & Latipun, 2016). Seseorang yang pernah mengalami kekerasan tentu meninggalkan trauma baik secara fisik maupun psikologis. Seiring berjalannya waktu trauma dapat pulih apabila seseorang tersebut telah menerima dan berusaha untuk bangkit dari pengalaman yang buruk dalam hidupnya (Hendriani, 2018).

Seseorang yang mengalami permasalahan dalam hidup seperti kekerasan dalam pacaran juga perlu mengembangkan kemampuan diri agar mampu melewati dan menangani masalahnya secara efektif. Kemampuan tersebut dinamakan resiliensi, atau kapasitas seseorang untuk menghadapi, mengatasi, mempelajari, ataupun mengubah kesulitan hidup yang dialami (Grotberg, 2003). Resiliensi ini juga dapat diartikan sebagai suatu konsep yang menggambarkan tentang kemampuan individu dalam berinteraksi secara langsung menghadapi suatu kesulitan dengan sudut pandang yang positif, bahkan apabila lingkungan sekitarnya tidak mendukung (Labronici, 2012).

Adapun pengertian lain terkait resiliensi yaitu suatu proses pemulihan dari stres yang dialami dengan tetap mempertahankan hal yang positif dari dalam diri (Reich et al., 2010). Resiliensi dapat disimpulkan yaitu suatu proses yang dimiliki dan dilakukan oleh seseorang guna menangani diri sendiri ketika mengalami suatu permasalahan atau kesulitan secara positif sesuai dengan keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya.

Hal-hal yang mendukung perempuan korban kekerasan dalam hubungan pacaran mampu mencapai tahap resiliensi diantaranya adalah karena adanya faktor individu, dukungan keluarga, dan dukungan komunitas (Rahayu & Qodariah, 2019). Faktor individu yang dimaksud adalah kemampuan pengelolaan diri dan usaha yang dilakukan seseorang untuk mencapai resiliensi (Hendriani, 2018). Selain itu, adanya terapi kelompok pendukung juga efektif untuk meningkatkan resiliensi pada perempuan penyintas (Kurniawan & Noviza, 2017). Kemampuan resiliensi seseorang juga dipengaruhi oleh dukungan secara spiritual, yaitu dengan cara berdoa kepada Tuhan untuk mengelola trauma (Anderson et al., 2012). Karakteristik individu yang telah melalui dan mampu mencapai tahap resiliensi yaitu memiliki penerimaan diri, mampu mengelola emosi, empati, berpikir positif, hingga senantiasa berusaha untuk tetap produktif (Hendriani, 2018).

Seseorang yang memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi dapat mendukung dirinya bangkit dari pengalaman kekerasan dalam pacaran (Rahayu & Qodariah, 2019). Menurut Grotberg terdapat tiga aspek penting yang dapat menunjang resiliensi diri sesorang diantaranya adalah dukungan eksternal, kekuatan dari dalam diri, dan kemampuan interpersonal serta penyelesaian masalah (Grotberg, 2003). Proses resiliensi pada perempuan korban kekerasan dalam pacaran bukan hal yang mudah, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi individu yang resilien. Resiliensi menjadi keterampilan yang sangat penting dikembangkan dalam kehidupan untuk memecahkan masalah, mengembangkan harga diri, konsep diri, dan kepercayaan diri secara optimal sehingga dapat mempertahankan perasaan dan energi positif dalam diri (Fajrina, 2012).

Baca Juga: Kalau Cinta Sudah “Direkayasa”

Penelitian terkait resiliensi perempuan korban kekerasan dalam pacaran juga pernah di lakukan oleh peneliti lain. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu & Qodariah (2019) menunjukkan 22 dari 43 orang mengalami resiliensi karena adanya faktor individu dan faktor pendukung dari keluarga dan komunitas. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Daeli (2018) melibatkan 4 orang partisipan dan 4 orang significant other. Hasil dari penelitian ini memaparkan proses terjadinya kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan, dan alasan korban bertahan dalam hubungan pacaran.

Kekerasan dalam pacaran dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Dampak tersebut diantaranya adalah mengalami tekanan psikologis seperti stres, merasa down, ingin menyakiti diri sendiri, hingga depresi (Pratiwi & P, 2020). Para korban juga merasa mengalami gangguan kesehatan fisik. Korban kekerasan dalam pacaran juga mengalami dinamika emosi yang fluktuatif (Wishesa & Suprapti, 2014). Selain itu, para korban juga mengalami learned helplessness (kondisi yang muncul sebagai ketidakmampuan individu untuk mengatasi atau menghentikan peristiwa yang terjadi sehingga menyebabkan penurunan respon motivasi, kognitif, dan emosi) (Ananda & Hamidah, 2019). Tidak hanya itu, kekerasan dalam pacaran juga dapat membuat korban memiliki kontrol diri yang rendah (Solikhah & Masykur, 2020). Kekerasan dalam pacaran juga menyebabkan perempuan yang menjadi korban mengalami kecemasan, harga diri rendah, learned helplessness, dan memiliki konsep diri yang negatif (D. P. Astutik & Syafiq, 2019).

Sebagai manusia biasa, tentu peneliti tidak dapat mengontrol perilaku orang lain terutama dalam hal bagaimana harus bersikap ketika sedang dalam hubungan pacaran, namun melalui penelitian ini penulis sangat berharap jika ada perempuan di luar sana yang mengalami kejadian serupa dengan partisipan penelitian, perempuan tersebut dapat mengetahui apa yang dapat mereka lakukan untuk menolong dirinya sendiri dari pengalaman kekerasan dalam pacaran. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat membantu proses resiliensi diri pada perempuan lain yang pernah menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Berdasarkan penjelasan pada latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam bagaimana proses dan sumber resiliensi yang dialami oleh partisipan. Fokus penelitian ini hanya terbatas pada proses dan hal-hal apa saja yang menjadi sumber resiliensi perempuan korban kekerasan dalam hubungan pacaran.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan analisis atau metode kualitatif, sebuah penelitian yang teori atau pembahasannya di dapatkan dari banyak sumber seperti jurnal, artikel, buku dan lainnya. Pendekatan kualitatif memiliki tujuan untuk memahami realitas dunia sosial, yaitu dengan melihat dunia secara apa adanya (Mamik, 2015). Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami suatu fenomena tentang hal-hal yang dialami oleh seseorang atau kelompok yang terkait dengan perilaku, persepsi, tindakan, motivasi, dan lain sebagainya secara holistik yang diungkap secara deskriptif (Moleong, 2017) kualitatif ialah metode yang berlandas pada filsafat positifme, digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah sebagai lawannya eksperimen, dimana peneliti melakukan pengambilan sampel bersumber data. Jadi dari adanya pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber teorinya diambil dari hasil studi kepustakaan yang terdapat di beberapa referensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan metode kajian literature dari berbagai sumber, baik buku, artikel, atau pun jurnal dapat diketahui bahwasannya banyak sekali generasi millennial saat ini yang kurang dalam menerapkan nilai-nilai moral Pancasila dalam kehidupannya. Hal ini bias terlihat dari banyaknya hubungan toxic relationship yang merugikan pada generasi milenal. Karena kurangnya pemahaman terkait pentingnya nilai-nilai moral Pancasila yang bias digunakan sebagai filter yang dapat menyaring berbagai informasi seiring berkembangnya teknologi yang semakin pesat, maka hal ini dapat menyebabkan banyak generasi milenial yang mengalami kesalahan dalam bergaul.

Maraknya fenomena pacaran yang bias dikategorikan mayoritas dilakukan oleh anak pada usia remaja awal, yang kebanyakan mereka tidak mengetahui apa tujuan, manfaat, dan kerugian dari hubungan toxic tersebut. Sehingga mereka hanya mementingkan ego dan kesenangan belaka, tanpa memikirkan kerugian untuk masa depannya. Akibat dari hal tersebut, belakangan ini ditemukan terdapat banyaknya kasus kekerasan utamanya pada perempuan akibat dari hubungan pacaran. Kekerasan dalam hubungan pacaran dapat mempengaruhi perasaan, perilaku, dan kondisi fisik para korbannya (Fuadi, 2011). Kekerasan dalam pacaran juga dapat menyebabkan trauma dari peristiwa yang telah dialaminya.

Kekerasan dalam pacaran dapat menimbulkan kecemasan baik dalam kategori sedang maupun tinggi (Putriana, 2018). Dari kecemasan tersebut, akan muncul rasa tidak percaya diri, merasa malu, merasa terganggu, hingga depresi bagi korbannya (Hendriani, 2018). Dari banyaknya permasalahannya yang ditimbulkan akibat hubungan pacaran, maka setiap pribadi yang mengalaminya perlu mengembangkan diri agar dapat melewati serta menangani masalahnya secara efektif. Kapasitas seseorang untuk mempelajari, menghadapi, dan mengatasi kesulitan hidup melalui sudut pandang yang positif dan bahkan di saat kondisi di lingkungan sekitarnya tidak mendukung dinamakan resiliensi.

Berbagai hal yang dapat mendukung seorang perempuan korban kekerasan dalam hubungan pacaran mampu mencapai tahap resiliensi diantaranya yaitu adanya faktor individu, dukungan dari keluarga, maupun dukungan dari komunitas (Rahayu & Kodariah, 2019). Dari berbagai kajian literature yang diperoleh, berikut merupakan penjelasan mengenai proses dan sumber-sumber resiliensi yang perlu dipahami untuk meminimalisir hubungan pacaran yang merugikan di usia muda.

1. Proses Resiliensi

Untuk menjadi pribadi yang resilien setelah mengalami kekerasan yang ditimbulkan dari kekerasan hubungan pacaran memang tidaklah mudah. Berikut ini merupakan beberapa fase yang dialami seseorang akibat toxic relationship hubungan pacaran yang dilakukan, diantaranya adalah :

a. Fase Stres

Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya atau sulit, stres membuat tubuh untuk memproduksi hormone adrenaline yang berfungsi untuk mempertahankan diri, Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia. Stres yang ringan berguna dan dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih berpikir dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari hari. Stres sendiri memiliki beberapa fase antara lain

  • Tingkatan stres awal

Pada fase ini, bagian otak yang disebut hipotalamus akan menerima sinyal peringatan, sebelum kemudian melepaskan hormon glukokortikoid. Glukokortikoid lalu memicu pelepasan hormon stres, kortisol dan adrenalin. Alhasil, orang yang mengalami stres pada tahap ini akan mengalami percepatan detak jantung dan peningkatan tekanan darah.

  • Tingkatan stres menengah

Dalam fase ini, tubuh akan terus memproduksi hormon stres karena masalah tidak kunjung selesai. Hal ini kemudian akan membuat Anda mudah tersinggung serta kesulitan untuk berkonsentrasi.

  • Tingkatan stres berat

Dikenal sebagai fase kelelahan, stres yang terjadi secara terus-menerus membuat energi dalam tubuh habis. Tidak ada lagi benteng yang bisa menghadapi rasa stres. Anda akan menjadi mudah lelah, merasa gagal, depresi, hingga gelisah. 

Dari beberapa fase stres di atas, setiap individu memiliki permasalahan dan fase stres masing-masing, berikut ini adalah salah satu partisipan yang mengalami toxic relationship atau kekerasan dalam hubungan. Yang pertama ada QR yaitu ia mengalami permasalahan karena pacarnya yang selalu menuntut agar membalas pesannya dengan cepat, meskipun pacarnya sendiri mengatahui jika QR itu sedang bekerja, pasangannya sangat posesif, egois, dan masih bersikap kurang dewasa. Nah dalam hal ini QR merasa sangat terganggu dengan sikap pacarnya yang setiap saat dan sering kali menghubungi saat jam kerja. Kemudian sang pacar atau AD pun juga merasa sedih dan murung ketika menghadapi permasalahan dalam hubungannya. Ia adalah tipe orang ceria dan suka bercanda, nah ketika ia mengalami permasalahan dalam hubungannya sekitar ia bersikap menutup diri dan murung, ia tidak mau mengobrol dengan siapa pun, tetapi itu hanya berlangsung beberapa hari hingga AD dan QR mampu memperbaiki hubungannya.

b. Fase Rekontruksi dan Penguatan Diri

Dalam fase ini partisipan sudah mulai bisa beradaptasi dengan keadaan yang telah membuat mereka terpuruk akibat toxic relationship atau kekerasan dalam sebuah hubungan pacaran. Mereka harus bisa berusaha memperbaiki diri dan bangkit dari keterpurukan akibat dari permasalahan yang telah dialami, agar mereka mampu melanjutkan kehidupan kedepannya, karena mereka masih memiliki perjalanan yang panjang untuk meraih cita-cita yang di impikan. Nah ketika partisipan mengalami permasalahan yang rumit atau kekerasan dalam sebuah hubungan ia hanya bisa sabar dan menenangkan diri dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara istighfar dapat membuat individu yang emosi atau putus asa akan bisa lebih tenang dan berpikir jernih dengan akal sehat, kemudian seiring dengan berjalannya waktu, partisipan bisa berpikir secara realistis menghadapi sebuah hubungan. Dengan ini mereka akan tersadar bahwa dalam kehidupan ini tidak hanya persoalan sebuah hubungan pacaran, melainkan banyak sekali hubungan lainnya misalnya hubungan dengan orang tua, keluarga, dan pertemanan, adanya hubungan dengan keluarga, partisipan dapat berpikir jika mereka harus bangkit karena orang tua lah salah satu alasan untuk berubah menjadi yang lebih baik.

  • Fase Resilien

Fase resilien merupakan fase dimana seseorang sudah merasa mampu untuk melanjutkan hidup dari pengalamannya yang membuatnya terpuruk setelah mengalami kekerasan akibat hubungan pacaran. Dalam fase ini seseorang banyak yang merasakan lebih baik akibat lebih mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Salah satunya seperti yang dialami oleh QR yaitu setelah melalui proses yang berat dan panjang, akhirnya dia mampu untuk bangkit. QR bisa lebih mendekatkan diri pada Allah S.W.T yang sebelumnya selama pacaran dia jarang melakukan sholat dan mengaji. Selain itu, QR juga semakin aktif melakukan berbagai kegiatan yang membantu dirinya untuk pulih. Oleh karena itu, dia bisa mengambil hikmah dengan membayangkan ketika nanti sudah berkeluarga, QR akan berusaha untuk mendidik anak menjadi yang lebih baik.

2. Sumber-sumber Resiliensi

a. Dukungan Eksternal

Dukungan eksternal merupakan faktor yang berhubungan dengan dukungan dari keluarga maupun sosial. Hubungan yang diawali dengan sebuah kepercayaan penuh dan kasih sayang di dalam maupun di luar keluarga. Misalnya partisipan dapat berbagi perasaan ketika mengalami tekanan lalu memperoleh dukungan dan perhatian dari orang-orang di sekitarnya, struktur dan peraturan di lingkungan yang stabil, memiliki sosok yang diteladani perilakunya yang dapat mengispirasi untuk kuat dalam menghadapi berbagai kesulitan, serta dorongan untuk mandiri yang dilakukan dengan menetapkan batasan pada dirinya dan menyelesaikan persoalannya sendiri jika individu tersebut merasa mampu. Dalam hal ini peran orang tua sangat penting dalam memberikan edukasi, semangat dan motivasi kepada seorang anak agar bangkit dari keterpurukan, karena setiap individu akan mengalami masa dimana seseorang yang menjalin sebuah hubungan akan mengalami sebuah permasalahan.

Baca Juga: Dampak Kajian Pra-Nikah, Bagi yang Belum Siap Nikah

b. Kekuatan dari dalam Diri

Kekuatan dari dalam diri merupakan faktor yang berkaitan dengan kekuatan dari dalam diri individu yang dikembangkan, misalnya disukai banyak orang, mendapat kasih sayang, mencintai, memiliki empati dan kepedulian terhadap orang lain, dapat menghargai dirinya sendiri dan dapat menghargai orang lain tanpa pandang usia, pangkat dan derajat, dapat bertanggung jawab atas perilakunya dan dapat menerima konsekuensi, serta menjadi individu yang penuh percaya diri, optimis dan penuh harapan meski sedang berada dalam tekanan.

c. Kemampuan Interpersonal dan Penyelesaian Masalah

Kemampuan interpersonal dan penyelesaian masalah, dalam hal ini individu harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan orang lain misalnya orang tua, keluarga, maupun teman. Partisipan harus bisa berbagi pikiran dan perasaan, kemudian bertukar pikiran agar bisa menyelesaikan  sebuah permasalahan dalam sebuah kehidupan. Dapat mengelola emosi dengan baik, menghadapi permasalahan dengan tenang tanpa tekanan dari pihak mana pun, dapat menyelesaikan permasalahan sendiri tanpa bantuan orang lain, kecuali jika permasalahan yang sangat sulit diselesaikan dan butuh bantuan dari pihak lain.

SIMPULAN

Kekerasan dalam pacaran merupakan tindakan menyakiti, memaksa, menekan, dan bahkan melecehkan pasangan. Kekerasan dalam pacaran menimbulkan beberapa dampak negatif yang dapat menimbulkan trauma pada diri korban. Dampak negatif yang dialami oleh para korban kekerasan dalam pacaran dapat diminimalisir dengan cara melakukan resiliensi. Resiliensi merupakan suatu proses yang dimiliki dan diakui oleh seseorang dengan tujuan untuk menangani diri sendiri ketika mengalami suatu permasalahan atau kesulitan secara positif sesuai dengan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki.

Penelitian ini menunjukkan proses resiliensi dengan melalui fase stres, fase rekontruksi dan penguatan diri, serta fase resiliensi. Hal yang dilakukan dengan cara menceritakan pengalaman kekerasan yang dialami (korban) kepada orang terdekat yang dipercaya baik teman ataupun keluarga, beribadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, serta tetap melakukan kegiatan yang membuat diri tetap produktif.

Adapun hal-hal lain yang menjadi pendukung korban kekerasan dalam pacaran untuk menjalani proses resiliensi adalah adanya dukungan eksternal dari pihak keluarga atau teman dekat, kekuatan dari dalam diri untuk menerima dan optimis akan kehidupan di masa depan, dan memiliki kemampuan interpersonal serta penyelesaian masalah seperti bersikap asertif, memutuskan hubungan, dan menceritakan masalah ke orang yang dipercaya.

SARAN

Untuk perempuan korban kekerasan dalam hubungan pacaran di luar sana disarankan untuk tidak merasa takut apabila ingin mengakhiri hubungan. Apabila merasa kesulitan saat menghadapi trauma hendaknya meminta bantuan pada orang terdekat ataupun profesional yang dipercaya. Tidak hanya itu masyarakat juga disarankan untuk lebih peduli terhadap sekitar bahwa di luar sana masih perempuan yang mengalami kekerasan dalam hubungan pacaran dengan melihat secara objektif tanpa menyudutkan dari sisi agama. Selanjutnya peneliti disarankan untuk melakukan studi pada aspek lain yang berkaitan dengan topik resiliensi perempuan korban kekerasan dalam hubungan pacaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, N. C., & Hamidah. (2019). Learned Helplessness pada Wanita Dewasa Awal Korban Kekerasan dalam Pacaran yang Masih Bertahan dengan Pasangannya. Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 4(1), 36–42. https://doi.org/10.20473/jpkm.v5i22018.36-42

Anderson, K. M., Renner, L. M., & Danis, F. S. (2012). Recovery: Resilience and Growth in the Aftermath of Domestic Violence. Violence Against Women, 18(11), 1279–1299. https://doi.org/10.1177/1077801212470543

Astutik, D. P., & Syafiq, M. (2019). Perempuan Korban Dating Violence. Jurnal Psikologi, 6(1), 1–13. http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/cha racter/article/view/27300

Baron, R. A., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2 (W. C. Kristiaji & R. Medya (eds.); Kesepuluih). Penerbit Erlangga.

BPS. (2017). Prevalensi Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, Hasil SPHPN 2016. bps.go.id. https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/03/30/1 375/satu-dari-tiga-perempuan-usia-15—64- tahun-pernah-mengalami-kekerasan-fisik-danatau-seksual-selama-hidupnya.html

Daeli, S. S. (2018). Resiliensi Perempuan yang Mengalami Kekerasan dalam Pacaran (Studi Kasus: Mahasiswa kos-kostan Kelurahan Padang Bulan Kota Medan) [Universitas Sumatera Utara Medan]. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5641

Evendi, I. (2018). Kekerasan dalam Berpacaran (Studi pada Siswa SMAN 4 Bombana). Jurnal Neo Societal, 3(2), 389–399. http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoSocietal/article /view/4026

Fajrina, D. D. (2012). Resiliensi pada Remaja Putri yang Mengalami Kehamilan tidak diinginkan Akibat Kekerasan Seksual. Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi, 1(1), 55–62. https://doi.org/https://doi.org/10.21009/JPPP.011 .08

Fuadi, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam, 8(2), 191–208. http://ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/psiko/article/view/1553

Grotberg, E. H. (2003). Resilience for Today. Praeger.

Hasmayni, B. (2015). Dampak Psikologi Dating Violence Remaja di SMA Tugama Medan. Jurnal Diversita, 1(1), 1–6. https://ojs.uma.ac.id/index.php/diversita/article/v iew/1080

Hendriani, W. (2018). Resiliensi Psikologis Sebuah Pengantar (Pertama). Prenamedia Group.

Kail, R. V, & Cavanauhg, J. C. (2015). Human Development: A Life-Span View. In Cengage Learning (7 E).

Kusumaningtyas, A. D., Nurcholis, A., Dja’far, A. M., Muayati, A., SR, F., & Wenehen, L. (2015). Seksualitas & Agama: Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Agama-Agama. Penerbit PT Elex Media Komputindo.

Labronici, L. M. (2012). Reslilience in Woman Victims of Domestic Violence: A Phenomenological View. 21(3), 625–632.

M. Taufik, dkk. (2018). Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. (S. Hayat, Ed.). Malang: Baskara Media.

Muawanah, “Menumbuhkan Nilai-nilaiKepahlawanan di Lingkungan Mahasiswa,” SatiSampajanna, p. 71, 2018.

Mustafainah, A., Qibtiyah, A., Ridwan, A. I., Sandiata, B., Purbawati, C. Y., Madanih, D., Situmorang, D. F., Gito, E., & Intan, H. S. (2020). Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Komnas Perempuan.

R. Ramadhan, “Kompasiana,” 25 Agustus 2015.[Online]. Available :https://www.kompasiana.com/rezaramadhanunj/55dadb8a54977303099134c5/perandan-fungsi-mahasiswa. [Accessed 13 Agustus 2020].

Yudistira. (2016). Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuhkan Kembangkan Karakter Bangsa. In Seminar Nasional Hukum (Vol. 2, pp. 421–436).

Mustafainah, A., Qibtiyah, A., Ridwan, A. I., Sandiata, B., Purbawati, C. Y., Madanih, D., Situmorang, D. F., Gito, E., & Intan, H. S. (2020). Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Komnas Perempuan.

Notosoedirdjo, M., & Latipun. (2016). Kesehatan Mental: Konsep dan Penarapannya (Ketiga). UMM Press.

Permata Sari, I. (2018). Kekerasan dalam Hubungan Pacaran di Kalangan Mahasiswa: Studi Refleksi Pengalaman Perempuan. Jurnal Dimensia, 7(1), 64–85. https://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/artic le/view/21055

Purnomo, F. H., & Suryadi, B. (2017). the Effect of Attachment Style and Religiousity Toward Dating Violence Among Adolescent. Jurnal Psikologi, 22(2), 217–230.

Putriana, A. (2018). Kecemasan Dan Strategi Coping Pada Wanita Korban Kekerasan Dalam Pacaran. Psikoborneo, 6(3), 453–461. http://ejournals.unmul.ac.id/index.php/psikoneo/article/view/4663

Pratiwi, A., & P, A. S. (2020). Gambaran Acceptance of Dating Violence Pada Dewasa Awal yang Menjadi Korban Kekerasan dalam Pacaran. Jurnal Ilmiah Psikologi MANASA, 9(2), 63–75.

Rahayu, T. S., & Qodariah, S. (2019). Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Mahasiswa Korban Kekerasan dalam Pacaran di Komunitas X Kota Bandung. Prosiding Psikologi, 5(1), 241–245. http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/psikolog i/article/view/14294

Reich, J. W., Zautra, A. J., & Hall, J. S. (2010). Handbook of adult resilience. In The Guilford Press. https://cloudflareipfs.com/ipfs/bafykbzaceb55l3bmckasd6pyc26yd   kejeybqlpgogyxswqfrgn5s5jzdzzgny?filename=Jo hn W. Reich PhD%2C Alex J. Zautra PhD%2C John Stuart Hall PhD – Handbook of Adult Resilience %282010%29.pdf

Set, S. (2009). Teen Dating Violence. Penerbit Kanisius.

Solikhah, R., & Masykur, A. M. (2020). Atas Nama Cinta, Ku Rela Terluka. Jurnal Empati, 8(4), 52– 62. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/arti cle/view/26513

Wishesa, A. I., & Suprapti, V. (2014). Dinamika Emosi Remaja Perempuan yang sedang Mengalami Kekerasan dalam Pacaran. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 3(3), 159–163. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jppp50ac73174 9full.pdf

Rista Guna Winata
Nikmah Fitria Surya
Anisya Nur Karisma
Faizatul Fitriani
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNP Kediri

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI