Dampak Kajian Pra-Nikah, Bagi yang Belum Siap Nikah

Akhir-akhir ini banyak sekali majelis yang membahas soal kajian pra-nikah dan perkara perjodohan. Semakin lama kajian tersebut menjamur dimana-mana bagaikan sengatan listrik yang merambat cepat. Bintang tamu yang dihadirkan pun tidak main-main, mulai dari artis papan atas, selebgram, hingga motivator lokal.

Pembahasan yang dihadirkan sering mengenai bagaimana dua pasangan dipertemukan, bagaimana ikhtiarnya menjemput jodoh, bagaimana proses pernikahan dan bagaimana menjalani kehidupan setelah menikah yang digambarkan manis diselingi foto-foto romantis.

Setelah itu, pada beberapa kajian akan mengajak pada kampanye Nikah Muda dengan dalih menghindari maksiat, menjalani pacaran halal. Semua yang ditampakkan hanyalah tentang keindahan dalam pernikahan. Dan jika belum mampu hanya mendapat saran untuk berpuasa . Semua saran ini baik. Namun belum bisa menyentuh kondisi masyarakat muda secara riil di era sekarang seperti kemiskinan, ekonomi lemah, sampai pada kasus rumah tangga dimana seorang istri mengalami sindrome baby blues pasca melahirkan. Semua itu sangat jarang disinggung dalam kampanye nikah muda. Padahal, menikah bukan soal 2 manusia, namun juga soal bermasyarakat bahkan bernegara.

Bacaan Lainnya

Dampak yang paling bisa dirasakan langsung adalah pemikiran dari generasi muda yang ada. Karena sering terpapar kajian pranikah dan foto-foto artis selebgram dengan tanda pagar Nikah Muda, akan membuat pemuda atau pemudi terbawa perasaan memikirkan jodohnya saja. Jika sudah bekerja pun hanya fokus bagaimana pekerjaannya digunakan untuk menggelar pesta pernikahan yang megah sesuai impian. Tanpa berfikir bagaimana beban yang harus dihadapi setelah pernikahan. Bagaimana berfikir pula menghadapi problematika setelah pernikahan yang begitu kompleks adanya, dan jika tidak memiliki persiapan yang matang dari segi psikis, fisik, dan materi, maka akan terjadi perselisihan dan paling parah akan terjadi perceraian bahkan pembunuhan.

Dalam perkembangannya. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Angka perceraian tertinggi terjadi pada tahun 2012. Pada tahun tersebut, angka perceraian mencapai 372.557. Dengan kata lain, terjadi 40 perceraian setiap jamnya di Tanah Air. Kebanyakan kasus perceraian tersebut dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 35 tahun. Selain itu, meningkatnya jumlah pernikahan muda selama sepuluh tahun terakhir berbanding lurus dengan meningkatnya angka perceraian.

Tahun 2013 lalu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sudah mengabarkan soal angka perceraian di Indonesia yang menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Dan angka perceraian tersebut tak kunjung menurun di tahun-tahun berikutnya. Terhitung per Agustus 2016, angka perceraian sudah menembus angka 6.175. (Vemale.com , 26 September 2016)

Sementara data perceraian periode 2015-2017 menggambarkan bahwa persebaran data angka perceraian di Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia itu berbeda-beda. Namun, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir itu, Pengadilan Agama di tiga kota besar ini selalu menempati angka tertinggi. Putusan perkara cerai talak dan cerai gugat yakni Surabaya, Bandung, dan Semarang. Pada 2017, Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat angka tertinggi pertama memutus perkara cerai talak sebanyak 26.342 perkara dan cerai gugat 58.497 perkara. Diikuti Pengadilan Tinggi Agama Bandung di posisi kedua dengan angka putusan perkara cerai talak sebanyak 20.580 perkara dan cerai gugat 58.467 perkara. Di urutan ketiga ditempati Pengadilan Tinggi Agama Semarang dengan putusan perkara cerai talak sebanyak 19.368 perkara dan cerai gugat 50.489 perkara.(hukumonline.com, 18 Juni 2018)

Berdasarkan data 29 Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia periode 2017 terdapat beberapa faktor penyebab perceraian. Pertama, zina dengan 1.896 perkara. Kedua, mabuk dengan jumlah 4.264 perkara. Ketiga, madat dengan jumlah 1.189 perkara. Keempat, judi dengan jumlah 2.179 perkara. Kelima, meninggalkan salah satu pihak dengan jumlah 70.958 perkara. Keenam, dihukum penjara dengan jumlah 4.898 perkara. Ketujuh, poligami dengan jumlah 1.697 perkara. Kedelapan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan jumlah 8.453 perkara. Kesembilan, cacat badan sebanyak 432 perkara. Kesepuluh, perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan jumlah 152.575 perkara. Kesebelas, kawin paksa sebanyak 1.976 perkara. Kedua belas, murtad sebanyak 600 perkara. Ketiga belas, ekonomi sebanyak 105.266 perkara. Keempat belas, lain-lain sebanyak 7.799 perkara. (hukumonline.com, 18 Juni 2018).

Pertengkaran dan ekonomi mendapatan posisi yang tertinggi dalam kasus perceraian. Ini mestinya mendapat perhatian bersama dari berbagai pihak. Kita patut peduli pada perzinahan, namun juga jangan sampai mengabaikan perceraian, karena keduanya juga sama-sama tidak pernah dibenarkan dalam agama apapun. Karena pernikahan adalah perkara sakral.

Bagi penyelenggara, kajian pranikah merupakan suatu keharusan dalam menghadapi kegentingan di era sekarang di mana banyak perzinahan terjadi. Pernikahan muda karena ‘kecelakaan’ atau karena kehamilan di usia sekolah yang merajalela. Bagi penyelenggara kajian pranikah, kajian diperlukan untuk mengedukasi para pemuda pemudi agar lebih lurus dalam hal memilih jodoh.

Namun nyatanya, kajian yang ada justru membuat produktifitas pemuda pemudi menjadi menurun, terutama pada pemudinya. Fokus untuk menggunakan tenaga mudanya dalam bermasyarakat, berorganisasi, bernegara, dan berakademik menjadi menurun karena selalu terbawa perasaan dan sering mengalami kegalauan.

Kajian keilmuan yang bersifat menambah khazanah ilmu seperti fiqih, sejarah secara global, pengetahuan secara universal, bahkan hingga politik–yang lebih riil digunakan dalam kehidupan rumah tangga kelak–menjadi terkaburkan karena sudah tergantikan oleh kajian pranikah yang sering memperlihatkan pernikahan dari sisi indahnya saja. Buku-buku yang bersifat ilmiah, filsafat, jadi terkaburkan dan tidak tersentuh karena sudah digantikan dengan buku yang berisi seputar pernikahan, padahal secara lahir dan batin belum siap untuk menikah.

Tidak ada yang salah dengan pernikahan, karena pernikahan adalah menyempurnakan sunnah. Selama yang hadir di kajian pernikahan adalah mereka yang benar-benar matang dan siap menikah, bukan sekadar ikut atau sekadar ingin tahu saja. Kematanganpun tidak bisa diukur dari umur. Yang lebih muda bisa saja sudah matang dari segi agama, materi atau mental. Yang tua bisa saja belum matang dari segi agama, materi, dan mental.

Kajian pra nikah sebenarnya juga bisa diterapkan pada generasi muda, baik yang sudah siap menikah maupun yang belum. Karena kajian ini cukup bahkan sangat menyedot perhatian banyak kawula muda. Namun, hendaknya isi kajian lebih terstruktur, sistematis dan realistis. Sebagai pengetahuan bagi generasi muda, terutama soal badai-badai pernikahan, atau kiat mengatasi kebaperan pada lawan jenis, tidak sekedar keindahan pernikahan saja. Bisa juga kiat menghadapi patah hati agar lekas bangkit lagi. Diimbangi pula oleh kajian keilmuan, keagamaan, parenting, kajian motivasi hidup, kajian ekonomi, keterampilan, bahkan kehidupan berdemokrasi di masyarakat yang bisa diselipkan di sela-sela kajian pra nikah, atau di adakan diluar kajian pra nikah.

Selain itu, wawasan kepemimpinan dan beramanah juga perlu ada dalam kehidupan pernikahan, agar masing masing individunya bertanggung jawab atas tugas masing-masing yang telah disepakati di awal pernikahan. Maka, berorganisasi juga penting untuk melatih skill ini.

Sosial media dalam jaringan (online), merupakan jalur yang termudah untuk membangun sisi positif pemuda pemudi untuk mengisi masa sebelum menikah dengan hal-hal yang bermanfaaat, maka peran sosial media hendaknya dapat dioptimalkan semua kalangan.

Desyana Suhandari
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang
Juga aktif di UKM Teknologi Qur’an, Kerohanian Islam Fakultas Ilmu Pendidikan (FUMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Unnes

Baca juga:
Kesetaraan atau Kesengsaraan Gender
Kalau Cinta Sudah “Direkayasa”
Fenomena Tisu Magis: Kapitalisme dalam Hubungan Seksual

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI