“Diberdayakan, enggak. Dihujat, iya. Hak hidup kami seperti enggak ada. Ketegasan pemerintah di mana?” kata Yulianus atau biasa dipanggil Mami Yuli, ketua Forum Komunikasi Transgender se-Indonesia (FKWI). Bukankah setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup yang sama? Bukankah mereka juga manusia yang berarti memiliki hak asasi yang sama seperti manusia kebanyakan?
Mengakui diri kepada lawan bicara sebagai Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) adalah sebuah aib yang sangat besar untuk sebagian orang. Ditambah lagi, pengakuan tersebut bisa menjadi boomerang jika lawan bicara langsung menghakimi dan menghindar dengan terang-terangan. Apakah sesulit itu untuk sedikit mendengarkan alasan yang mereka kemukakan? Menurut Neuro psikolog dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ihsan Gumilar menjelaskan bahwa “LGBT adalah penyakit mental dan bukan disebabkan oleh faktor biologis atau bawaan lahir. Pasti ada kejadiaan (yang membuat seseorang menjadi LGBT, Red),” ungkapnya saat Forum Koordinasi anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) bertema Pornografi dan LGBT, Kementrian PPPA, di Jakarta. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa LGBT adalah sebuah penyakit mental. Manusia mana yang berencana untuk terjangkit penyakit mental?
LGBT memang minoritas dan masih menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan di Indonesia. Hidup di Indonesia akan aman jika anda berada di posisi mayoritas, dan anda akan sedikit gusar jika berada di posisi minoritas. Menyedihkan sekali. Katanya, Indonesia adalah negara yang kaya akan suku, budaya, dan segala keberagamannya tetapi untuk menangani kaum LGBT saja negeri ini masih kocar-kacir. Faktanya, LGBT di Indonesia masih sering mendapatkan pukulan dari masyarakat. Lembaga survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) pernah meneliti penolakan terhadap LGBT di Indonesia. Penelitian yang memakan waktu hingga satu tahun ini, yakni dari 2016 sampai 2017 menemukan hasil bahwa 58,3 persen warga Indonesia pernah mendengar tentang LGBT. Dari responden tersebut, sebanyak 41,1 persen di antaranya menyatakan bahwa LGBT tidak punya hak hidup di Indonesia. Hampir dari setengah responden survei tersebut menolak untuk menerima LGBT di Indonesia. Bisa diakui bahwa masih banyak masyarakat yang memilih untuk menutup mata dan pura-pura tidak menyadari keberadaan kaum minoritas ini. Lalu, bagaimana bisa menerima apalagi merangkul jika sekedar melihat saja enggan?
Katanya, keluarga adalah rumah. Lingkungan terdekat seseorang pun seharusnya adalah keluarga. Namun, apa jadinya jika LGBT harus tereliminasi dari ‘rumah’nya sendiri? Dikucilkan, tidak dianggap, dan tak jarang juga diusir dari lingkungan terdekat tersebut. Jika seseorang saja tidak memiliki rasa segan untuk melakukan hal tersebut kepada anggota keluarganya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka bisa saja melakukan hal tersebut kepada kaum LGBT yang tidak mereka kenal. 2016, Lembaga Sosial Masyarakat Arus Pelangi pernah melakukan riset perihal kekerasan yang diterima oleh kaum LGBT karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Sebanyak 89,3 persen LGBT di Indonesia mengaku pernah alami kekerasan. Ketua LSM Arus Pelangi, Yuli Rustinawati, menjelaskan bahwa sebanyak 79,1 persen koresponden mengaku pernah mengalami kekerasan, 46,3 persen mengalami kekerasan pada fisik, dan 26,3 persen mendapatkan kekerasan ekonomi. “Dari sekian banyak LGBT mengalami kekerasan, 65,2 persen di antaranya mencari bantuan ke teman dan 17,3 persen melakukan percobaan bunuh diri,” Tutur Yuli. Riset yang disampaikan oleh Yuli sama sekali tidak menyinggung keluarga sebagai bantuan untuk mereka yang mengalami kekerasan. Kini, keluarga tidak lagi bisa menjadi bala bantuan apalagi sandaran untuk kaum LGBT.
Semakin muda seseorang, semakin mudah untuk menerima sesuatu yang baru. Semakin tua seseorang, semakin ia merasa tau segala hal dan sulit untuk menerima sesuatu yang baru. Sebagian besar masyarakat yang menerima dan ramah terhadap LGBT adalah mereka yang ada pada rentang usia 22 hingga 25 tahun, yaitu kategori milenial atau generasi Y. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pernah melakukan survei perihal LGBT, jajak pendapat itu berhasil menggaet 1220 responden, semua gender, beberapa rentang usia, latar belakang agama, serta etnis berbeda di 34 provinsi. Survei tersebut menghasilkan 45 persen responden menyatakan bersedia menerima anggota keluarga mereka yang berorientasi seksual LGBT. Namun tidak merima dalam skala lebih besar dan orang-orang yang tidak dikenal.
Tidak dapat dibantah bahwa tidak satu pun dari agama yang ada di Indonesia menghalalkan LGBT. Namun, pemuka agama tidak pantas untuk menutup mata bahkan menghindari mereka. Pemuka agama tetap memegang peran yang sangat penting dalam membantu ‘menyembuhkan’ kaum LGBT. Dibutuhkan peran pendidik untuk ‘menyembuhkan’ karena negeri ini sudah banyak dihuni oleh masyarakat yang suka menghardik dan mengkritik tanpa solusi. Sampai di sini, apakah agama dan Tuhan masih layak untuk dijadikan landasan dalam memaki, mencaci, dan menghardik mereka?
Selain pemuka agama, pemerintah pun juga tidak kalah penting dalam memegang peran untuk mendidik LGBT. Pemerintah memang punya banyak kuasa, tetapi masih banyak kekuasaan yang disalahgunakan. Dalam kasus ini, bisakah kekuasaan tersebut membantu dalam menangani LGBT? Kekuasaan memang bisa membantu, tapi jangan mendewakan kekuasaan dalam membantu mereka. Tanpa kekuasaan pun, sebagai masyarakat kita tetap bisa merangkul tanpa memukul, mendidik tanpa menghardik, dan mengenggam tanpa dendam. Rasa peduli yang tinggi tetap harus ada dengan tidak memandang bulu. Mengajak untuk kembali kepada kodratnya masing-masing. Percayalah bahwa Tuhan tidak pernah salah dalam menciptakan umat-Nya. Anggap saja itu sebagai ujian yang memang harus dilakoni sebagai manusia. Namun, setiap ujian selalu ada jawaban. Dan setiap penyakit akan bisa disembuhkan. Sampai di sini, jika memang masih enggan untuk membantu, setidaknya jangan membuat rusuh.
Notes:
Banyak orang2 LGBTQ yang menganggap bahwa LGBT bukanlah penyakit melainkan orientasi sex. Mereka tidak mau dicap sebagai orang yang memiliki penyakit mental. Peran orang tua dalam kasus ini sangatlah penting, dimana pola asuh dan lingkungan mempengaruhi perkembangan anak. Jelasin program dan spesifikasinya.
Irine Shafana Jasmine
Mahasiswi Sampoerna University