Merealisasikan Indonesia Emas 2045 tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur fisik, namun pembangunan kualitas manusia adalah fondasi utamanya.
Program makan bergizi gratis yang dilaksanakan pemerintah di sekolah bukan sekadar bantuan sosial, melainkan investasi strategis untuk membentuk generasi sehat, cerdas, dan produktif.
Dengan memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang memadai sejak dini, negara sedang menyiapkan SDM unggul yang menunjang pembangunan nasional.
Namun, agar program ini tidak berhenti pada simbolisme, dibutuhkan kebijakan yang terukur, lintas sektor, dan berkelanjutan mulai dari standar gizi nasional, penguatan peran daerah, hingga jaminan efisiensi anggaran.
Implementasi program makan bergizi gratis harus dalam kerangka kebijakan nasional yang integratif, tidak berdiri sendiri.
Hal ini mencakup sinergi antara sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, dan perlindungan sosial. Pemerintah perlu menetapkan standar gizi yang jelas, sistem distribusi yang andal, serta mekanisme pengawasan yang transparan hingga ke tingkat sekolah.
Selain itu, pelibatan pelaku local seperti petani, UMKM pangan, dan ahli gizi akan memperkuat aspek keberlanjutan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Baca juga: Pemerintahan Prabowo di Persimpangan: Visi Besar, Langkah Membingungkan
Dengan pendekatan holistik ini, program makan bergizi gratis tidak hanya menjawab masalah kekurangan gizi, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional dan membentuk ekosistem kebijakan yang berpihak pada masa depan anak bangsa.
Lebih jauh, program makan bergizi gratis juga berpotensi menjadi alat pemerataan pembangunan dan pengurangan ketimpangan sosial.
Di banyak wilayah tertinggal, persoalan akses terhadap makanan bergizi masih menjadi tantangan besar, terutama bagi anak-anak usia sekolah.
Dengan kebijakan yang inklusif dan berbasis data wilayah, program ini dapat menjangkau kelompok paling rentan, sekaligus menjadi motor peningkatan kualitas hidup di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak bersifat seragam dan terpusat, melainkan adaptif terhadap kondisi lokal.
Dengan demikian, program makan bergizi gratis bukan hanya tentang memberi makan hari ini, tetapi menyiapkan kesetaraan peluang bagi generasi mendatang.
Namun demikian, keberhasilan program makan bergizi gratis sangat ditentukan oleh kualitas tata kelola di semua tingkat pelaksanaannya.
Tantangan seperti rantai distribusi yang tidak merata, keterbatasan infrastruktur dapur di sekolah, potensi kebocoran anggaran, hingga kurangnya kapasitas SDM lapangan harus diantisipasi sejak dini melalui perencanaan yang matang.
Dibutuhkan sistem monitoring dan evaluasi berbasis teknologi yang mampu melacak penyaluran makanan, kualitas gizi, serta dampaknya terhadap kesehatan dan prestasi siswa.
Selain itu, transparansi anggaran dan pelibatan masyarakat, termasuk komite sekolah dan tokoh lokal, akan memperkuat akuntabilitas program.
Tanpa penguatan di aspek tata kelola, kebijakan ini berisiko menjadi proyek jangka pendek yang tidak meninggalkan jejak manfaat yang berkelanjutan
Untuk itu, komitmen politik yang kuat dari seluruh pemangku kebijakan menjadi syarat mutlak agar program makan bergizi gratis tidak terhenti di tengah jalan atau berubah arah karena pergantian kepemimpinan.
Kebijakan ini harus di institusionalisasi dalam kerangka pembangunan nasional jangka panjang, bukan sekadar program unggulan satu rezim.
Penyusunan regulasi yang mengikat, pengalokasian anggaran yang konsisten, serta integrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJMN/RPJPN) akan menjadi langkah penting dalam menjamin keberlanjutan.
Dengan menyajikan makan bergizi gratis sebagai bagian integral dari strategi pembangunan manusia, Indonesia tidak hanya merespons tantangan hari ini, tetapi juga meletakkan pondasi kokoh untuk menyongsong Generasi Emas 2045.
Baca juga: Program Makan Siang Gratis Guna Mencegah Stunting di Generasi Saat Ini?
Program makan bergizi gratis yang mulai diinisiasi oleh pemerintah merupakan langkah afirmatif dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya di kalangan anak usia sekolah.
Namun demikian, kebijakan ini perlu dikaji secara lebih kritis dalam konteks efektivitas, ketepatan sasaran, dan keberlanjutan.
Sejauh ini, belum terdapat kajian komprehensif yang menjelaskan sejauh mana intervensi ini mampu menurunkan prevalensi kekurangan gizi secara signifikan, terutama di wilayah dengan tingkat kerentanan sosial yang tinggi.
Selain itu, pelaksanaan program di lapangan masih menghadapi tantangan struktural, seperti keterbatasan infrastruktur, ketidaksiapan satuan pendidikan, serta belum adanya standar gizi nasional yang baku dan terintegrasi.
Jika kebijakan ini tidak diiringi dengan perumusan kerangka regulasi yang kuat, pemantauan berbasis data, dan integrasi lintas sektor secara sistematis, maka potensi keberhasilannya dalam jangka panjang akan sulit diwujudkan.
Dengan demikian, pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy) menjadi krusial agar program ini tidak semata-mata bersifat simbolik, melainkan benar-benar memberi kontribusi terhadap pembangunan manusia secara berkelanjutan.
Baca juga: Stunting Masih Menjadi Fokus Masalah Gizi di Indonesia
Sebagai penutup dalam artikel ini bahwa program makan bergizi gratis merupakan langkah penting dalam memperbaiki kualitas sumber daya manusia, namun tidak boleh dijalankan secara tergesa atau sekadar simbolik.
Tanpa perencanaan yang matang, standar gizi yang jelas, dan pengawasan yang kuat, program ini berisiko tidak efektif dan sulit berkelanjutan.
Kritik dan masukan dari berbagai pihak justru perlu dijadikan bahan evaluasi agar kebijakan ini benar-benar berdampak.
Dengan komitmen lintas sektor dan dukungan kebijakan jangka panjang, program ini bisa menjadi investasi nyata bagi masa depan Indonesia, bukan sekadar proyek sementara.
Penulis: Triyana
Mahasiswa Jurusan S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News