Sejarah seringkali tidak melahirkan pemimpin dari rencana yang matang, melainkan dari krisis yang mendesak.
Indonesia pada tahun 1998 berada diambang kehancuran akibat krisis ekonomi, sosial, dan politik mengguncang seluruh sendi kehidupan bangsa.
Dalam situasi ini, muncullah BJ Habibie seorang teknokrat cerdas yang harus mengubah perannya bukan lagi memperbaiki mesin, tetapi menyelamatkan sebuah negara.
Lalu, strategi apa yang diterapkan Habibie untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan dan membuka jalan bagi reformasi.
Tahun 1998 membawa Indonesia ke dalam periode yang paling rapuh sepanjang sejarahnya.
Krisis ekonomi akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membawa dampak besar terhadap stabilitas sosial dan politik.
kebutuhan pokok yang melonjak tinggi, inflasi tak terkendali, dan ribuan perusahaan gulung tikar menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaannya.
Di tengah kesulitan tersebut, kerusuhan sosial meletus di berbagai daerah, puncaknya terjadi pada mei 1998 di Jakarta, merupakan luka dalam bagi bangsa.
Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah Soeharto akhirnya menjadi titik didih, sehingga memaksa dia untuk mengundurkan diri setelah lebih dari 3 dekade berkuasa.
Dalam situasi kekosongan kekuasaan yang penuh ketegangan dan ketidakpastian itu, BJ Habibie yang sebelumnya menjadi wakil presiden secara konstitusional mengambil alih kepemimpinan.
Banyak rakyat menganggap beliau sebagai “antek” Orde baru karena hanya menjalankan kekuasaan sebelumnya.
Ditambah tantangan yang dihadapinya yaitu memperbaiki ekonomi dan memulihkan kepercayaan rakyat serta menyelamatkan keutuhan negara yang terancam perpecahan.
Namun, Habibie membuktikan kemampuannya dengan merespon ketidakpercayaan rakyat dengan berani mengambil jalan berbeda dan mampu keluar dari bayang-bayang masa lalu.
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, Habibie segera mengambil langkah konkret dalam masa awal pemerintahannya.
Ia menenangkan situasi politik dengan membebaskan tahanan politik yang didalamnya terdapat tokoh-tokoh reformis yang dipenjara oleh rezim Soeharto.
Keputusan ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang bertransformasi dari negara otoriter menuju negara demokratis yang menghargai kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat.
Selain itu ia memperluas ruang kebebasan pers dengan menghapus kewajiban pemeriksaan sebelum terbit, memungkinkan media mengkritik pemerintah tanpa rasa takut.
Baca juga: Individu sebagai Aktor dan Kreator dalam Dinamika Sosial
Di sektor ekonomi, ia melakukan restrukturisasi sektor perbankan dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sehingga mengurangi ketegangan ekonomi dan memulihkan kepercayaan investor.
Selain itu, ia juga melanjutkan kerjasama dengan Dana Moneter (IMF) yang sebelumnya di mulai oleh Soeharto.
Namun, ia memilih pendekatan negosiasi untuk memastikan program-program tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Meskipun mendapat kritik dari sebagian rakyat, kerjasama ini berhasil membuka akses terhadap bantuan dana internasional dan mendorong pemulihan stabilitas ekonomi secara bertahap.
Di tengah upaya memulihkan sektor ekonomi, Habibie juga dihadapkan pada persoalan besar di bidang politik, yakni tuntutan rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Keputusan Habibie untuk memberikan referendum kepada Timor Timur pada tahun 1999 merupakan langkah yang kontroversial namun mencerminkan keberanian politik.
Banyak pihak yang menganggap bahwa ini merupakan keputusan yang sangat tergesa- gesa dan membuka celah disintegrasi wilayah lain.
Tetapi, Habibie menyadari bahwa mempertahankan wilayah yang terus dilanda oleh konflik bersenjata bukanlah strategi yang berkelanjutan bagi stabilitas nasional maupun citra Indonesia di mata dunia.
Meskipun pada akhirnya, Timor Timur memilih merdeka, keputusan Habibie bukanlah sebagai kelemahan, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab politik yang berani dalam masa transisi.
Keputusan tersebut menjadi simbol bahwa bangsa Indonesia mulai membuka diri terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia dan pengakuan atas suara rakyat, meskipun konsekuensinya pahit secara politis dan emosional.
Selain persoalan Timor Timur, Habibie juga mengambil langkah penting dalam membuka ruang demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu 1999 yang bebas dan jujur sejak era Orde Baru.
Dengan memulai proses ini, Habibie menunjukkan komitmennya terhadap reformasi politik. Di tengah tekanan ekonomi dan situasi politik yang belum stabil, ia tidak memilih jalan aman untuk memperpanjang kekuasaannya, melainkan memberikan ruang kepada rakyat untuk menentukan arah masa depan bangsa melalui suara mereka.
Pemilu 1999 diikuti oleh puluhan partai politik dan menjadi salah satu pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia saat itu.
Langkah ini mencerminkan visi Habibie sebagai pemimpin transisi yang tidak berambisi pada kekuasaan, tetapi fokus menciptakan sistem politik yang sehat dan inklusif.
Baca juga: 9 Jenis Kecerdasan: Semua Orang itu Cerdas
Meski masa pemerintahannya singkat, hasil dari kebijakannya mulai terkendali.
Nilai tukar rupiah stabil, pemilu pertama yang sukses meningkatkan partisipasi politik, dan media massa tumbuh pesat sebagai simbol kebebasan berekspresi mulai hidup kembali.
Meskipun belum sepenuhnya pulih, kepemimpinan Habibie mengajarkan bahwa dalam situasi krisis dan perubahan yang tidak bisa diprediksi, pemimpin harus mampu keluar dari zona nyaman serta responsif dengan kebijakan yang cepat, berani dan berpihak pada rakyat.
Penulis: Nayla Safa Salsabila
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan/Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News