Rencana kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menuai kontroversi, khususnya terkait klausul penerapan sistem kontrak dan pemberian kuota pemanfaatan sumber daya perikanan kepada pihak industri.
Muncul kekhawatiran akan semakin termarijinalkannya nelayan kecil terhadap akses sumber daya perikanan yang selama ini berfungsi sebagai penopang hidup sehari-hari mereka.
Terlepas dari polemik tersebut di atas, hendaknya perlu kita memahami terlebih dahulu mengenai dasar dan urgensi dari gagasan rencana implementasi kebijakan tersebut.
Karakteristik Perikanan Tangkap Indonesia
Sumber daya perikanan merupakan salah satu aset penting negara dan apabila dikelola secara baik, akan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Sektor perikanan meliputi kegiatan penangkapan, pembudidayaan dan pengolahan pemasaran ikan, baik di perairan umum daratan maupun lautan.
Sektor ini terbukti berperan penting terhadap ketahanan pangan dan gizi masyarakat, pendorong ekonomi nasional dan penyediaan lapangan pekerjaan khususnya bagi masyarakat pesisir.
Perikanan tangkap laut Indonesia merupakan perikanan yang multi-spesies, multi-gear dan multi-stakeholders. Struktur armada penangkapan ikan didominasi oleh kapal skala kecil tanpa motor atau kapal bermotor outboard dan inboard dengan ukuran < 10 gross ton (GT).
Hal tersebut sesuai dengan definisi nelayan kecil sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya dan Petani Garam.
Jumlah nelayan kecil ini mendominasi struktur armada penangkapan ikan nasional sekitar 90% dari total keseluruhan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2021), tercatat bahwa jumlah nelayan Indonesia berjumlah 2.285.790 jiwa.
Baca juga: Ironi Kolam Susu: Akankah Stok Ikan Tinggal Kenangan?
Potensi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Mengingat luas wilayah laut mencapai 70% dari total luas wilayah Indonesia, maka pengelolaan sumber daya perikanan tidak dapat dikendalikan secara sentralistik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan pengelolaan perikanan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dengan menguatkan data stok perikanan dan kelembagaan WPP.
Potensi sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia sangat berlimpah. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), mengestimasi total potensi sumber daya ikan di seluruh 11 WPPNRI sebanyak 12,01 juta ton per tahun dengan JTB 8,6 juta ton per tahun.
Estimasi potensi tersebut dibagi dalam 9 (sembilan) kelompok sumber daya ikan yang meliputi ikan demersal, ikan karang, pelagis kecil, cumi, udang penaeid, lobster, rajungan, kepiting dan pelagis besar.
Saat ini, pengelolaan perikanan di Indonesia dilakukan dengan pendekatan konvensional berdasarkan input control. Pendekatan ini dicirikan dengan pengendalian penangkapan ikan dengan mekanisme pemberian perizinan/lisensi yang hanya mengatur jumlah kapal (input) tanpa memberikan kuota penangkapan per kapal (output).
Dengan mekanisme tersebut, maka terjadi race to fish, yaitu pelaku usaha berlomba menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Selain itu, dalam sistem pengelolaan perikanan dengan pendekatan konvensional, pemungutan PNBP pra produksi tidak memperhitungkan jumlah tangkapan yang didaratkan sehingga mengeyampingkan prinsip keadilan. Untuk itu, pembatasan jumlah hasil tangkapan ikan perlu dilakukan untuk menjaga jumlah stok ikan di laut.
Bappenas memberikan arahan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) harus meletakkan partisipasi regional sebagai input utama dalam pengambilan kebijakan.
Pengambil kebijakan di pusat berperan dalam memberikan guidance serta formalisasi dari kebijakan pengelolaan perikanan untuk mendapatkan hasil yang meliputi: optimalisasi WPP-NRI menjadi pemanfaatan multi-guna, sehingga tidak terbatas pada perikanan tangkap, tetapi juga membuka peluang pemanfaatan bagi konservasi perairan, budidaya dan logistik perikanan, dari hulu ke hilir proses; mendorong kerjasama perikanan di tingkat lokal (antar kabupaten/kota atau antar provinsi serta swasta dan civil society) guna menghindari terjadinya konflik; serta mendorong sinergi lintas sektor, lintas tingkatan pemerintahan, dan antara pemerintah, dunia usaha, akademisi dan masyarakat.
Baca juga: Revitalisasi Sikkato dalam Rangka Penganekaragaman Pangan Pokok
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT)
Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dilakukan dengan prinsip berkelanjutan yaitu menyeimbangkan kepentingan ekologi dan ekonomi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan ketangguhan negeri.
Pengelolaan sumberdaya perikanan harus bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan faktor kesimbangan lingkungan.
Pengelolaan ini sejalan dengan prinsip Blue Economy yaitu mengefisienkan pengelolaan sumber daya alam, memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang seimbang, serta menjaga kelestarian ekologi dan keanekaragaman hayati.
Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan adalah menjaga keseimbangan dari seluruh aspek utama perikanan yaitu aspek biologi, aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial. Dari aspek biologi adalah bagaimana menjaga sumber daya ikan untuk berkelanjutan produktivitasnya.
Aspek lingkungan adalah bagaimana meminimalkan dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan dan SDI termasuk untuk spesies non-target dan spesies yang dilindungi.
Aspek ekonomi adalah bagaimana menghasilkan keuntungan ekonomi yang optimal bagi pelaku usaha dan masyarakat serta menghasilkan penerimaan berkelanjutan bagi negara.
Sedangkan aspek sosial adalah bagaimana memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian bagi nelayan dan masyarakat, memberdayakan perempuan serta menjaga harmoni antar stakeholder.
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap saat ini sedang merumuskan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT).
Kebijakan ini merupakan game changer dan reformasi besar dalam pengelolaan perikanan Indonesia karena mengedepankan pengelolaan berbasis output control.
Kebijakan PIT mengatur pengendalian penangkapan ikan melalui mekanisme perizinan dengan mempertimbangkan kuota per kapal; hasil tangkapan dari para pelaku usaha dilakukan berdasarkan kuota (catch limit); dan pemberlakuan penarikan PNBP pasca produksi berdasarkan jumlah tangkapan yang didaratkan.
Sedangkan penarikan PNBP berdasarkan “kontrak” (gabungan pra produksi dan pasca produksi) sehingga pemasukan negara dapat diproyeksikan berdasarkan nilai alokasi sumber daya ikan. Namun demikian, sistem kontrak ini masih menjadi perdebatan di masyarakat.
Kebijakan penangkapan ikan terukur perlu disandingkan dengan pengelolaan perikanan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Dengan demikian, PIT perlu menitikberatkan pada pengaturan perizinan penangkapan ikan berbasis kuota yang dilakukan pada beberapa (6 zona) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang ditentukan Pemerintah.
Selain itu, terdapat penguatan pada beberapa aspek pengaturan lainnya, diantaranya: 1) jumlah ikan yang boleh ditangkap berdasarkan kuota volume produksi; 2) musim penangkapan ikan; 3) jumlah dan ukuran kapal; 4) jenis alat tangkap; 5) pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan/ pembongkaran ikan; 6) penggunaan ABK lokal; 7) suplai pasar domestik dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di WPP yang ditetapkan; serta 8) jumlah pelaku usaha, dengan memberlakukan sistem kontrak untuk jangka waktu tertentu.
Pengaturan ini diperlukan untuk menjamin pemaanfatan sumber daya ikan yang tersedia dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia secara adil dan merata.
Nelayan Skala Kecil vs Industri
Kebijakan PIT akan berdampak pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan bagi nelayan skala kecil maupun industri. Hal ini terutama akibat pemberian jumlah kuota penangkapan bagi masing-masing pihak. Dengan keterbatasan skill dan teknologi, nelayan kecil dikhawatirkan akan kembali termarginalkan oleh pengusaha penangkapan yang memiliki modal besar dalam kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan.
Kuota penangkapan dalam kebijakan PIT dibagi menjadi kuota untuk nelayan lokal (tidak perlu membayar PNBP), kuota untuk kegiatan bukan tujuan komersial misalnya hobi, riset, dan diklat (tidak perlu membayar PNBP), dan kuota untuk industri pada setiap zona penangkapan ikan (membayar PNBP).
Pemberian kuota ini merupakan bentuk pengendalian oleh pemerintah agar kegiatan penangkapan ikan tidak underfishing maupun overfishing. Sesuai amanat UUD 1945, maka KKP wajib menjamin dan memprioritaskan kuota penangkapan bagi nelayan kecil sebelum menentukan pemberian kuota pada kegiatan non-komersial, dan sisa kuota yang ada ditawarkan kepada badan usaha/industri.
Kebijakan PIT selalu diidentikkan dengan upaya pengkavlingan laut. Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan penegasan kepada masyarakat bahwa zona penangkapan ikan terukur bukan merupakan bentuk pengkavlingan laut, melainkan penetapan zona berdasarkan pada WPPNRI dimana pemanfaatan sumber daya ikan harus memperhatikan keberadaan kawasan konservasi serta daerah pemijahan ikan dan pengasuhan ikan.
Penerapan kebijakan PIT diharapkan dapat berdampak pada penambahan penyerapan tenaga kerja masyarakat pesisir, pemerataan distribusi pertumbuhan ekonomi di daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kemudahan dalam ketertelusuran asal ikan ditangkap (fish traceability), peningkatan PNBP, serta peningkatan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian nasional.
Selain itu, dengan penangkapan ikan terukur, kualitas pendataan tangkapan ikan yang didaratkan akan semakin baik karena langsung ditimbang dan dicatat di pelabuhan perikanan secara real time. Hal ini akan sangat berguna bagi pengelolaan perikanan jangka panjang yang membutuhkan data yang akurat.
Penulis: Diky Suganda
Mahasiswa S3 Ilmu Pertanian Universitas Halu Oleo