Era digital telah mengubah secara fundamental cara masyarakat Indonesia berinteraksi, berkomunikasi, dan mengakses informasi.
Perubahan ini membawa berbagai dampak positif seperti kemudahan akses informasi dan efisiensi dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun, disisi lain juga memunculkan tantangan-tantangan baru seperti meningkatnya polarisasi masyarakat, penyebaran hoaks, intoleransi di media sosial, dan degradasi nilai-nilai kebersamaan yang merupakan esensi dari Pancasila.
Sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Pancasila seharusnya tetap menjadi landasan dan panduan dalam menghadapi berbagai perubahan zaman, termasuk di era digital.
Namun, dalam prakteknya, implementasi nilai-nilai Pancasila menghadapi tantangan signifikan di tengah arus digitalisasi yang semakin masif.
Oleh karena itu, penting untuk mengkaji secara kritis bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat direvitalisasi dan diimplementasikan secara efektif dalam konteks masyarakat digital Indonesia saat ini.
Baca juga: Putusan MK dan Etika Pancasila: Menegakkan Nilai Kemanusiaan Di Era Digital
Di era digital yang serba cepat dan terkoneksi, Pancasila menghadapi tantangan eksistensial. Nilai-nilainya kerap tergerus oleh derasnya informasi, kebebasan berekspresi tanpa batas, serta keterbelahan sosial di ruang maya.
Namun, justru dalam situasi inilah Pancasila kembali dituntut menjadi penuntun arah bangsa. Perkembangan teknologi digital telah mengubah secara fundamental cara masyarakat Indonesia berinteraksi, berkomunikasi, dan mengakses informasi.
Digitalisasi menawarkan banyak kemudahan dari efisiensi birokrasi, kebebasan berekspresi, hingga partisipasi publik yang semakin luas.
Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan peningkatan polarisasi opini, maraknya ujaran kebencian, penyebaran hoaks, hingga praktik intoleransi yang berkembang di ruang digital.
Ironisnya, perubahan ini kerap terjadi tanpa pondasi nilai yang kuat. Di tengah euforia teknologi, nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, toleransi, dan rasa persatuan mengalami degradasi.
Di sinilah pentingnya kembali meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara dan panduan moral dalam menghadapi era digitalisasi.
Tantangan Implementasi Pancasila di Era Digital
Tantangan terbesar dalam implementasi Pancasila di era digital terletak pada lemahnya kesadaran kolektif akan nilai-nilainya. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, diuji oleh merebaknya intoleransi berbasis agama yang kerap disebarkan melalui konten-konten provokatif.
Media sosial sering menjadi ruang subur bagi narasi-narasi ekstrem, bahkan justru dari sesama warga negara.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tampak memudar dalam praktik perundungan siber, pelecehan daring, dan rendahnya etika komunikasi digital.
Netizen kerap merasa bebas menghujat tanpa memperhitungkan dampak psikologis terhadap sesama pengguna.
Persatuan Indonesia, sila ketiga, terguncang oleh polarisasi politik dan perpecahan identitas digital. Alih-alih menjadi ruang penyatu, media sosial justru memperkuat sekat-sekat sosial melalui algoritma yang mempersempit perspektif.
Sementara itu, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menghadapi tantangan dalam bentuk rendahnya literasi digital dan partisipasi kritis warga negara.
Banyak yang mudah terprovokasi, kurang memverifikasi, dan terjebak dalam ruang gema (echo chamber) yang membatasi dialog.
Terakhir, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sulit terwujud bila kesenjangan digital tetap tinggi.
Di saat sebagian masyarakat menikmati akses internet super cepat, sebagian lainnya masih bergelut dengan keterbatasan infrastruktur dan literasi teknologi.
Langkah Nyata Meneguhkan Pancasila di Ruang Digital
Revitalisasi nilai-nilai Pancasila di era digital tidak bisa hanya mengandalkan wacana. Diperlukan langkah-langkah nyata dan aplikatif agar Pancasila tetap membumi dalam kehidupan masyarakat digital.
Pertama, pendidikan Pancasila harus dikemas dengan pendekatan digital yang kreatif. Alih-alih hanya hafalan teks, perlu ada transformasi kurikulum yang mengaitkan nilai-nilai Pancasila dengan isu-isu aktual di ruang digital, seperti etika bermedia sosial, penyikapan terhadap hoaks, dan pentingnya empati daring.
Kedua, keteladanan pemimpin sangat krusial. Figur publik, termasuk pejabat, influencer, hingga selebritas digital, memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini dan perilaku netizen.
Ketika mereka menunjukkan sikap yang bijak, inklusif, dan mengedepankan nilai-nilai kebangsaan, publik pun akan meniru.
Ketiga, gerakan literasi digital harus diperkuat dengan perspektif Pancasila. Literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan perangkat, tapi juga tentang berpikir kritis, bersikap etis, dan bertanggung jawab dalam setiap interaksi daring.
Keempat, regulasi digital yang etis dan berorientasi nilai kebangsaan perlu dikembangkan. Negara harus mampu melindungi ruang digital dari konten destruktif tanpa mengorbankan kebebasan sipil.
Peraturan yang berpijak pada semangat Pancasila akan mampu menjembatani dua kepentingan ini secara berimbang.
Kelima, kolaborasi antar-stakeholder harus diperkuat. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Dunia pendidikan, media, platform digital, organisasi masyarakat, hingga pengguna individu harus terlibat aktif dalam merawat ruang digital yang sehat dan berlandaskan Pancasila.
Pancasila: Pilar Etika Masyarakat Digital
Di tengah gempuran digitalisasi yang disruptif, Pancasila bukan hanya tetap relevan tetapi justru semakin dibutuhkan.
Ia menjadi jangkar moral yang mencegah bangsa ini terombang-ambing dalam arus informasi tak terbatas. Pancasila memberikan arah dalam mengelola kebebasan digital secara bertanggung jawab, adil, dan manusiawi.
Meneguhkan Pancasila bukan pekerjaan mudah. Tapi inilah saatnya kita tidak hanya berbicara tentang nilai, tetapi menghidupinya dalam cuitan, unggahan, komentar, hingga keputusan yang kita ambil di dunia maya.
Pancasila tidak boleh menjadi teks mati di buku pendidikan. Ia harus menjadi nilai hidup yang menjelma dalam jari-jari kita saat berselancar di internet.
Karena di balik setiap klik, ada pilihan: memperkuat keindonesiaan atau justru meletakkannya. Maka mari memilih untuk menjaga dan meneguhkan Pancasila, bahkan (dan terutama) di tengah arus digitalisasi.
Penulis:Â Muhammad Haydar Musthofa
Mahasiswa Jurusan Agroekoteknologi, Universitas Brawijaya
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News