Setiap pergantian menteri pendidikan di Indonesia selalu disambut dengan satu pola yang sama: perubahan kebijakan secara drastis. Mulai dari kurikulum, sistem evaluasi, hingga mekanisme zonasi, semuanya seperti diputar ulang tanpa mempertimbangkan kesinambungan jangka panjang.
Dalam praktiknya, siswa dan guru harus kembali menyesuaikan diri dengan kebijakan baru yang belum tentu lebih baik dari sebelumnya. Bukan perbaikan yang dirasakan, justru kebingungan dan kelelahan karena harus terus beradaptasi. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang stabil tumbuh-kembang malah jadi panggung eksperimen kebijakan.
Kritik terhadap pola “ganti menteri, ganti kebijakan” ini bukan tanpa dasar. Laporan berbagai lembaga independen menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan pendidikan yang benar-benar dievaluasi menyeluruh sebelum diganti. Ketika Kurikulum 2013 mulai berjalan, belum sempat dituntaskan, Kurikulum Merdeka diperkenalkan.
Dan kini, dengan wacana kembalinya sistem penjurusan IPA/IPS/Bahasa, publik semakin gamang terhadap arah pendidikan nasional. Apakah setiap pergantian kepemimpinan harus membawa revolusi, atau justru menciptakan ketidakpastian berkelanjutan?
Para guru, sebagai garda terdepan pendidikan, merasakan langsung dampak inkonsistensi ini. Mereka dipaksa mengikuti pelatihan demi pelatihan untuk memahami kebijakan baru, kadang dengan waktu dan sumber daya yang terbatas.
Alih-alih fokus mengajar dan membina karakter siswa, energi mereka terkuras untuk memenuhi tuntutan administratif dari perubahan sistem. Bahkan banyak guru mengeluhkan bahwa pelatihan sering kali hanya formalitas tanpa substansi. Ketika orientasi kebijakan lebih banyak diarahkan pada pencitraan, maka mutu pendidikan hanya menjadi korban.
Baca Juga: Reformasi Pendidikan di Era Kabinet Merah Putih: Terobosan atau Kebijakan Tanpa Arah
Hal serupa dirasakan siswa. Mereka menjadi objek dari sistem yang terus berubah tanpa sempat memahami sistem sebelumnya. Dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional, dari zonasi ketat ke afirmasi dan kembali lagi ke seleksi akademik. Kini, siswa SMA kembali menghadapi wacana penjurusan sejak awal yang berpotensi mematikan fleksibilitas belajar lintas disiplin. Di mana ruang eksplorasi minat dan bakat yang dijanjikan oleh Kurikulum Merdeka?
Ketiadaan arah pendidikan yang konsisten juga berimbas pada dunia perguruan tinggi dan pasar kerja. Lulusan sekolah menengah atas datang dengan kurikulum berbeda-beda tiap angkatan, menyulitkan standarisasi kompetensi dasar.
Dunia industri pun sulit membaca profil lulusan karena kebijakan yang tidak linear. Jika pendidikan adalah investasi jangka panjang, maka semestinya ia dibangun dengan visi yang ajeg, bukan dengan semangat coba-coba yang berganti setiap lima tahun.
Baca Juga: Sekolah Sudah Banyak, Tetapi Mengapa Kualitas Pendidikan Masih Memprihatinkan?
Salah satu akar masalahnya adalah ketiadaan grand design pendidikan nasional yang kokoh dan mengikat lintas periode pemerintahan. Indonesia seharusnya memiliki peta jalan pendidikan jangka panjang, bukan sekadar program unggulan tiap menteri.
Dalam negara-negara maju, kebijakan pendidikan dibangun berdasarkan konsensus lintas partai dan lintas kabinet. Hal ini menciptakan kontinuitas dan stabilitas yang memungkinkan sistem pendidikan berkembang secara bertahap dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, keterlibatan publik dan para ahli pendidikan juga kerap diabaikan. Kebijakan seringkali dirumuskan secara top-down tanpa melibatkan suara guru, siswa, dan orang tua secara bermakna.
Forum uji publik hanya menjadi formalitas, sementara keputusan sudah ditetapkan di ruang elit kementerian. Padahal, kunci keberhasilan kebijakan adalah dukungan dari para pelaksana di lapangan. Ketika kebijakan tidak berpijak pada realitas, maka kegagalan hanya tinggal menunggu waktu.
Baca Juga: Krisis Moral Generasi Muda di Era Digital Melalui Gagasan Pendidikan Karakter KH. Ahmad Dahlan
Pendidikan bukan sekadar urusan administrasi atau proyek pencitraan. Ia menyangkut masa depan bangsa, karakter generasi, dan ketahanan budaya. Jika setiap kebijakan hanya lahir dari semangat pembaruan demi nama baik satu menteri, maka kita sedang mempertaruhkan masa depan jutaan anak bangsa. Sudah saatnya kita berhenti menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan dalam laboratorium kebijakan yang tidak konsisten.
Pemerintah baru ke depan harus belajar dari kekeliruan ini. Perlu ada keberanian untuk menyusun dan mengikat diri pada peta jalan pendidikan nasional jangka panjang yang disepakati bersama. Bukan hanya antar kementerian, tapi juga dengan masyarakat sipil, organisasi guru, dan akademisi. Jangan biarkan kebijakan pendidikan menjadi ajang pencapaian individual pejabat, tetapi bangunlah sistem yang melayani kepentingan rakyat secara berkelanjutan.
Baca Juga: Pengaruh Faktor Financial Keluarga terhadap Tumbuh Kembang dan Pendidikan Anak
Pendidikan adalah soal kepercayaan jangka panjang. Sekali ia goyah, kepercayaan masyarakat sulit untuk kembali. Jika kita ingin Indonesia Emas 2045 bukan sekadar jargon, maka perbaikilah pendidikan dari akarnya. Berhentilah mengganti arah setiap kali berganti nahkoda. Anak-anak Indonesia bukan objek kebijakan, mereka adalah subyek masa depan yang layak mendapatkan sistem pendidikan yang konsisten, adil, dan bermutu.
Penulis: Elis Karwati Sri Mulyani
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam Magister UIN Bandung
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News