Ketika Siswa Belajar dari Chat GPT
Seorang siswi SMP di kota Bandung menyelesaikan tugas Matematika dari gurunya hanya dengan hitungan detik menggunakan Chat GPT.
Saat gurunya bertanya darimana angka dalam jawaban itu berasal, dia hanya bisa tersenyum dan berkata “kata GPT Bu, kayak gitu”, jawaban generasi AI.
Adegan ini mungkin akan semakin sering kita temui di ruang kelas hari ini.
Menurut survei Tirto dan Jakpat, yang juga dikutip oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid, 87% pelajar di Indonesia telah menggunakan AI untuk mengerjakan tugas mereka.
Bahkan, Indonesia tercatat sebagai negara pengguna AI terbanyak ketiga di dunia (KBR ID).
Teknologi ini memang bukan barang baru, bahkan saat ini pelajar dari mulai SD hingga mahasiswa sudah mulai menggunakannya.
Baca juga: Implementasi Teknologi AI dalam Pelaksanaan Operasi Bedah Medis Efektif atau Berbahaya?
AI: Teman Curhat, Tukang Ketik, atau Alat Belajar?
AI atau Kecerdasan Buatan, adalah teknologi yang bisa berpikir layaknya manusia, kadang bahkan lebih cepat, tanpa mengeluh atau butuh secangkir kopi dulu.
Dari mulai menjawab soal, menyusun esai, sampai memberi saran menu makan siang.
Bukan hanya menjadi “asisten pribadi”, tren AI saat ini bahkan sudah bisa meniru gaya komunikasi manusia.
Sehingga tidak aneh jika ada orang yang bahkan menjadikan AI sebagai teman curhat. Ada yang bilang, AI ini lebih sabar dari guru BK, ga akan marah walau ditanya hal yang sama berkali-kali.
Memang benar bahwa AI saat ini mengubah cara manusia belajar, bekerja bahkan hidup.
Baca juga: Manusia Silver dan Tantangan Sosial: Refleksi Nilai Pancasila dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Tetapi seperti kata Uncle Ben dalam film Spiderman, “Kekuatan Besar mendatangkan Tanggung Jawab Besar”, AI juga mendatangkan resiko besar terutama kalau tidak tahu cara memakainya.
Risiko AI di Tangan Pelajar
Masalahnya, tidak semua pengguna AI mengetahui bagaimana seharusnya teknologi ini digunakan secara bijak.
Malik (2023) dalam International Journal of Educational Research Open menyebut bahwa penggunaan AI memunculkan kekhawatiran serius seperti plagiarisme, informasi yang salah, etika akademik serta dampak jangka panjang terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreativitas.
Di sisi lain, guru pun belum semua siap.
Banyak sekolah masih kekurangan infrastruktur teknologi, pelatihan terbatas, dan kesenjangan digital yang masih tinggi.
Sederhananya, anak-anak sudah lari pakai sepatu roda AI, sementara gurunya masih cari sendal.
Pemerintah Turun Tangan, tapi Masih Mengejar
Kekhawatiran ini tidak diabaikan oleh pemerintah.
Pada bulan Februari 2025 Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menerbitkan Naskah Akademik Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial, yang menjadi pijakan kebijakan nasional.
Kebijakan ini mencakup integrasi AI ke dalam kurikulum sekolah, pelatihan dan sertifikasi bagi guru, serta pengembangan bahan ajar yang mendukung.
Tujuannya adalah membentuk keterampilan abad ke-21: berpikir runtut dan terstruktur, kemampuan memecahkan masalah, dan tanggung jawab etis dalam menggunakan teknologi.
Namun, kebijakan pendidikan digital ini sedang berpacu dengan realita di lapangan. AI berkembang begitu cepat, kadang lebih cepat dari proses revisi kurikulum itu sendiri.
Maka, penting bagi guru dan siswa untuk terus update, memahami tren AI, sekaligus tetap menjaga etika dan kejujuran intelektual.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya cantik dalam naskah akademik, tapi benar-benar bisa diterapkan dan dievaluasi secara berkala.
Baca juga: Melindungi Masyarakat dari Serangan Hoaks dan Penipuan di Tengah Perkembangan Masif Teknologi AI
Cepat Pintar atau Malah Tersesat?
Di era ini, belajar bukan hanya soal menghafal dan mengerjakan soal, tapi juga tentang bagaimana kita menyaring informasi, berpikir kritis, dan bijak memanfaatkan teknologi.
AI bukan monster yang harus ditakuti, tapi juga bukan untuk dijadikan pengganti guru. Ia adalah alat. Pertanyaannya sekarang: kita mau pakai alat ini untuk belajar, atau sekadar menyontek lebih rapi?
Penulis: Siti Nurhasanah
Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News