Menilik Kurikulum Merdeka di SMA, Sebuah Kemajuan atau Kemunduran?

Kurikulum Merdeka di SMA
Ilustrasi Siswa Sekolah Menengah Atas (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa dinilai dari pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan berbagai model kurikulum pendidikan sejak pasca kemerdekaan hingga saat ini.

Sejarah mencatat, perubahan kurikulum dimulai dari Kurikulum 1947 hingga Kurikulum Merdeka yang diterapkan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelajar di zamannya masing-masing.

Pemberlakukan Kurikulum Merdeka oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim dengan mengusung Merdeka Belajar, mengganti Ujian Nasional menjadi Asesmen Nasional, menghapus Ujian Sekolah Berstandar Nasional, menyederhanakan RPP menjadi Modul Ajar, menyesuaikan kuota jalur prestasi penerimaan peserta didik baru bedasarkan zonasi, adanya sekolah penggerak yang mengembangkan sekolah-sekolah katalis diawali dengan pemberdayaan kepala sekolah dan guru menjadi SDM unggul.

Bacaan Lainnya
DONASI

Kurikulum Merdeka berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter, serta kompetensi peserta didik sehingga memiliki karakteristik utama dalam pembelajaran berbasis proyek dan karakter sesuai Profil Pelajar Pancasila.

Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Kurikulum Merdeka ‘memaksa’ guru untuk aktif, kreatif, dan inovatif dalam melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Kendati demikian, Kurikulum Merdeka masih memiliki kendala dalam pelaksanaannya. Dimulai dari beragam kondisi geografis, infastruktur, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia sehingga sulitnya integrasi kurikulum dengan sekolah-sekolah berada di daerah 3 T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Ribet dan tidak realistis dalam Kurikulum Merdeka, terlihat dari SMA tidak ada penjurusan lagi. Pada kelas X peserta didik mendapatkan materi yang sama dengan materi di SMP. Kelas XI dan XII peserta didik dapat memilih mata pelajaran sesuai minatnya. Hal tersebut terdengar indah dan menyenangkan, namun mengandung banyak masalah.

Pertama, mengatur jam pelajaran tidak mudah dilakukan. Banyak sekolah yang memiliki kendala kekurangan guru PNS dalam mengajar mata pelajaran pilihan peserta didik sehingga meminta guru berbeda mata pelajaran yang tidak memiliki jam pelajaran cukup untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidangnya.

Misalnya, di sekolah Y terdapat mata pelajaran sastra Indonesia sebagai kategori mata pelajaran minat untuk kelas XI dan XII, namun guru yang dimiliki hanya cukup untuk mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia wajib sehingga guru lain menggantikan untuk mengajar meskipun bukan bidangnya untuk memenuhi JP dalam satu minggu.

Kedua, masalah penjurusan di SMA. Pada kelas X peserta didik mendapatkan materi yang sama dengan materi di SMP sehingga menambah beban pelajaran di SMA.

Kemudian penjurusan yang dilakukan di kelas XI, dilakukan sesuai ‘minat pelajaran yang akan diambil peserta didik’ bukan dikategorikan IPA dan IPS sehingga saat peserta didik naik ke kelas XII, mereka tidak mendapatkan materi untuk mendukung masuk perguruan tinggi (PT).

Ketiga, masalah pembuatan Modul Ajar yang tidak semua guru dapat membuatnya. Hal ini karena kurangnya pemahaman mereka terdapat hakikat dari Kurikulum Merdeka, kurangnya desain yang baik dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan di tingkat Kabupaten dan Kota, Provinsi, bahkan tingkat nasional, serta beberapa informasi mengindikasikan bahwa pelatihan seringkali dilakukan secara terburu-buru.

Keempat, dukungan sekolah dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Rendahnya dukungan dalam implementasi Kurikulum Merdeka disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam memberikan dukungan dan keberhasilan implementasi kurikulum ini.

Kemudian alokasi dana yang tinggi dalam setiap pelaksanaan proyek Kurikulum Merdeka, namun sekolah memiliki cukup dana. Apabila, peserta didik diberlakukan iuran dalam pelaksanaannya, maka sekolah akan ‘dituduh’ melakukan pemungutan liar.

Kelima, inovasi dalam program pembelajaran. Salah satu inovasi dalam membantu peserta didik untuk memahami konsep dan memperkuat kompetensi adalah menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah.

Metode pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan untuk melatih keterampilan berpikirnya dalam memecahkan masalah, mengembangkan pemikiran kritis, memahami peran dalam kehidupan nyata, mendorong kemandirian dan tanggung jawab siswa.

Selain itu, motode pembelajaran berbasis proyek dapat diterapkan kepada peserta didik untuk meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah proyek, memeroleh pengetahuan dan keterampilan baru selam belajar, serta berkolaborasi dengan peserta didik lain.

Sehubungan dengan itu, melalui opini ini penulis mengajak semua pihak yang berkontribusi dalam pendidikan untuk mengatasi kendala pelaksanaan Kurikulum Merdeka di SMA.

Pertama, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja sama dala menetapkan target jumlah sekolah yang akan mengimplementasikan kurikulum ini sehingga siklus implementasi terstruktur mulai dari alokasi penganggaran pengadaan sarana pendidikan, pelatihan, implementasi dan pendampingan, hingga evaluasi keberhasilan dan kegagalan.

Selanjutnya, pelatihan guru ditingkatkan dengan pendekatan berjenjang dan koordinasi yang baik antara pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi, dan pemerintahan kabupaten/kota.

Pelatihan tersebut harus didesain dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran yang baik dan disampaikan oleh instruktur yang memiliki pengalaman dalam implementasi Kurikulum Merdeka.

Sementara itu, pada mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran yang mendapat dampak signifikan adanya pemberlakuan Kurikulum Merdeka.

Jika pada kurikulum sebelumnya, terdapat ranah keterampilan berbahasa meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kini, menambahkan keterampilan menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan, dan menulis.

Konteks Kurikulum Merdeka pada mata pelajaran bahasa Indonesia, mengajak guru dan peserta didik untuk saling berkomunikasi secara aktif. Dengan demikian, guru berperan sebagai fasilitator yang diberikan kebebasan dalam mengajar dengan pembelajaran yang bersifat kontekstual dan dijalankan secara inovatif.

Capaian pembelajaran bahasa Indonesia dalam setiap fase berbeda sehingga diperlukan alur pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dan fasilitas penunjang dimiliki oleh sekolah.

Proses pembelajaran bahasa Indonesia dimulai dengan peserta didik memilih gaya belajar yang sesuai dengan bakat dan minatnya menggunakan pre test atau teknik non tes. Kemudian guru akan mengelompokkan peserta didik sesuai dengan gaya belajar, apakah tipe belajar kinestetik, audio, visual, atau audio-visual.

Kemudian guru menerapkan media pembelajaran yang sesuai dengan kondisi peserta didik sehingga mereka harus ‘melek teknologi’ tidak hanya terpaku pada buku teks, akan tetapi dapat menggunakan teknologi dan memanfaatkannya dalam proses pembelajaran. Minimal saat ini guru harus bisa membuat salindia yang menarik dan mengoperasikan LCD proyektor.

Selain itu, proses keterlibatan peserta didik secara penuh dalam menemukan, melakukan, mengidentifikasi, dan menghubungkan materi ajar dengan situasi kehidupan diharapkan dapat menghasilkan produk yang beragam.

Peserta didik tidak hanya belajar menghasilkan teks, akan tetapi produk mereka dapat berupa video, infografis, poster, komik, bahkan film pendek. Dengan demikian, output yang dihasilkan peserta didik dapat mencapai tujuan Profil Pelajar Pancasila.

Penulis: Azizah Nur Imani
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI