Pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang terkesan terburu-buru memunculkan banyak protes, terutama dari pergerakan perempuan Indonesia.
Protes tersebut menggarisbawahi militerisme yang tidak terbatas pada persoalan strategi pertahanan, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas, terutama terhadap ketimpangan gender.
Kekuasaan militer seringkali beriringan dengan sistem patriarki yang mempersempit ruang gerak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dari kebijakan negara hingga kekerasan sistematis terhadap perempuan terutama di wilayah konflik, militerisme menciptakan struktur yang menguntungkan dominasi laki-laki dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat.
Tulisan ini akan mengulas secara kritis hubungan antara militerisme dan ketimpangan gender serta implikasinya bagi demokrasi dan hak-hak perempuan Indonesia.
Baca juga: Suara yang Terpinggirkan: Budaya Patriarki dan Keterbatasan Suara Perempuan di Indonesia
Militerisme dan Konservatisme Gender
Seperti yang sudah disinggung, penerapan militerisme tidak hanya terbatas pada strategi pertahanan, tetapi juga pada struktur sosial yang memperkuat ketimpangan gender.
Dalam pandangan sosiolog-feminis Sylvia Walby, sistem patriarki memanfaatkan militerisme untuk mempertahankan dominasi laki-laki dan mengontrol perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Nilai-nilai maskulinitas yang agresif dan dominan dikokohkan dalam sistem militer, membatasi peran perempuan serta membentuk struktur hierarkis di mana laki-laki mendominasi posisi tertinggi.
Salah satu karakteristik utama militerisme adalah glorifikasi kekuatan dan agresi sebagai simbol kepemimpinan.
Dalam konteks ini, perempuan sering dianggap sebagai pihak yang harus dilindungi, bukan sebagai agen aktif dalam pengambilan keputusan strategis.
Stereotip ini menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan dan menormalisasi subordinasi mereka dalam berbagai sektor, termasuk politik dan pemerintahan.
Selain itu, dominasi militerisme juga menciptakan struktur sosial yang menutup akses perempuan terhadap sektor-sektor strategis, membentuk budaya ketergantungan terhadap perlindungan laki-laki, serta mengesampingkan perspektif gender dalam kebijakan publik.
Baca juga: Menguak Psikologi Perempuan ala Ester Lianawati: Perempuan Jadilah Liar!
Operasi Militer dalam Sistem Sosial dan Politik
Sejarah mencatat bahwa kekuasaan militer di Indonesia telah memberikan dampak signifikan terhadap perempuan, terutama dalam hal domestikasi peran mereka di ruang publik.
Pemerintah membentuk organisasi seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita yang bertujuan mengkondisikan perempuan agar hanya berfokus pada peran sebagai istri dan ibu.
Organisasi ini menanamkan nilai-nilai bahwa perempuan tidak seharusnya berperan di luar ranah domestik dan sebaiknya mendukung peran laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga dan masyarakat.
Selain itu, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organisasi progresif yang memperjuangkan hak perempuan dalam pendidikan dan politik, dibubarkan oleh rezim Orde Baru dengan alasan sebagai ancaman bagi stabilitas negara.
Hal ini mengakibatkan perempuan semakin terpinggirkan dari kehidupan publik dan politik serta kehilangan wadah perjuangan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Di Indonesia, pembahasan tentang RUU TNI semakin menimbulkan kekhawatiran terhadap risiko meningkatnya pengaruh militer dalam urusan sipil.
Usulan revisi ini, yang didorong oleh Presiden Prabowo Subianto dan disetujui tanpa partisipasi masyarakat sipil, menunjukkan betapa kuatnya cengkraman militerisme dalam politik.
Kritik terhadap revisi ini menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan militer yang dapat semakin menekan gerakan perempuan dan demokrasi.
Para aktivis feminis mengingatkan bahwa peningkatan peran militer dalam pemerintahan dapat memperburuk ketidakadilan gender serta meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan Berbasis Gender dan Trauma Kolektif Perempuan
Dalam masyarakat yang sangat militeristik dan oligarkis, kekerasan terhadap perempuan sering digunakan sebagai alat kontrol sosial.
Aparat militer dan elite politik kerap menggunakan kekerasan seksual sebagai metode untuk mempertahankan status quo dengan menciptakan ketakutan dan kepatuhan di kalangan perempuan.
Contoh nyata dari praktek ini adalah kasus Marsinah pada tahun 1993, dimana seorang buruh perempuan yang memperjuangkan hak pekerja diculik dan dibunuh.
Kasus ini menunjukkan bagaimana perempuan yang berani menentang sistem yang menindas akan dihadapkan pada kekerasan ekstrim sebagai bentuk hukuman dan intimidasi.
Tragedi Mei 1998 juga menjadi bukti bagaimana perempuan, terutama etnis Tionghoa, menjadi target kekerasan seksual yang dilakukan secara sistematis.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan seringkali dijadikan alat terror dalam situasi krisis, konflik, atau peperangan.
Kesimpulannya, dimanapun militerisme berkembang, kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat.
Perempuan yang berani menuntut keadilan sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara.
Oleh karena itu, gerakan masyarakat sipil terus mendesak pemerintah untuk membatasi keterlibatan militer dalam urusan sipil serta menegakkan keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender.
Selain itu, gerakan perempuan juga menyoroti mandeknya legislasi penting seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang telah lama diabaikan oleh parlemen.
Perjuangan untuk kesetaraan gender dalam lingkungan militer dan pemerintahan harus terus dilakukan agar perempuan memperoleh hak yang setara dan kesempatan untuk berkontribusi dalam pengambilan kebijakan strategis yang menentukan masa depan bangsa.
Tanpa reformasi struktural, ancaman militerisme terhadap perempuan akan terus berlanjut, menghambat demokrasi dan kebebasan perempuan dalam kehidupan publik.
Penulis: Inun Fariha Nuhba
Mahasiswa Kajian Wanita, Universitas Brawijaya
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News