Masa Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa. Masa remaja cenderung belum mengalami kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang bertentangan.
Baru-baru ini yang viral di sosial media tentang seorang anak yang ingin bebas dari orang tuanya karena telah berumur 17 tahun. Anak tersebut pulang dalam keadaan mabuk dini hari ke rumahnya. Kecenderungan anak seumuran tersebut labil dan ingin menghabiskan waktu dengan teman-teman serta pasangannya.
Baca juga: Keadilan yang Ada dalam Menangani Kasus Pelecehan Seksual di Indonesia
Pergaulan menjadi masalah utama dalam kehidupan remaja tersebut. Kehidupan malam yang liar dan hubungan seksual di umur yang belum matang menjadi hal biasa bagi kehidupan ibukota. Tercatat dalam data BKKBN, di Ibukota Jakarta 14% anak di umur 11-14 Tahun telah melakukan hubungan seks dan untuk 79% anak umur 15-19 Tahun sudah melakukan seks.
Angka tersebut sangat fantastis mengingat pergaulan yang bebas menjadi masalah utamanya. Kurangnya pengetahuan anak tentang sex education juga menjadi masalah terberat di Ibukota Tercinta. Maka dari itu, pentingnya untuk mempelajari resiko Kesehatan reproduksi yang dihadapi para remaja.
Baca juga: Guru Melakukan Kekerasan Seksual, Bagaimana Dampak Trauma yang Dialami Korban?
Kebutuhan dan jenis risiko Kesehatan reproduksi yang sangat dihadapi remaja mempunyai ciri khas yang berbeda dari anak-anak atau pun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual, kekerasan seksual dan pelayanan kesehatan.
Risiko ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan Gender, kekerasan seksual serta pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri, mereka tampaknya kekurangan informasi dasar mengenai keahlian menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan dibandingkan para Pria. Sehingga akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di pedesaan, haid pertama biasanya cenderung akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka mengalami risiko kehamilan dan persalinan dini.
Maka dari itu, untuk para remaja perlu adanya konseling tentang resiko Kesehatan reporduksi yang dialami. Agar para remaja berfikir 2 kali sebelum melakukan hubungan seksual agar terhindar dari resiko yang ada.
Nama: Masnita Nainggolan
NPM: 02190200042
Mahasiswa Jurusan Epidemiologi, Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Maju