Perspektif Hukum terhadap Impor Mobil Mewah secara Ilegal dari Kawasan Singapura ke Pelabuhan Batam

opini
Rearview of parked cars Car dealership office. New car parked in modern showroom. Automobile leasing and insurance concept.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mendefinisikan pengertian impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Kemudian pengertian dari ilegal adalah tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum, seperti barang gelap, liar, ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan.

Jika barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang diperoleh secara sah, maka transaksi tersebut dilarang. Keabsahan transaksi tentu menjadi masalah jika barang yang dicakup dalam transaksi tersebut adalah barang asal kejahatan. Tidak hanya keabsahan barang yang diperjualbelikan, namun tentu saja para pelaku yang terlibat dapat dikenakan sanksi atas tindakan mereka tersebut.

Penyelundupan adalah perbuatan yang dapat merugikan masyarakat sekaligus suatu negara, terkadang perbuatan ini dijadikan sebagai kepentingan individu maupun kepentingan dari suatu golongan tertentu.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Pengaruh Cyber Security dalam Perekonomian di Era Digital

Penyelundupan dapat diartikan sebagai perbuatan manusia yang melanggar atau dengan kata lain tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan secara resmi, yaitu berupa pemasukan atau pengeluaran barang dari dalam atau luar negeri.

Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, impor ilegal mobil mewah bekas diperhitungkan dalam konteks perdagangan internasional, yaitu perdagangan antar negara berdasarkan kesepakatan bersama.

Penyelundupan sendiri merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Salah satu tindak pidana penyelundupan yang dikenakan sanksi adalah penyelundupan di bidang impor, dan Pasal 102 menyebutkan bahwa pelanggaran-pelanggaran di bidang impor sesuai yang telah disebutkan dapat dikenakan sanksi.

Penyelundupan erat kaitannya dengan perdagangan lintas batas atau biasa dikenal dengan perdagangan internasional. Contoh kasus penyelundupan yang sering terjadi adalah kasus penyelundupan mobil mewah bekas dari Singapura ke pelabuhan Batam.

Baca Juga: Meningkatnya Kasus Cyber Crime di Tengah Pandemi Covid-19

Kapal patroli Bea Cukai dan pasukan Batalyon Pertahanan Udara Batam memergoki kapal Jaya Indah yang memuat 15 mobil selundupan hendak buang jangkar di sebuah pelabuhan tikus. Salah satu pelabuhan tikus yang kerap digunakan penyelundup adalah Bukit Harimau.

Menurut warga setempat, penyelundupan mobil di tempat itu biasanya dilakukan dengan menggunakan kapal tongkang. Para sopir kendaraan mewah itu diangkut dengan speedboat yang mengiringi tongkang. Kasi berlangsung dengan cepat. Dalam 15 menit saja, mobil-mobil itu sudah menghilang di kegelapan.

Modusnya, pelaku memanfaatkan Pulau Batam sebagai tempat transit. Mereka memanfaatkan celah longgarnya pemeriksaan dokumen muatan kapal antar pulau yang tidak seketat perdagangan internasional. Pelaku biasanya mengakali dokumen dengan melaporkan bahwa mobil bekas itu adalah mobil baru.

Hampir nyaris tidak ada mobil jelek memadati jalan-jalan Kota Batam. Mayoritas mobil mewah keluaran seri terbaru. Anehnya, mobil tersebut berpelat nomor BM-X yang berarti eks-Singapura. Pasalnya, pemerintah melarang impor mobil bekas eks-Singapura sejak Januari 2004.

Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 termaktub, setiap mobil yang masuk ke kawasan Berikat Batam tak lagi bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Batam kembali diperlakukan sama dengan daerah pabean lain di wilayah Indonesia. Ini dilakukan untuk menghentikan impor mobil bekas yang dinilai merangsang penyelundupan secara besar-besaran. Tetapi amat sangat disayangkan, produk hukum itu tidak cukup ampuh membendung laju penyelundupan mobil mewah tersebut.

Baca Juga: Si Kaya Kebal Hukum! (Realita Hukum Indonesia)

Perbuatan di atas tentu saja melanggar pasal-pasal yang ada pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 102 huruf h atas perbuatan dengan sengaja memberitahukan informasi jenis dan/atau jumlah barang impor secara salah, dan Pasal 103 huruf c atas perbuatan memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar yang digunakan untuk keperluan pemenuhan kewajiban pajak.

Dampak dari beredarnya barang hasil penyelundupan ini nantinya selain merugikan negara karena tidak memenuhi kewajiban membayar bea masuk, akan tetapi juga mematikan industri dalam negeri.

Peran pemerintah sangatlah dibutuhkan, pemerintah perlu melakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang Kepabeanan, khususnya mengenai formulasi sanksi pidana atas tindak pidana penyelundupan, dengan mengutamakan dan berdasarkan konsep pengembalian kerugian negara yang lebih bermanfaat untuk masa depan.

Penulis:

Muhammad Kukuh Dwiguna
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI