Polemik Kasus Gratifikasi Kaesang Pangarep sebagai Tindak Pidana Korupsi ataukah Tidak?

Tindak Pidana Korupsi
Sumber: Instagram @kaesangp.

Menanggapi kasus dugaan Gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi yang melibatkan putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep. Kasus tersebut hingga detik ini turut mendapat sorotan dari beberapa ahli atau pakar hukum, tentunya hukum pidana. Penulis tanpa mengurangi rasa hormat dan tanpa bermaksud mendahului analisis yang sedang dilakukan Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman singkat terkait tindak pidana korupsi (tipikor) dan menanggapi beberapa hal dalam kasus tersebut. Paling tidak ada tiga hal yang perlu ditanggapi dan diluruskan. Pertama, terkait tipikor itu sendiri. Kedua, terkait gratifikasi dan landmark decision gratifikasi. Ketiga, analisis dan pendapat hukum kasus dugaan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi Kaesang Pangarep.

PERTAMA. Secara umum, tindak pidana korupsi berasal dari gabungan kata “tindak pidana” dan “korupsi”. Tindak pidana sendiri merupakan istilah hukum yang berasal dari bahasa Belanda, “Strafbaarfeit” atau “delict”, yang berarti tindakan yang dilarang oleh hukum dan pelanggarannya dapat dikenakan hukuman pidana. Sementara itu, kata korupsi berakar dari bahasa Latin, yaitu “corruptie”. Kata ini berasal dari “corrumpere”, yang memiliki arti merusak, mengubah sesuatu menjadi buruk, membujuk, serta menyesatkan. Istilah ini sering dikaitkan dengan penyuapan atau tindakan tidak jujur.[1] Dari kata “corrumpere” ini, istilah tersebut diadaptasi oleh berbagai bahasa di Eropa, seperti bahasa Inggris “corruption” dan bahasa Belanda “corruptie”. Dalam Wordnet Princenion Education, korupsi didefinisikan sebagai “kurangnya integritas atau kejujuran (terutama yang mudah disuap); penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi yang tidak jujur.” Sedangkan menurut Kamus Collins Cobuild, korupsi diartikan sebagai “seseorang yang melakukan tindakan yang salah secara moral, terutama dengan melakukan hal-hal yang tidak jujur atau ilegal demi uang atau kekuasaan.”[2]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan atau penggelapan uang negara (perusahaan, atau entitas lainnya) demi keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara itu, Direktur Transparency International India menjelaskan korupsi dengan lebih sederhana, yaitu “penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi”.[3] Jadi, setiap tindakan yang memanfaatkan fasilitas atau aset milik publik untuk kepentingan pribadi termasuk dalam kategori korupsi.

Bacaan Lainnya

Menurut Pasal 1 Butir 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, korupsi adalah tindak pidana yang diatur dalam undang-undang terkait tindak pidana korupsi. Saat ini, undang-undang yang mengatur hal tersebut adalah UU No. 20 Tahun 2001 yang merupakan revisi dari UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Meski dalam undang-undang ini tidak disebutkan definisi korupsi secara langsung, pengertiannya bisa diambil dari Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, dikenakan sanksi pidana. Jadi, korupsi dapat dikatakan terjadi jika memenuhi beberapa unsur, yaitu: a) Perbuatan yang secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; b) Tindakan tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara; dan c) Perbuatan itu dapat dikenakan hukuman pidana.

KEDUA. Terkait gratifikasi dan landmark decision gratifikasi. Perlu diketahui bahwa menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ada 30 tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi. Secara umum, tindakan-tindakan tersebut dibagi menjadi tujuh jenis. Pertama, korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara, yang diatur dalam dua pasal. Kedua, korupsi terkait suap-menyuap, yang diatur dalam 12 pasal. Ketiga, korupsi yang melibatkan penggelapan dalam jabatan, yang diatur dalam lima pasal. Keempat, korupsi yang berkaitan dengan pemerasan, diatur dalam tiga pasal. Kelima, korupsi berupa tindakan curang, diatur dalam enam pasal. Keenam, korupsi yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa, diatur dalam satu pasal. Ketujuh, korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi, diatur dalam satu pasal. Dengan demikian, korupsi bukan hanya soal memperkaya diri sendiri, orang lain, atau badan hukum, tetapi juga melibatkan penyalahgunaan wewenang dan kerugian terhadap keuangan negara.

Kategori korupsi ketujuh adalah Gratifikasi. Dalam KBBI, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang resmi. Sementara itu, dalam kamus hukum, istilah gratifikasi yang berasal dari bahasa Belanda “gratificatie” atau bahasa Inggrisnya “gratification” didefinisikan sebagai pemberian hadiah berupa uang. Berdasarkan kedua pengertian ini, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, baik dalam KBBI maupun kamus hukum, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah yang berbentuk uang. Kedua, pengertian gratifikasi di kedua sumber tersebut bersifat netral, artinya tidak ada kesan bahwa tindakan ini selalu negatif atau tercela. Ketiga, menurut KBBI, gratifikasi ditujukan kepada pegawai, sedangkan dalam kamus hukum, obyek gratifikasi tidak disebutkan secara spesifik.

Baca Juga: Kontroversi Putusan MA Mengenai Syarat Usia Kepala Daerah: Dinasti Politik

Namun, dalam konteks hukum pidana, khususnya terkait dengan tindak pidana korupsi, definisi gratifikasi berbeda dari yang ada di KBBI maupun kamus hukum. Istilah gratifikasi dijelaskan secara lebih terperinci dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Agar tidak bias, secara lengkap kedua pasal tersebut penulis kutip sebagai berikut:

Pasal 12B ayat (1), “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.” Pasal 12B ayat (2), “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Ketentuan Pasal 12C ayat (1) menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Sedangkan ayat (2) menyatakan, “Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.” Pasal 12C ayat (3) menyebutkan, “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.”

Masalah gratifikasi kemudian berfokus hanya pada siapa yang menerima fasilitas, tanpa melihat lebih dalam potensi konflik kepentingan yang mungkin muncul dari pemberian tersebut. Pemberian gratifikasi atau suap tidak hanya melibatkan pegawai negeri atau pejabat publik, tetapi juga apakah ada maksud tersembunyi di balik pemberian tersebut. Jangan sampai aparat hukum lengah dengan membiarkan keluarga pejabat negara menikmati fasilitas atau hadiah dari pihak swasta, terutama jika pemberi hadiah memiliki kepentingan terhadap pejabat tersebut. Jika hal ini diabaikan, justru akan muncul modus baru dalam pemberian gratifikasi, yaitu melalui keluarga dan kerabat dekat pejabat tersebut (Lihat: “Budaya Gratifikasi” Muhammad Fatahillah Akbar, Kompas, 10 September 2024).[4]

Penjelasan Pasal 12B mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam makna yang luas, mencakup uang, diskon, barang, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas lainnya, baik yang diberikan di dalam negeri maupun luar negeri, serta dengan cara elektronik atau non-elektronik. Dalam hal ini, baik pegawai negeri maupun pejabat negara dilarang menerima hadiah dalam bentuk apa pun jika pemberian tersebut berkaitan dengan jabatannya. Oleh karena itu, Pasal 12C mengatur bahwa Pasal 12B tidak akan berlaku jika dalam waktu 30 hari setelah menerima hadiah, penerima melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Oleh karena itu, KPK memiliki tempat pelaporan gratifikasi.

Pembahasan berikutnya adalah apakah harus pegawai negeri atau pejabat negara yang secara langsung menerima hadiah tersebut. Pada tahun 1974, sudah ada putusan penting terkait penerimaan gratifikasi atau suap. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 77K/Kr./1973 tanggal 19 November 1974, dinyatakan bahwa “tidak harus pemberian atau janji diterima langsung oleh pegawai negeri, tetapi bisa juga diterima oleh istri atau anak-anaknya.” Pertimbangan ini sering dijadikan dasar dalam berbagai putusan terkait gratifikasi hingga saat ini. Dalam pertimbangan hakim pada kasus Eni Maulani Saragih, di Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat Nomor 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt.Pst, disebutkan bahwa “penerimaan tidak harus dilakukan langsung oleh pegawai negeri atau pejabat negara, tetapi bisa melalui perwakilan, seperti anggota keluarganya.”

Baca Juga: Oligarki Keluarga Merombak UU Negara

Pada kasus ini, Eni Maulani menerima gratifikasi lewat perantara, tetapi tetap dianggap sebagai penerimaan gratifikasi. Ini menunjukkan bahwa penerimaan dapat dilakukan melalui pihak ketiga.

KETIGA. Analisis dan pendapat hukum kasus dugaan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi Kaesang Pangarep. Sebelum masuk dalam pembahasan, perlu kiranya penulis paparkan beberapa fakta dan pernyataan yang sudah disampaikan ke Publik, baik oleh KPK maupun pihak Kaesang. Analisis dan pendapat hukum tidak keluar dari apa yang sudah diungkapkan ke publik atas pernyataan-pernyataan tersebut. Pernyataan dan fakta tersebut diantaranya: Pertama, juru bicara Kaesang, Francine Widjojo, datang bersama Kaesang ke KPK untuk konsultasi. KPK kemudian mengarahkan Kaesang untuk mengisi formulir gratifikasi.[5] Kedua, Kaesang mengungkapkan, pesawat jet pribadi yang ditumpanginya untuk pergi ke Amerika Serikat pada 18 Agustus 2024 adalah milik temannya, “Yang numpang atau bahasa bekennya nebeng lah, nebeng pesawatnya teman saya,” katanya.[6] Ketiga, Kaesang memberikan formulir gratifikasi kepada Direktorat Gratifikasi sebagai anak dari penyelenggara negara.[7]

Keempat, juru bicara Kaesang, Francine Widjojo mengatakan bahwa menuliskan Rp 90 juta per-orang sebagai angka self-assessment, dan dikonfirmasi oleh Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan bahwa perkiraan biaya yang dihabiskan Kaesang bersama sang istri dan 2 orang lainnya masing-masing Rp 90 juta.[8] Kelima, terdapat total 8 orang penumpang. Francine mengkalim terdapat informasi yang keliru dari KPK terkait jet pribadi yang digunakan Kaesang dan Istri saat ke AS hanya diisi 4 orang.  Sebab, terdapat teman dari Kaesang yang juga pemilik dari pesawat tersebut ikut dalam penerbangan ke AS hingga total penumpang keseluruhannya adalah 8 orang.[9] Kurang lebih seperti itu untuk pokok-pokok pernyataan yang sudah terungkap ke publik.

Pertama-tama perlu penulis bahas terkait pernyataan di atas terkait kata “nebeng”, apakah kata nebeng masuk dalam ruang lingkup gratifikasi sebagaimana Pasal 12B ayat (1) UU No. 20/2001? Jika mengacu pada penjelasan Pasal a quo bahwa sebenarnya gratifikasi itu mempunyai arti yang luas – pemberian dalam arti luas. Kata nebeng jika mengacu pada KBBI online, istilah nebeng mempunyai makna: ikut serta (makan, naik kendaraan, dsb) dengan tidak perlu membayar; menebeng. Penulis tegaskan bahwa tidak turut membahas teman Kaesang yang ditebengi. Jadi, kata kunci dari istilah nebeng dari penjelasan di atas adalah ‘tidak membayar’. Jika dikaitkan dengan definisi gratifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penerimaan fasilitas tanpa melakukan pembayaran jelas termasuk dalam kategori gratifikasi sesuai dengan penjelasan Pasal 12B.

Namun, nebeng (tanpa membayar) menerima fasilitas penerbangan dari pihak lain itu gratifikasi yang terlarang? Jadi, bukan soal apakah nebeng tanpa keikutsertaan teman yang ditebengi atau tidak. Lalu, dalam hal apa nebeng menjadi gratifikasi yang dianggap suap atau gratifikasi terlarang? Berdasarkan uraian kedua pasal di atas, Pasal 12B dan 12C, ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama, gratifikasi pada dasarnya bukan merupakan tindak pidana. Kedua, gratifikasi hanya dianggap tindak pidana, dan disamakan dengan suap, jika berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas seseorang. Artinya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak melanggar kewajiban atau tugas, maka hal tersebut sah menurut hukum. Sebagai contoh, banyak pejabat negara di Indonesia berasal dari kalangan akademisi. Jika mereka memberikan kuliah atau menjadi pembicara di seminar yang tidak terkait dengan tugas atau kewajiban resminya, dan mendapatkan honor sebagai imbalan, maka penerimaan honor tersebut sah secara hukum pidana.

Ketiga, tujuan undang-undang tentang gratifikasi yang disamakan dengan suap adalah untuk mewajibkan pejabat negara melaporkan setiap pemberian yang berhubungan dengan jabatannya atau bertentangan dengan tugas dan kewajibannya kepada KPK, tanpa memandang apakah pemberian tersebut akan dimiliki atau tidak. Keempat, ada alasan pembebasan dari tuntutan pidana apabila penerima gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan atau melanggar tugasnya melaporkan pemberian tersebut kepada KPK dalam waktu 30 hari. Kelima, kelemahan dari pasal gratifikasi yang dipersamakan dengan suap ini adalah tidak adanya ancaman pidana bagi pemberi gratifikasi. Padahal, dalam teori, jika gratifikasi yang terkait dengan jabatan dianggap suap, tidak mungkin ada penerima suap tanpa adanya pemberi. Menurut ajaran kausalitas dalam hukum pidana, pemberi suap adalah sebab utama (causa proxima) terjadinya penerimaan suap.[10]

Baca Juga: Mahasiswa dan Demo Demokrasi Pemilu 2024

Dalam proses verifikasi selama 30 hari kerja, KPK perlu mendalami, apa yang sebenarnya terjadi. Tentu dari keterangan pihak yang diminta keterangan & bukti lain. Penegasan, bahwa 30 hari itu 30 hari kerja bukan 30 hari kalender. Lebih lanjut analisis ke unsur Pasal 12B berikutnya. Terdapat tiga unsur gratifikasi jadi terlarang, diantaranya: Pertama, Penerima adalah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara (PN). Kedua, penerimaan gratifikasi berhubungan dengan jabatan Penyelenggara Negara (PN). Ketiga, penerimaan gratifikasi bertentangan dengan kewajiban Penyelenggara Negara.

Unsur Pertama di atas, menurut penulis akan menjadi perdebatan panjang di Direktorat Gratifikasi KPK, dengan dalih apakah Kaesang Penyelenggaran Negara ataukah tidak? Secara harfiah pasti tidak jawabannya. Namun, apakah mungkin jawabannya sesederhana itu Direktorat Gratifikasi menyimpulkannya? Jika memang jawabannya Tidak, dan diterima begitu saja maka selesai sudah proses analisis dan penerimaan gratifikasi berupa fasilitas penerbangan privat jet tersebut tidak salah. Padahal, jika merujuk yurisprudensi Putusan MA tahun 1974 di atas yang pada intinya terdakwa dihukum bersalah meskipun penerimanya adalah anggota keluarga. Namun, memang harus dibuktikan juga hubungan antara Penyelenggara Negara dengan Keluarga. Hal ini sudah barang tentu menggunakan teori de leer van den causaliteit atau hubungan sebab-akibat dalam hukum pidana dalam menganalisis kasus tersebut. Untuk sementara, Kaesang memang bukan Penyelenggara Negara, namun apakah ada hubungan antara pemberian dengan posisi Penyelenggara Negara? Ini yang amat patut dipertajam dalam verifikasi KPK yang dilakukan dalam waktu maksimal 30 hari kerja, sehingga terbuka berbagai ragam kemungkinan.

Jadi, memang tidak sesederhana itu dalam membaca dan menganalisis unsur pertama di atas. KPK seringkali menjelaskan dalam berbagai sosialisasi bahwa pihak pemberi yang memiliki kepentingan terhadap kewenangan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara akan mencoba mencari berbagai cara untuk mempengaruhi mereka. Salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah melalui anggota keluarga. Inilah tantangan yang dihadapi oleh tim analis di Direktorat Gratifikasi KPK dalam menelusuri hubungan antara Kaesang dan PN. Kesimpulan baru dapat dibuat setelah proses verifikasi selesai dilakukan.

Selanjutnya unsur Kedua, apakah penerimaan gratifikasi berkaitan dengan posisi Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri? Perlu diingat, fokus permasalahan di sini adalah jabatan PN, bukan jabatan yang dipegang oleh penerima (Kaesang) secara langsung. Salah satu tolok ukur yang sering digunakan adalah apakah pihak pemberi memiliki kepentingan terkait dengan posisi PN tersebut? Padahal dalam kenyataannya, dalam praktik persidangan kasus korupsi di Indonesia, banyak penerima suap yang akhirnya dipenjara, sementara pihak pemberi suap seringkali tidak diketahui keberadaannya. Contohnya adalah kasus cek perjalanan saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S. Goeltom. Oleh karena itu, untuk memastikan apakah “Y” (yang disebut sebagai teman) memiliki kepentingan terhadap posisi atau jabatan Penyelenggara Negara (PN), KPK perlu meminta keterangan dari Y. Termasuk dari pihak-pihak yang mengetahui alur kejadian sebelum penerbangan. Namun, bagaimana jika Y beralasan bahwa pemberian tersebut hanya sekadar hadiah untuk Kaesang sebagai teman?

Alasan pemberian hadiah dari teman memang perlu dianalisis lebih mendalam. Karena jika hadiah itu murni diberikan atas dasar pertemanan, dalam budaya kita, hal tersebut biasanya dianggap wajar. Namun, masalahnya adalah jika “pertemanan” itu muncul karena posisi, jabatan, atau kewenangan yang dimiliki seseorang. Dalam kasus seperti ini, kesimpulannya bisa jadi berbeda. Menurut dugaan penulis, aspek pertemanan ini kemungkinan besar akan menjadi salah satu hal yang diperiksa lebih detail oleh KPK. Mereka mungkin akan menelusuri latar belakang teman tersebut, bisnis apa yang dia jalankan, apakah ada kepentingan terkait dengan jabatan PN, hingga kapan dan di mana mereka mulai berkenalan dengan Kaesang. Jadi, meskipun pemberian dari teman bisa saja sah, tetap ada kemungkinan hal tersebut dianggap sebagai gratifikasi terlarang. Oleh karena itu, salah satu faktor kunci dalam menentukan hubungan dengan jabatan adalah melihat profil dan kepentingan dari teman yang memberikan fasilitas penerbangan berupa jet pribadi.

Kemudian untuk yang terakhir, unsur Ketiga, apakah penerimaan gratifikasi bertentangan dengan kewajiban atau tugas PN? Unsur terakhir ini berbeda dari unsur yang ada pada Pasal Suap. Namun, hal tersebut kemudian diinterpretasikan, salah satunya, dengan melihat apakah terdapat konflik kepentingan antara pemberi dan PN, atau apakah ada larangan bagi PN untuk menerima jenis pemberian tertentu. Namun, apa itu konflik kepentingan? Secara singkat, konflik kepentingan terjadi ketika ada dua kepentingan yang saling bertentangan dalam diri seseorang. Di satu sisi, ia memiliki tanggung jawab dan kewajiban terkait jabatannya, tetapi di sisi lain, ia juga memiliki kepentingan pribadi yang bisa mempengaruhi keputusan atau tindakannya.[11] Dalam konteks gratifikasi, konflik kepentingan dapat bersifat nyata maupun hanya sekadar potensial. Mengapa bisa dikatakan potensial? Hal ini karena prinsip gratifikasi mirip dengan konsep “menanam kebaikan.” Hasilnya mungkin baru terasa di kemudian hari. Sebenarnya, transaksi tidak selalu terjadi saat penerimaan; melainkan, di masa mendatang, jika ada kebutuhan, manfaat tersebut dapat diambil atau digunakan.

Seperti itulah kira-kira pemahaman penulis dengan didasarkan sumber bahan hukum normatif di atas, dengan metode penulisan normatif-deskriptif dalam penulisan analisis dan pendapat hukum tentang Gratifikasi sebagai tindak pidana Korupsi maupun tentang proses kerja KPK dalam menentukan status gratifikasi laporan Kaesang. Penulis tegaskan bahwa tidak ada niat sedikitpun untuk mendahului kesimpulan lembaga antirasuah itu. Penulis tetap percayakan penegakan korupsi kepada KPK. Namun, penulis berhak berpendapat bahwa Kaesang tidak dapat diproses pidana dengan menggunakan Pasal 12B dalam penerbangannya dengan pesawat jet pribadi pada tanggal 18 Agustus 2024. Namun, jika muncul pertanyaan lain, seperti bagaimana jika ada penerimaan fasilitas penerbangan yang terjadi di luar tanggal 18 Agustus 2024? Secara singkat, untuk menjawab hal itu, perlindungan hukum (yang berarti tidak dapat dijerat) berdasarkan Pasal Pidana gratifikasi tidak mencakup penerimaan yang tidak dilaporkan atau yang melebihi batas waktu 30 hari kerja.

Apakah itu langsung dianggap salah? Tidak selalu, karena ada banyak faktor atau elemen yang perlu dipertimbangkan. Namun, jika kita berharap, semoga situasi ini bisa menjadi pelajaran untuk masa depan, khususnya bagi para pejabat publik dan keluarganya.

“Orang bisa jatuh bukan karena batu besar, tapi orang bisa terpeleset dan jatuh karena banyak kerikil kecil. Kita sering melupakan hal kecil.”

Penulis:

Nazhif Ali Murtadho, S.H.
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

[1] Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), Hlm. 1-5.

[2] Suhartoyo, Argumen Pembalikan Beban Pembuktian Sebagai Metode Prioritas Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang, Cet. Ke-1 (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2019), Hlm. 71-72.

[3] Ernie Hendrawaty. Einde Evana, Nairobi, Sumitro, Investigasi Korupsi, Cet. 1 (Klaten: CV. Tahta Media Group, 2024), Hlm. 6.

[4] Muhammad Fatahillah Akbar, “Budaya Gratifikasi,” Kompas, 2024, https://www.kompas.id/baca/opini/2024/09/09/budaya-gratifikasi.

[5] Linda Novi Trianita, “Jubir Kaesang Ceritakan Kronologi Dugaan Gratifikasi Private Jet Ke Amerika Serikat,” Tempo.co, 2024, https://metro.tempo.co/read/1917166/jubir-kaesang-ceritakan-kronologi-dugaan-gratifikasi-private-jet-ke-amerika-serikat.

[6] Tim Redaksi Kompas, “Isi Laporan Kaesang Soal Dugaan Gratifikasi Pesawat Jet Pribadi Kaesang Kepada KPK,” Kompas.com, 2024, https://www.kompas.com/tren/read/2024/09/18/121500965/isi-laporan-kaesang-soal-dugaan-gratifikasi-pesawat-jet-pribadi-kaesang?page=all.

[7] Tim Redaksi Kompas, “KPK Sebut Kaesang Laporkan Dugaan Gratifikasi Atas Nama Anak Jokowi,” Kompas.com, 2024, https://nasional.kompas.com/read/2024/09/17/18124081/kpk-sebut-kaesang-laporkan-dugaan-gratifikasi-atas-nama-anak-jokowi.

[8] Clara Maria Tjandra Dewi H., “Penjelasan Jubir Kaesang Soal Biaya Naik Jet Pribadi Rp 90 Juta per Orang,” Tempo.co, 2024, https://metro.tempo.co/read/1918083/penjelasan-jubir-kaesang-soal-biaya-naik-jet-pribadi-rp-90-juta-per-orang.

[9] Rizki Amana, “Kubu Kaesang Bantah KPK Soal Jumlah Penumpang Jet Pribadi Hanya 4 Orang,” TV One News, 2024, https://www.tvonenews.com/berita/nasional/247080-kubu-kaesang-bantah-kpk-soal-jumlah-penumpang-jet-pribadi-hanya-4-orang?page=all.

[10] Eddy O.S. Hiariej, “Memahami Gratifikasi,” Kompas.Com, 2011, https://nasional.kompas.com/read/2011/06/13/03392292/Memahami.Gratifikasi?page=all.

[11] Dwi Budi Sulistiyana dan Gotfridus Goris Seran, Modul Integritas Bisnis 7: Pengelolaan Konflik Kepentingan, Cet. 1 (Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Gedung Dwiwarna KPK, 2016), Hlm. 5-6. https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/ekonomi-bisnis/buku/modul-integritas-bisnis-7-pengelolaan-konflik-kepentingan.

Daftar Pustaka

Adami Chazawi. Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia. Malang: Bayu Media Publishing, 2005.

Akbar, Muhammad Fatahillah. “Budaya Gratifikasi.” Kompas. 2024. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/09/09/budaya-gratifikasi.

Amana, Rizki. “Kubu Kaesang Bantah KPK Soal Jumlah Penumpang Jet Pribadi Hanya 4 Orang.” TV One News, 2024. https://www.tvonenews.com/berita/nasional/247080-kubu-kaesang-bantah-kpk-soal-jumlah-penumpang-jet-pribadi-hanya-4-orang?page=all.

Einde Evana, Nairobi, Sumitro, Ernie Hendrawaty. Investigasi Korupsi. Cet. 1. Klaten: CV. Tahta Media Group, 2024.

H., Clara Maria Tjandra Dewi. “Penjelasan Jubir Kaesang Soal Biaya Naik Jet Pribadi Rp 90 Juta per Orang.” Tempo.co, 2024. https://metro.tempo.co/read/1918083/penjelasan-jubir-kaesang-soal-biaya-naik-jet-pribadi-rp-90-juta-per-orang.

Hiariej, Eddy O.S. “Memahami Gratifikasi.” Kompas.Com. 2011. https://nasional.kompas.com/read/2011/06/13/03392292/Memahami.Gratifikasi?page=all.

Kompas, Tim Redaksi. “Isi Laporan Kaesang Soal Dugaan Gratifikasi Pesawat Jet Pribadi Kaesang Kepada KPK.” Kompas.com, 2024. https://www.kompas.com/tren/read/2024/09/18/121500965/isi-laporan-kaesang-soal-dugaan-gratifikasi-pesawat-jet-pribadi-kaesang?page=all.

———. “KPK Sebut Kaesang Laporkan Dugaan Gratifikasi Atas Nama Anak Jokowi.” Kompas.com, 2024. https://nasional.kompas.com/read/2024/09/17/18124081/kpk-sebut-kaesang-laporkan-dugaan-gratifikasi-atas-nama-anak-jokowi.

Seran, Dwi Budi Sulistiyana dan Gotfridus Goris. Modul Integritas Bisnis 7: Pengelolaan Konflik Kepentingan. Cet. 1. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Gedung Dwiwarna KPK, 2016. https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/ekonomi-bisnis/buku/modul-integritas-bisnis-7-pengelolaan-konflik-kepentingan.

Suhartoyo. Argumen Pembalikan Beban Pembuktian Sebagai Metode Prioritas Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Cet. Ke-1. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2019.

Trianita, Linda Novi. “Jubir Kaesang Ceritakan Kronologi Dugaan Gratifikasi Private Jet Ke Amerika Serikat.” Tempo.co, 2024. https://metro.tempo.co/read/1917166/jubir-kaesang-ceritakan-kronologi-dugaan-gratifikasi-private-jet-ke-amerika-serikat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Uundang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Putusan Mahkamah Agung Nomor 77K/Kr./1973

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat Nomor 100/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Jkt.Pst

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.