Banjir kini menjadi agenda tahunan yang terjadi di ibu kota. Banjir di Jakarta merupakan bencana alam akibat genangan hujan, luapan sungai, serta kenaikan muka air laut yang terjadi berulang kali terutama saat musim penghujan tiba.
Curah hujan yang tinggi menjadi penyebab utama banjir yang mengakibatkan gangguan terhadap aktivitas masyarakat serta kerugian materi. Jakarta memiliki sejarah panjang atas buruknya sistem pengendalian banjir.
Dalam satu dekade terakhir, banjir tahun 2020 merupakan salah satu kasus banjir terparah. Tercatat, berdasarkan laporan yang dirilis oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta, bencana tersebut mengakibatkan 19 orang meninggal dunia sementara 31.232 orang terdampak banjir yang melanda 157 kelurahan di seluruh wilayah Jakarta.
Dalam tahun 2024, bencana hidrometeorologi di Jakarta menembus angka 109 kejadian banjir hujan lokal dan 317 kejadian jalan tergenang, tidak mengherankan jika banjir Jakarta kerap dianggap sebagai hal yang wajar oleh sebagian orang.
Ancaman banjir tersebut berkaitan dengan kondisi geografis wilayah DKI Jakarta itu sendiri, yaitu berupa dataran rendah yang ketinggiannya berada di bawah permukaan laut serta terletak diantara hulu sungai dan pesisir. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh BPBD Jakarta, terdapat 86 rukun warga di 25 kelurahan yang masuk kategori daerah rawan banjir.
Baca Juga:Â Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor: Solusi Jangka Pendek dan Dampak Jangka Panjang
Potensi banjir di DKI Jakarta diperparah dengan fakta bahwa terdapat perubahan luas tutupan lahan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kawasan permukiman mengalami pertumbuhan signifikan hingga 47,4% menggantikan lahan pertanian dan ruang terbuka hijau di wilayah tengah dan hilir.
Ruang terbuka hijau, yang berperan penting dalam meningkatkan penyerapan air dan meningkatkan kapasitas drainase alami, saat ini luasnya hanya 9,98% dari keseluruhan luas wilayah DKI Jakarta. Jauh dari target ideal sebesar 30% dari total luas wilayah, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kondisi ini meningkatkan risiko meluapnya sungai akibat limpasan air permukaan (run off) ditambah dengan ancaman sedimentasi sungai yang disebabkan oleh tingginya laju erosi di daerah hulu. Penyebab lainnya yaitu penurunan permukaan tanah, Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah dengan rata-rata 12 cm per tahun, bahkan penurunan ekstrim terjadi di bagian pesisir utara yang mencapai 25 cm per tahun.
Faktor utama yang mempercepat penurunan tanah ini adalah beban bangunan di permukaan serta eksploitasi air tanah yang berlebihan. Selain itu, perencanaan tata ruang yang tidak terintegrasi dengan sistem drainase kota menjadi faktor lain yang menyumbang kompleksitas permasalahan banjir.
Banyaknya kawasan permukiman dan infrastruktur yang dibangun di daerah resapan air serta kurang optimalnya pengelolaan saluran drainase menimbulkan genangan yang meluas ketika curah hujan tinggi.
Baca Juga:Â Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%
Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah melakukan sejumlah langkah, seperti revitalisasi Waduk Setu Biru yang dilakukan oleh Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Administrasi Jakarta Timur hingga penambahan 5 polder, revitalisasi 2 pompa stasioner, dan pembangunan 8 waduk oleh pemerintah provinsi. Selain itu, pemerintah juga telah memulai program naturalisasi sungai yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologis sungai.
Langkah lainnya adalah pengembangan sumur resapan dan peningkatan pengelolaan drainase di berbagai kawasan meskipun implementasi program ini masih menghadapi berbagai tantangan terutama kurangnya lahan. Selain dengan strategi pembangunan infrastruktur tersebut, pemerintah harus mulai mempertimbangkan sistem pengendalian banjir dari perspektif regulerend atau pengendalian.
Pemerintah dapat mengadaptasi kebijakan yang diterapkan di negara-negara subtropis dalam menangani masalah banjir, yaitu melalui instrumen perpajakan berupa rain tax dengan konsep dasar yang beranjak dari earmarked tax.
Rain Tax: Instrumen Pengendali Banjir
Earmarked tax adalah jenis pajak yang hasil pemungutannya dialokasikan secara khusus untuk membiayai program atau proyek tertentu, berbeda dengan pajak pusat yang secara umum penerimaannya masuk ke anggaran nasional pemerintah. Pajak ini dirancang untuk memastikan pendanaan yang berkelanjutan dan transparan bagi suatu kebutuhan spesifik.
Earmarked tax memberikan kejelasan kepada masyarakat bahwa kontribusi mereka digunakan untuk manfaat tertentu secara nyata sehingga dapat sekaligus meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah terutama otoritas pajak. Untuk tujuan penanganan banjir, earmarked tax dapat diwujudkan dalam skema rain tax.
Konsep rain tax berakar pada teori polluter pays principle yang menyatakan bahwa pihak yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan harus turut menanggung biaya pengelolaannya. Dalam konteks banjir, pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan seperti betonisasi yang masif dan penghilangan lahan resapan dianggap sebagai faktor utama penyebab genangan air.
Rain tax diharapkan dapat mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk meningkatkan area resapan air, mengurangi volume limpasan air hujan, dan mendukung pembangunan infrastruktur pengendalian banjir.
Baca Juga:Â Polemik Pemungutan Opsen Pajak, Apa Benar Menguntungkan?
Beberapa negara di eropa telah lebih dulu menerapkan rain tax sebagai bagian dari regulasi pengelolaan lingkungan kota. Di Jerman, pajak air hujan dikenakan berdasarkan luas permukaan kedap air seperti atap dan jalan beton. Pendapatan yang terkumpul digunakan untuk membangun infrastruktur drainase dan sistem pengolahan air.
Sementara itu, di Maryland, Amerika Serikat, stormwater management fee dengan konsep serupa rain tax diberlakukan untuk mendanai perbaikan polutan yang masuk ke Teluk Chesapeake dan membangun sistem pengelolaan air hujan.
Implementasi rain tax di kedua negara tersebut menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan kesadaran pelestarian lingkungan sekaligus perbaikan infrastruktur. Jika diterapkan di Indonesia, kebijakan serupa dapat membantu mengatasi permasalahan banjir perkotaan terutama di Jakarta.
Baca Juga:Â Meningkatkan Kepatuhan Pajak: Layanan PBB di BPKAD Kota Yogyakarta
Skema Rain Tax sebagai Pajak Daerah
Rain tax dapat dirancang sebagai pajak daerah dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kemampuan masyarakat sebagai penanggung pajak. Rain tax dinilai lebih cocok diterapkan sebagai pajak daerah karena pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap karakteristik Wajib Pajak di wilayahnya serta lebih mengetahui kebutuhan spesifik daerah dalam pengelolaan lingkungan dan infrastruktur.
Selain itu, pemerintah daerah juga memiliki kendali atas Wajib Pajak daerah melalui mekanisme perizinan usaha dan regulasi lainnya. Penerapan rain tax dapat dioptimalkan untuk membiayai pembangunan dan perbaikan sistem drainase, pengelolaan air hujan, serta mitigasi risiko banjir secara lebih efektif dan berkelanjutan.
Skema pengenaan pajak ini dapat didasarkan pada luas permukaan kedap air milik individu atau korporasi seperti atap bangunan, halaman beton, dan tempat parkir. Besarannya dapat dihitung secara progresif sehingga beban pajak lebih besar dikenakan kepada pihak yang memiliki area kedap air lebih luas. Selain menerapkan rain tax, pemerintah daerah juga dapat memberikan insentif bagi pelaku usaha yang mengadopsi desain bangunan ramah lingkungan.
Insentif ini dapat berupa pengurangan pajak, keringanan retribusi, atau kemudahan perizinan bagi bangunan yang dilengkapi dengan sistem resapan air, atap hijau, atau teknologi pengelolaan air hujan lainnya yang terintegrasi dengan sistem drainase kota.
Pelaku usaha akan lebih terdorong untuk berinvestasi dalam infrastruktur yang mendukung kelestarian lingkungan sekaligus membantu mengurangi beban drainase kota dan risiko banjir.
Pendekatan ini tidak hanya menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan air hujan yang lebih baik di wilayah perkotaan.
Baca Juga: Optimalisasi Core Tax Administration System (CTAS) dalam Mengefisiensikan Pajak
Hambatan dan Tantangan Penerapan
Tantangan utama penerapan rain tax sebagai pajak daerah adalah timbulnya resistensi dari masyarakat dan pelaku usaha yang menganggap kebijakan ini sebagai beban tambahan terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Selain itu, kurangnya pemahaman akan urgensi pajak serta manfaat pembangunan ramah lingkungan yang berkelanjutan dapat memicu kesalahpahaman dan resistensi aktif. Dari sisi teknis, pemerintah juga perlu memastikan adanya sistem pendataan yang akurat terkait luas area kedap air serta mekanisme pengawasan yang transparan untuk menghindari penyalahgunaan penerimaan pajak.
Selain itu, keberhasilan kebijakan ini juga sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah untuk memastikan bahwa dana yang terkumpul benar-benar digunakan untuk program mitigasi banjir.
Transparansi pengelolaan dana serta pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan menjadi kunci penting untuk mendapatkan dukungan publik.
Baca Juga:Â Kemudahan Berinvestasi, Efek Undang-Undang HKPD: Berisikokah?
Langkah Maju atau Jalan Buntu?
Penerapan rain tax di Jakarta –atau kota besar lainnya– adalah sebuah langkah baru yang menawarkan solusi jangka panjang untuk masalah banjir. Namun, keberhasilannya sangat tergantung pada desain kebijakan yang adil, transparan, dan berbasis data, serta dukungan penuh dari masyarakat.
Jika hambatan-hambatan yang ada dapat diatasi dengan baik, maka rain tax bukan hanya menjadi alat pengelolaan banjir tetapi juga simbol komitmen kolektif untuk menjaga keberlanjutan lingkungan di ibu kota.
Sebaliknya, tanpa perencanaan dan komunikasi yang baik kebijakan ini berisiko menjadi jalan buntu yang justru menambah kerumitan permasalahan banjir.
Penulis: Alifia Rahmi Undani
Mahasiswa Jurusan Akuntansi Sektor Publik, Politeknik Keuangan Negara STAN
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News