Rekonsiliasi dan Oposisi Setelah Pemilu 2024: Pragmatisme atau Idealisme Demokrasi

Rekonsiliasi dan Oposisi Setelah Pemilu 2024: Pragmatisme atau Idealisme Demokrasi

Pada tanggal 20 Maret 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil pemilu. Pengumuman tersebut merupakan momentum penting dalam sejarah politik Indonesia. Dari pengumuman itulah, rakyat kemudian mendapat kepastian mengenai siapa pemimpin mereka selanjutnya.

Setelah hasil tersebut diumumkan, muncul beragam respon dari berbagai macam kalangan. Ada yang menerima, percaya, atau menolak. Salah satu contohnya adalah pengajuan permohonan gugatan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi oleh kubu Paslon 01 dan 03.

Baca juga : Hasil Putusan MK terkait Sengketa Hasil Pemilu 2024, Sudahkah Adil?

Hal tersebut menunjukkan bahwasannya proses politik setelah pemilu masih menyisahkan residu yang tidak dapat hilang begitu saja, masih ada tensi yang tersisa antara pihak-pihak yang sebelumnya saling bersaing.

Bacaan Lainnya

Selain masih adanya residu politik setelah pemilu, pengumuman hasil pemilu juga semakin memperjelas siapa pihak yang kalah dan siapa pihak yang menang.

Dari adanya posisi menang dan kalah tersebut, muncul sebuah pertanyaan menarik. Apakah pihak yang kalah akan bergabung dengan pihak yang menang atau yang sering dikenal sebagai rekonsiliasi ?

Dalam sejarah politik Indonesia, rakyat pernah disodorkan oleh peristiwa rekonsiliasi akbar yang terjadi setelah pemilu tahun 2019, yaitu rekonsiliasi antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa dalam politik Indonesia, rekonsiliasi adalah hal yang sangat mungkin terjadi meskipun sebelumnya pihak yang berekonsiliasi saling bersaing dalam pemilu.

Selain rekonsiliasi, sejarah perpolitikan Indonesia juga mencatat adanya jejak eksistensi oposisi dalam pemerintahan. Oposisi sendiri dapat dipahami sebagai sikap yang diambil oleh partai politik untuk menjadi penentang koalisi pemerintah, terutama dalam aspek kebijakan pemerintah.

Contohnya ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengambil sikap untuk menjadi oposisi. Lalu pada saat pemerintahan Presiden Jokowi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga mengambil sikap untuk menjadi oposisi.

Rekonsiliasi setelah pemilu tentu mempunyai beberapa dampak positif, terutama untuk persatuan dan kesatuan bangsa, stabilitas nasional, serta mengikis tensi yang masih ada di tingkatan akar rumput.

Akan tetapi, rekonsiliasi juga menimbulkan pertanyaan menarik, apakah kemudian rekonsiliasi tersebut dapat mematikan nyawa oposisi, terutama dalam konteks mekanisme check and balances pada sistem demokrasi.

Seperti yang terlihat dari beberapa fenomena politik setelah pengumuman hasil pemilu 2024. Rakyat dipertontonkan dengan beragam pemberitaan terkait safari politik antar elite yang sebelumnya saling bersaing dalam pemilu, seperti pertemuan antara Prabowo Subianto dan Surya Paloh, isu bergabungnya PDIP ke koalisi pemerintah, dan isu-isu lainnya.

Adanya tendensi rekonsiliasi antar elit membuat ruang oposisi semakin bewarna abu-abu. Menimbulkan pertanyaan tentang siapa partai yang berani beroposisi pada periode pemerintahan selanjutnya?.

Bila mengacu pada salah satu prinsip dasar Demokrasi, oposisi merupakan sebuah elemen penting dalam pemerintahan, ia berperan sebagai mekanisme check and balances, pengawas dan pengendali jalannya suatu pemerintahan.

Baca juga : Kemunduran Demokrasi di Era Kepemimpinan Presiden Joko Widodo: Studi Masuknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden 2024-2029

Tanpa adanya oposisi yang melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian maka pemerintahan itu dapat bertindak sewenang-wenang tanpa ada pihak yang bisa membatasinya.

Oposisi sendiri juga berperan penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah dan kesehatan sistem demokrasi secara umum. Dengan adanya oposisi maka pikiran alternatif dapat terus disuarakan, sehingga pemerintah tidak mudah terlena dengan sudut pandang tunggal semata.

Namun, para elit politik kita sekarang ini sepertinya dihadapkan dengan sebuah persimpangan jalan, antara mempertahankan idealisme demokrasi yang berarti harus ada oposisi dalam suatu pemerintahan atau pragmatisme politik dengan tujuan mencari keuntungan untuk golongan mereka sendiri.

Pragmatisme politik sendiri dalam konteks ini mengarah pada para politisi atau elit yang menempatkan hasil praktis di atas kepatuhan terhadap nilai-nilai yang menjadi suatu prinsip dasar. Hasil praktis tersebut dilakukan dengan beorientasi pada keuntungan sektoral kelompok mereka sendiri.

Menjadi oposisi tentu akan menimbulkan banyak konsekuensi yang menghalangi elit dalam melanggengkan kepentingannya, seperti terbatasnya akses terhadap sumber daya kekuasaan, kewenangan, dan alokasi sumber daya. Kondisi ini membuat pilihan menjadi oposisi sulit direalisasikan karena akan ada banyak keuntungan yang harus dikorbankan.

Namun, dampak dari pemerintahan demokrasi tanpa adanya oposisi juga patut dipertimbangkan dengan seksama. Pemerintahan yang tidak diimbangi oleh oposisi dapat bertindak sewenang-wenang tanpa kemudian ada pihak yang bisa membatasi atau memberikan peringatan.

Akuntabilitas, transparansi, dan integritas pemerintah juga akan semakin dipertanyakan, karena para anggota pemerintahan pada akhirnya akan berada pada satu kolam yang sama.

Dalam menyikapi hal ini, rakyat sebagai masyarakat sipil perlu lebih waspada terhadap segala gelagat yang dilakukan oleh para elit politik. Masyarakat sipil harus semakin melek untuk mengawasi para elit yang saling berekonsiliasi. Karena dampak dari pemerintahan tanpa oposisi itu ujung-ujungnya juga akan kembali kepada masyarakat sipil.

Bila oposisi dalam pemerintahan semakin melemah, masyarakat sipillah yang akan menjadi benteng terakhir pertahanan demokrasi Indonesia, dengan harapan bahwa masyarakat sipil dapat aktif memberikan aspirasi serta kritik terhadap pemerintah sebagai upaya mengawal jalannya pemerintahan dan eksistensi nilai-nilai demokrasi.

Masyarakat sipil harus berani memberikan kritik terhadap para politisi pragmatis, terutama mereka yang memiliki tendensi untuk selalu mencari keuntungan bagi golongannya sendiri dan mengesampingkan nilai-nilai demokrasi yang pada akhirnya merugikan masyarakat sipil.

Masyarakat sipil harus selalu menekan para elit politik untuk berpegang pada suatu prinsip politik tertentu, sehingga batas-batas politik menjadi jelas, apa yang benar dan apa yang salah, bukan hanya berdasar pada pertimbangan menguntungkan atau tidak menguntungkan kepentingan suatu golongan.

Pada akhirnya, para elit perlu mengambil sikap yang jelas, berekonsiliasi atau berani beroposisi. Apakah keputusan itu akan menimbulkan dampak baik atau buruk, penilaian kembali kepada rakyat.

Namun, seharusnya para elit politik tersebut tetap bisa berpegang pada prinsip politik yang jelas, bukan semata-mata berdasar pada pragmatisme sektoral. Karena tanpa prinsip yang jelas sebagai acuan, maka keputusan dan arah politik Indonesia ke depan hanya akan berdasar pada perebutan keuntungan sektoral semata.

Maka dari itu, keberadaan prinsip dalam proses politik di Indonesia merupakan faktor penting yang tidak boleh dipandang sebelah mata, terutama prinsip untuk menjaga nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Baca juga : Pamitnya Kedamaian Akibat Kisruh Elit Politik

Menjaga nilai-nilai demokrasi adalah persoalan serius–demokrasi yang sekarang terlaksana di Indonesia adalah hasil dari perjuangan reformasi. Dalam perjuangan itu, banyak hal telah dikorbankan oleh para pejuang reformasi.

Bila nilai-nilai demokrasi tersebut ditinggalkan, lantas apakah hal tersebut tidak sama saja dengan mengkhianati perjuangan reformasi itu sendiri?

Sebagai masyarakat sipil yang peduli terhadap eksistensi demokrasi di Indonesia, sepatutnya harus selalu waspada dan kritis terhadap segala gelagat para elit pragmatis yang cenderung mementingkan kepentingan golongan mereka sendiri.

Maka dari itu, jangan biarkan pragmatisme tanpa adanya idealisme nilai menguasai proses politik Indonesia, keduanya harus selalu berimbang, seperti kata President Nixon,

“Idealism without pragmatism is impotent. Pragmatism without idealism is meaningless. The key to effective leadership is pragmatic idealism.”

 

Penulis: Bintang Corvi Diphda

Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

 

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses