Tinjauan Hukum dan Upaya Penanggulangan Kasus Revenge Porn di Indonesia

Penanggulangan Kasus Revenge Porn di Indonesia
Sumber: pixabay.com

Internet merupakan suatu jaringan yang berfungsi untuk menghubungkan antara satu media elektronik dengan media lainnya. Perkembangan teknologi internet yang semakin pesat telah banyak membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan.

Salah satunya adalah membantu manusia untuk dapat saling berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan efektif dan efisien. Berkat adanya internet, manusia bagaikan tidak lagi terpisahkan oleh jarak, ruang dan waktu.

Meski membawa banyak dampak positif, perkembangan internet yang tidak terkendali juga dapat membawa dampak negatif pada kehidupan, seperti minimnya privasi dan keamanan yang dimiliki seseorang pada saat mengakses internet.

Bacaan Lainnya

Terdapat banyak orang tidak bertanggung jawab yang bisa menggunakan internet untuk mengakses data-data pribadi seseorang dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Hal tersebut menyebabkan banyaknya terjadi penipuan, pencurian, perundungan, hingga kasus kekerasan seksual yang berbasis internet, seperti kasus revenge porn.

Kasus revenge porn yang semakin marak saat ini dapat terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu melalui karya ini, masyarakat diharapkan untuk dapat lebih mengenal dan memahami mengenai bahaya revenge porn dalam kehidupan, serta melihat bagaimana hukum di Indonesia mengatur mengenai kasus tersebut.

 

Pengertian Revenge Porn

Menurut Danielle Keats Citron dan Mary Anne Franks dalam tulisan mereka yang berjudul “Criminalizing Revenge Porn”, revenge porn adalah mendistribusikan gambar grafis seksual seseorang tanpa persetujuan dari individu tersebut.

Tindakan ini mencakup gambar yang diperoleh tanpa persetujuan korban (contohnya, rekaman tersembunyi atau rekaman kekerasan seksual), serta gambar yang diperoleh dengan persetujuan korban, umumnya dalam konteks hubungan pribadi atau rahasia (contohnya, gambar diberikan secara sukarela kepada pasangan intim yang kemudian mendistribusikannya tanpa persetujuan korban).

Secara sederhana, revenge porn adalah tindakan menyebarluaskan atau mempublikasikan konten bermuatan seksual milik seseorang tanpa persetujuan dari individu tersebut. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk membalas dendam, mempermalukan, merendahkan, mengancam atau merusak reputasi korban.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menggolongkan revenge porn ke dalam kategori Kekerasan Siber Berbasis Gender, yaitu tindakan kekerasan berbasis gender yang dilakukan, didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Kasus revenge porn dianggap serupa dengan kasus ancaman penyebaran konten porno, diminta mengirimkan konten porno dan penyebaran konten porno.

Namun saat ini istilah revenge porn telah bergeser menjadi pornografi nonkonsensual. Alasannya adalah karena saat ini revenge porn tidak lagi hanya dilakukan dengan motif balas dendam.

Dengan adanya perkembangan teknologi, orang-orang tidak bertanggung jawab seperti penguntit atau peretas dapat memperoleh konten tersebut melalui pencurian data dan mempublikasikannya semata-mata untuk mendapat keuntungan, ketenaran atau hiburan.

 

Dampak Revenge Porn Bagi Korban

Kasus revenge porn ini memberikan dampak yang sangat serius kepada para korbannya. Korban yang mengalami revenge porn tentunya akan merasa malu, marah, takut, tidak berdaya, hingga kehilangan harga diri.

Jika tidak mendapat penanganan dan pendampingan yang tepat, korban dapat mengalami gangguan mental yang serius, seperti gangguan tidur, gangguan kecemasan, depresi, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau bahkan terpikirkan untuk melakukan bunuh diri.

Revenge porn juga dapat mempengaruhi aspek kehidupan sosial dan ekonomi para korbannya. Korban yang mengalami revenge porn cenderung akan melakukan isolasi dan menarik diri dari kehidupkan sosialnya karena merasa malu dan takut. Selain itu, korban juga mungkin akan kehilangan pekerjaan atau kesempatan kerjanya akibat reputasi buruk yang mereka dapatkan.

 

Cara Mencegah dan Mengatasi Revenge Porn

Untuk mencegah terjadinya revenge porn, masyarakat perlu memahami akan resiko dan bahaya yang dapat diterima apabila membagikan konten atau data pribadi di internet.

Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan lebih menjaga privasi diri untuk mencegah terjadinya pencurian data. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengaturan privasi di platform media sosial dan internet.

Apabila menjadi korban dari revenge porn, cara mengatasinya adalah dengan mengumpulkan dan menyimpan barang bukti yang kuat (seperti salinan gambar atau video), kemudian melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Memutus komunikasi dengan pelaku juga dapat dilakukan untuk menghindari ancaman dan mencegah timbulnya gangguan kecemasan. Selain itu, jangan ragu untuk meminta pertolongan dan pendampingan dari tenaga profesional apabila membutuhkannya.

 

Revenge Porn di Mata Hukum Indonesia

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki beberapa peraturan mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada para pelaku revenge porn. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi.

Selanjutnya, Pasal 9 juga menyatakan bahwa setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Sehingga berdasarkan Pasal 29 dan Pasal 35 UU No. 44 Tahun 2008, pelaku revenge porn dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Para pelaku revenge porn juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, merupakan suatu perbuatan yang dilarang.

Sehingga berdasarkan Pasal 45 UU ITE, pelaku tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Selanjutnya dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tercantum bahwa melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual tanpa izin, mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual tanpa izin, serta melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang lain untuk tujuan seksual merupakan bentuk kekerasan seksual berbasis elektonik.

Sehingga berdasarkan pasal tersebut, pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Penulis : Kaylee Yovella Uno
Mahasiswa Jurusan Hukum, Universitas Diponegoro

 

Editor: I. Chairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.