Viral! Pamer Kekayaan di TikTok Tuai Pro-Kontra, Netizen: ‘Sadar Nggak Semua Hidup Enak!

Kesenjangan Sosial
Kesenjangan Sosial

POV Kesenjangan Sosial di TikTok, Sindiran Halus yang Bikin Netizen Nggak Nyaman

TikTok tak hanya jadi tempat untuk joget, lipsync, atau konten lucu-lucuan.

Belakangan, platform ini juga dipenuhi dengan video pendek yang menyoroti realita sosial terutama soal ketimpangan ekonomi. Salah satu yang paling ramai adalah tren POV (point of view) kesenjangan sosial.

Lewat video sederhana berdurasi 15–30 detik, para kreator menggambarkan dua sisi kehidupan yang bertolak belakang: dari gaya hidup si “sultan” hingga perjuangan rakyat biasa.

Dan yang membuatnya viral, semua itu disajikan dalam format satir, emosional, dan sering kali relatable banget.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Dari TikTok ke TPS: Bagaimana Media Sosial Membentuk Pilihan Politik Generasi Muda

POV: Antara Lucu, Nyindir, dan Ngena di Hati

Tren ini biasanya mengambil bentuk perbandingan dua dunia yang berbeda secara ekstrem, seperti:

1. POV kamu kuliah di kampus elite vs temanmu yang kerja sambil kuliah di kampus negeri

2. POV temanmu beli tiket konser Rp3 juta, kamu masih bingung bayar UKT

3. POV anak orang kaya jajan Starbucks tiap hari, kamu ngandelin bekal nasi goreng dari rumah

Dengan ekspresi datar dan backsound musik dramatis atau ironi, video ini langsung menggugah emosi penonton. Banyak yang merasa tersindir, tapi lebih banyak lagi yang merasa: “Ini tuh aku banget.”

Ketimpangan yang Jadi Konsumsi Harian

Di era digital, perbedaan gaya hidup makin mudah terlihat. Di TikTok, siapa pun bisa mengintip kehidupan orang lain hanya lewat FYP. Ketika perbedaan itu terlalu mencolok, rasa jengah dan kesadaran sosial pun muncul.

Netizen pun mulai mempertanyakan: “Apakah flexing itu normal?” atau justru “Sudah waktunya lebih peka dengan kondisi sosial sekitar?

Baca juga: Inklusi Sosial Mahasiswa sebagai Generasi Z dalam Mencegah Kesenjangan Sosial

Reaksi Netizen: “Relate Parah” Sampai “Nggak Etis”

Respons terhadap tren ini bermacam-macam. Ada yang menyebutnya sebagai bentuk reality check, ada juga yang menganggap ini sebagai pengingat untuk bersyukur.

Tapi tak sedikit yang menilai tren ini bisa memicu rasa minder atau kecemburuan sosial, terutama bagi yang hidup di bawah tekanan ekonomi.

Komentar-komentar yang muncul misalnya:

“Nggak semua orang lahir di level yang sama, tapi cara kamu nunjukinnya nyakitin.”
“Konten kaya gini bukan buat nyindir, tapi biar kita sadar posisi.”
“Capek banget liat flexing terus, makanya konten realita gini jadi penyeimbang.”

Lebih dari Viral, Ini Alarm Sosial

Tren POV kesenjangan sosial bukan cuma soal viral atau gaya-gayaan. Di balik kontennya yang sederhana, ada pesan yang kuat: bahwa media sosial bukan cerminan utuh dari kenyataan. Dan bahwa tidak semua orang punya titik start yang sama dalam hidup.

Ini sekaligus jadi pengingat bahwa di era digital, empati adalah hal yang paling mahal. Bukan tentang tidak boleh sukses, tapi tentang bagaimana cara kita menyikapi dan menyampaikan cerita hidup masing-masing.

Di tengah banjir konten yang glamor dan instan, tren POV kesenjangan sosial hadir sebagai pengingat yang membumi bahwa hidup itu luas, dan tidak semua orang punya jalan yang sama.

Saatnya berhenti sejenak, menurunkan standar ilusi, dan mulai melihat realita dengan lebih jernih.

Baca juga: Denyut Kehidupan Manusia Kolong: Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial

 

Penulis: Rania Kartika

Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Malang

 

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses