Analisa Pemindahan Ibu Kota

Indonesia adalah negara yang disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau, dengan populasi 270.054.853 penduduk pada tahun 2018. Yang menjadikannya sebagai negara berpenduduk terbesar keempat serta berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukan negara Islam. Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua adalah lima pulau yang berada di Indonesia dengan 34 provinsi yang dipisahkan oleh lautan luas dengan kekayaan alam yang melimpah.

Masyarakatnya yang plural, yang di dalamnya terdapat beragam suku, budaya, bahasa dan agama menjadi identitas tersendiri bagi bangsa Indonesia yang harus tetap dirawat keberagamannya tentu dengan ikatan toleransi dan saling keberterimaan.

Ibu kota negara menjadi icon tersendiri bagi suatu negara di dunia tanpa terkecuali Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 1964 menjadikan Batavia (sekarang Jakarta) sebagai Ibu kota Indonesia yang kemudian disahkan oleh presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pada 31 Agustus 1964 saat itu. Dalam kurun waktu 5 tahun setelah penetapan Jakarta sebagai ibu kota, penduduk Jakarta meningkat dua kali lipat. Dengan diresmikan Jakarta sebagai ibu kota, tentu menjadikannya wilayah tumpuan penting di Republik Indonesia.

Meningkatnya jumlah penduduk yang datang dari segala penjuru di Indonesia akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta membuat Jakarta seiring berjalannya waktu menjadikannya kota urban.

Bacaan Lainnya

Pemerintah pun mulai membangun dan mengembangkan program pembangunan proyek besar, seperti pembangunan pemukiman masyarakat, dan mengembangkan proyek industri sebagai pusat bisnis kota. Jakarta yang kini menanggung beban berat aktivitas pemerintahan, industri perekonomian yang kian hari kian melimpah membuat kota ini kelelahan.

Sebagai Ibu kota, pendapatan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian setara dengan seluruh provinsi yang ada di Sumatera. Inilah yang menjadikan daerah lain merasa dianaktirikan. Namun, Kendatipun demikian kesenjangan sosial serta menurunya interaksi di kalangan masyarakat Jakarta akibat sikap masyarakat yang cendrung individualistik semakin menambah penyakit di tubuh Jakarta.

“Dimana Ada gula selalu ada semut” demikianlah gambaran Jakarta yang menjadi central aktivitas pemerintahan serta perekonomian yang dipadati oleh 10 juta lebih manusia yang berjejal di 662,33 km2 luas wilayah. Itu artinya kepadatan penduduk Ibu kota mencapai 15 ribu jiwa per km2.

Di siang hari, penduduk Jakarta bisa mencapai 11 juta jiwa dengan masuknya para pekerja dari berbagai daerah khususnya Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Maka tidak heran jika laju kecepatan rata-rata hanya 5 km per jam.

Meskipun tidak lama ini Jakarta memiliki kereta Moda Raya Terpadu atau MRT, Jakarta masih menderita kemacetan lalu lintas terburuk di dunia serta rentan terhadap banjir rutin musiman dan gempa bumi yang sesekali melanda.

Menurut sebuah studi oleh Institut Teknologi Bandung, dengan berbagai sebab dari hasil riset, Jakarta adalah salah satu kota yang paling cepat tenggelam di dunia, yang terus mengalami penurunan 1 cm setiap tahun. Sejumlah besar wilayah Jakarta mungkin akan berada di bawah air pada tahun 2050.

Wacana Pemindahan Ibu Kota

Melihat beberapa penyakit pada tubuh ibu kota Jakarta menarik perhatian pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke luar pulau Jawa. Hal ini diharapkan sebagai obat penyakit, sehingga kini mulai ramai diperbincangkan, mulai dari kalangan politisi, akademisi sampai pada masyarakat.

Wacana penempatan Ibu kota pertama kali dicetuskan presiden pertama Indonesia, Soekarno. Saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota provinsi Kalimantan Tengah pada 17 Juli 1957.

Gagasan ini kemudian batal setelah adanya Undang-Undang nomor 10 tahun 1964 tersebut. Gagasan serupa mengenai pemindahan Ibu kota juga pernah dilontarkan presiden berikutnya Soeharto Saat memilih Jonggol di Bogor Jawa Barat sebagai ibu kota yang tidak jauh berada dari Jakarta. Kemudian pada 2010, presiden ke enam Idonesia Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab dipanggil SBY mulai membentuk tim khusus untuk mengkaji pemindahan ibu kota.

Wacana pemindahan Ibu kota ke luar pulau Jawa kembali menyeruak pada era pemerintahan Joko Widodo. Dilansir dari Kompas TV, kajian pemindahan Ibu kota disampaikan pada presiden Jokowi dalam rapat terbatas kabinet pada 25 april bulan lalu.

Kajian pertama dimulai pada 1 april hingga 15 april oleh Badan Pembangunan Nasional, dalam kajian yang disampaikan kepada presiden, Bappenas menargetkan pemindahan Ibu Kota akan memakan waktu selama 5 sampai 10 Tahun, ada dua skema pengkajian pemindahan yang disampaikan tentunya dengan konsekwensi biaya masing-masing.

Skema pertama, yakni Non Rightsizing atau tidak mengurangi ASN yang dipindahkan. Yaitu sebanyak 195.550 ASN dengan estimasi biaya sekitar 446 Triliun. Dalam skema ini Jumlah penduduk diperkirakan mencapai 1,5 juta jiwa dengan luas wilayah 40 Hektar.

Skema kedua, Rightsizing ASN atau pengurangan jumlah ASN yang dipindahkan yaitu sebanyak 111.510 ASN yang diperkiran membutuhkan biaya sebesar 323 Triliun sehingga penduduk lokal diperkirakan  mencapai 870 ribu jiwa dengan luas wilayah 30 Hektar.

Selain Indonesia, ada beberapa kota di dunia yang kemudian memindahkan ibu kotanya ke luar wilayah. Termasuk Brazil, yang pada tahun 1763 Ibu kota Rio De Janeiro berpindah ke Brasilia dengan alasan kependudukan yang terlalu padat.

India pun sukses memindahkan ibu kota mereka dari Delhi ke New Delhi yang diresmikan pada tahun 1911, tidak ada kesulitan berarti dalam proses pemidahannya. Di Australia, Melbourne juga pernah menjadi ibu kota Australia pada tahun 1927, yang sekarang berpindah ke Canberra, dan masih banyak negara-negara di dunia yang telah memindahkan Ibu kota mereka dengan motif dan alasan tertentu, termasuk Pakistan dan Myanmar.

Terlepas dari itu semua, Indonesia yang kini berencana untuk memindahkan ibu kota harus memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi geografisnya, mengingat kita adalah negara kepulauan, berapa besar kapasitas wilayah sebagai calon ibu kota baru mampu menampung dan mendukung pembangunan keberlanjutan ke depan.

Di samping ketersediaan lahan, aspek kebencanaan juga harus menjadi kriteria penilaian calon ibu kota baru. Menurut laporan BPNB, tercatat ada tiga wilayah yang tidak memiliki catatan historis dan potensi gempa bumi dan tsunami sejak 1960. Yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Bumi tambun bunga Kalimantan Tengah saat ini menjadi sorotan, tiga daerah di provinsi yang juga berjuluk bumi pancasila ini akan dikaji untuk menjadi ibu kota Republik Indonesia yang baru. Kota Palangkaraya adalah salah satu kota yang didengungkan akan menjadi pengganti Ibu kota Jakarta.

Di jantung kotanya, ada bundaran besar yang juga mengindikasikan bahwa pada masa lampau Palangkaraya akan dipersiapkan menjadi kota besar. Terbukti, bahwa pada masa lampau Soekarno sempat menyatakan keinginannya untuk menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota ketika ia datang berkunjung untuk peresmian kota Palangkaraya.

Dibalik catatan sejarah dan juga letak geografisnya yang juga mendukung, perlulah diingat bahwa dibelakang rencana pemindahan ibu kota sebagai solusi kemacetan, kepadatan penduduk, ketimpangan sosial dan pemerataan yang dikabarkan pada awak media. Bahwasanya adakah dasar lainnya yang juga melatar belakangi wacana pemindahan ibu kota Jakarta ini?  

Analisa Wacana Pemindahan Ibu Kota        

Beberapa pendekatan penulis berupaya gunakan sebagai pisau analisis dalam melihat wacana pemindahan ibu kota ini. Dalam kaca mata liberalisme yang juga merupakan teori besar dalam hubungan Internasional menyatakan bahwa ekonomi merupakan ruh bagi setiap negara di dunia, sehingga kerjasama menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan, baik dengan govermental organization, non-govermental organization, international organization sampai pada kerjasama bilateral dan multilateral.

Dinamika politik global dalam pandangan realisme adalah panggung perebutan kepentingan untuk memenuhi national interest setiap negara. Mengutip salah seorang pengajar kebijakan infrastruktur Universitas Indonesia, Aichiro Suryo Prabowo mengatakan “Membangun Ibu kota baru itu mahal. Serta tidak bisa sepenuhnya ditanggung oleh anggaran negara dan perusahaan milik negara”

Pernyataan tersebut semakin memperkuat pandangan para kaum liberalis akan kerjasama yang tidak bisa dihindarkan dalam pembangunan di setiap negara. Dalam kerjasama yang jikapun nanti dilakukan pemerintah Indonesia, prinsip take and give harus tetap diingat.

Aset berharga apa yang harus Indonesia korbankan dalam upaya pemindahan Ibu kota ini? Karena pengorbanan aset, SDM dan SDA sampai bertambahnya tenaga kerja asing serta investor menjadi konsekwensi logis dari kerjasama nantinya.

Beberapa faktor yang mempengaruhi decision maker dalam pengambilan kebijakan menurut Richard Snider dipengaruhi oleh dua faktor penting. Pertama internal setting yang merupakan faktor dominan yang paling berpengaruh terhadap pembuat kebijakan. Dalam hal ini haruslah dilihat bahwa bukan hanya kemacetan, banjir dan pemerataan ekonomi yang menjadi landasan utama pemindahan ibu kota.

Jika kemacetan menjadi salah satu problem, kita bisa melihat pada saat lebaran tiba, Jakarta nyaman karena sepi, dikarenakan sebagian warga mudik, pulang kampung. Dengan analogi yang demikian hitungan berapa jumlah orang yang tinggal di Jakarta terkait dengan pemerintah pusat? Apakah jumlah penduduk yang sedemikian signifikan bisa berkurang jika yang berkaitan denga urusan pemerintah pusat di pindah? Ilustrasi yang demikian cukup memberikan bahwa memang beban Ibu Kota baik orang maupun kegiataan ini dipindahkan tanpa harus berpindah ibu kota.

Jika dasar pemindahan adalah mengenai banjir juga, marilah lebih teliti dan cermat untuk memfungsikan kanal banjir timur, dibuat terowongan, sodetan, dengan bantuan teknologi. Lagi pula ada banyak orang Indonesia yang ahli di bidang teknologi, sehingga banjir dapat diatasi. Namun jika Internal setting yang dimaksud bukan hanya sekedar yang dipaparkan, apakah memang ada motif politik lain yang lebih mendasari pemindahan?

Memindahkan ibu kota juga dapat mengurangi pentingnya Gubernur Jakarta dalam politik Nasional, yang secara historis berfungsi sebagai  batu loncatan ke jabatan Nasional seperti yang dikemukakan Bayu Dardias Kurniadi, ekonom politik di Australia National University.

Pergulatan politik memang memberikan implikasi yang besar terhadap kebijakan yang dibuat oleh decision maker dengan berbagai macam indikator yang mendasari, termasuk untuk melanggengkan serta menjaga legitimasi kekuasaan. Atau mungkin hanya sekedar untuk menjadi bukti abdi warisan kepresidenannya.

Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang persoalan wacana pemindahan ibu kota yang memakan biaya sangat fantastis.

Pemindahan ibu kota bukanlah menjadi masalah yang sangat urgent untuk diperdebatkan karena ada banyak hal yang lebih perlu untuk diperhatikan dan diperbaiki, seperti masalah kesehatan, pendidikan serta pembangunan desa berkelanjutan di seluruh penjuru Indonesia yang membutuhkan dana yang relatif tinggi juga juga masalah lainnya yang lebih urgent dari pada sekedar pemindahan Ibu kota.

Sebetulnya pemindahan ibu kota tersebut adalah bertujuan untuk efektivitas kegiatan pemerintahan, hal ini dibuktikan dengan pernyataan kepala Padan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro yang menuturkan yang dipindah ke ibu kota baru adalah pusat pemeritahan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sehingga di ibu kota yang baru, pusat pemerintahan dan diisi kementerian dan lembaga, MPR, DPR, DPD, Kehakiman, Kejaksaan, MK, TNI, dan Polri, serta Kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional di Indonesia.

Akan sangat terlampau buruk negeri ini jika hanya untuk sekedar efektivitas kegiatan pemerintahan, negara harus memindahkan ibu kotanya yang memakan biaya triliunan rupiah. Semoga pemerintah lebih bijak lagi dalam membuat kebijakan yang implikasinya berdampak besar terhadap kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Ahmad Satrian Fatoni Azzaki
Mahasiswa Hubungan Hubungan Internasional Universitas Mataram

Baca juga:
Jakarta Kekurangan Lahan Makam, Mengapa?
Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara
Polemik Pemindahan Ibu Kota

Pos terkait