Analisa Penerjemahan QS. An Naml Ayat 19 dan Hadits 3 Amalan yang Tidak Akan Terputus

Penerjemahan QS. An Naml

Penerjemahan merupakan suatu proses pengalihan pesan atau gagasan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran . Saat ini penerjemahan sudah banyak dilakukan di seluruh dunia. Dalam proses penerjemahan, tentunya banyak hal perlu diperhatikan seperti strategi penerjemahan, metode penerjemahan, kesepadanan kata dan masih banyak lagi. Semua hal ini perlu diperhatikan oleh sang penerjemah agar hasil penerjemahan memiliki kualitas yang baik  dan agar para pembacanya paham atas pesan dan maksud dari sang penerjemah.

Dalam menentukan kualitas hasil terjemahan perlu diadakannya kritik penerjemahan. Kritik penerjemahan ini dilakukan bukan untuk menilai naik atau buruknya sang penerjemah, akan tetapi ini sebagai upaya untuk perbaikan dan pengembangan yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas penerjemahan. Maka dari itu, dalam artikel ini penulis akan mengkritik hasil penerjemahan dengan menganalisis kesalahan dalam penerjemahan.

PEMBAHASAN  

1. Ayat Al Qur’an (QS. An Naml: 19)

ربّ أوزعني أن أشكرَ نغمتَكَ الّتي أنعمْتَ عليَّ وعلى وَالديَّ وأن أعملَ صالحاً ترْضَاهُ وأدْخلني برَحْمَتكَ في عبادكَ الصّالحينَ

Bacaan Lainnya
DONASI

Artinya: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku  dan agaraku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”  

Surat An-Naml ayat 19 ini merupakan ayat yang berisi tentang do’a Nabi Sulaiman. Dalam Penafsiran Ibnu Katsir menjelaskan bahwa  Nabi Sulaiman kagum dan tersenyum karena mendengar percakapan semut, dikala itu kemudian Nabi Sulaiman memohon kepada Allah SWT agar dianugerahkan ilham untuk mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Adapun nikmat tersebut berupa diajarkannya bahasa binatang, dan nikmat yang diberikan kepada orang tuanya yang telah memeluk Islam dan mengikrarkan iman. Ayat ini sangat menarik untuk dianalisa segi penerjemahannya, maka dari itu saya akan menganalisa penerjemahan Surat AN-Naml ayat 19 ini.

Baca Juga: Al-Quran sebagai Sumber Obat (Syifa) bagi Makhluk Ciptaan-Nya

Dalam penerjemahan, tampak sang penerjemah menggunakan metode harfiah, yaitu metode penerjemahan yang dilakukan dengan mencari padanan per kata dalam kalimat. Menurut saya, hasil terjemahan ayat ini sudah baik hanya saja terdapat pemilihan padanan kata yang kurang sesuai, yaitu pada klausa أعملَ صالحاً yang diterjemahkan aku mengerjakan kebajikan.

Penerjemahan klausaأعملَ صالحاً  bila diterjemahkan aku mengerjakan kebajikan dirasa kurang tepat. Dalam kamus Al Ma’any kata kerja أعملَ yang berasal dari عمل يعمل memiliki arti melakukan, memproduksi, mengerjakan, bekerja. Adapun kata صالحاً bila diartikan dengan kebajikan dalam konteks ini kurang tepat, kata ini akan tepat bila diartikan dengan amal shaleh. Dan kedua kata ini sepadan apabila disatukan dalam konteks ini. maka dari itu, untuk menghindari terjemahan aku mengerjakan kebajikan alternatif penerjemahannya adalah aku mengerjakan amal saleh

Maka dapat disimpulkan, ayat ini akan lebih tepat bila diterjemahkan dengan: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku  dan agaraku mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu kedalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” 

2. Hadits Nabi

عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:”Apabila anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang di manfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)

Hadits ini berisi tentang 3 amalan manusia yang tidak akan terputus walau meninggal dunia. Hadits ini sangat menarik untuk dianalisa makna beserta terjemahannya. Maka dari itu saya akan menganalisa hasil terjemahan hadits ini.

Dalam penerjemahan ini, tampak sang penerjemah menggunakan metode penerjemahan harfiah. Menurut saya kualitas penerjemahan ini masih kurang baik dikarenakan adanya pemilihan padanan kata yang kurang sesuai dan terdapat pemborosan kata.

Kata مَاتَ bila diterjemahkan dengan arti “mati” dalam konteks ini kurang tepat. Kata mati dengan kata meninggal memiliki makna denotasi yang sama akan tetapi makna konotasinya berbeda. Kata mati termasuk dalam kategori netral karena bisa digunakan dalam berbagai hal. Namun jika digunakan untuk manusia, kata ini termasuk kata yang berkonotasi rendah. [1] Jika kita menggunakan kata mati untuk orang, contohnya pak Suharno sudah mati, ini akan bermakna tidak sopan dan akibatnya dapat menyinggung perasaan orang lain.[2] Oleh karena itu, untuk menghindari kata mati ditemukan alternatif penerjemahan yang lebih tepat yaitu; meninggal. Selanjutnya terdapat pemborosan kata, yaitu kata itu.

Baca Juga: Pengaplikasian Ilmu Kalam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Kata الإِنْسَان jika diterjemahkan dengan anak Adam kurang tepat. Dalam bahasa arab, kata الإِنْسَان secara leksikal memiliki arti manusia. Jikalau kita merujuk pada Al- Quran kata manusia diungkapkan dalam banyak sebutan, diantaranya adalah insan dan bani adam. Bani adam adalah anak keturunan Nabi Adam A.S yang menghuni di bumi, sedangkan insan adalah manusia sebagai makhluk sosial dan kultural. [3] dalam konteks ini kata الإِنْسَان tepat bila diterjemahkan dengan manusia.

Dari analisa ini dapat disimpulkan bahwa ayat ini lebih tepat bila diterjemahkan: Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:”Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang di manfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)

3. Cerita hafalan Imam Syafi’i

شكوتُ إلى وكيع سوءَ حفظي فأرشَدَني إلى ترك المَعاصى وأخبَرَني بأنّ العلمَ نُورٌ ونور الله لايهدي للعاصى

Artinya: “aku (Imam Syafi’i) telah mengadukan kepada Imam Waki’i (guru imam Syafi’i) tentang jelek (sulitnya) hafalanku. Lalu beliau mengatakan kepadaku untuk meninggalkan maksiat. Imam Waki’i berkata sebab ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidaklah diberikan kepada para ahli maksiat”

Teks ini berisi tentang cerita imam syafi’i, salah satu imam besar terkemuka dalam Islam. Dalam cerita ini beliau menceritakan kisahnya yang mengadukan kepada guru beliau (imam waki’i) mengenai kesulitan beliau dalam hafalannya. Cerita ini menarik untuk dianalisa makna serta terjemahannya. Maka dari itu, saya akan menganalisa penerjemahan dari cerita ini.

Dalam penerjemahan, tampak sang penerjemah menggunakan metode penerjemahan bebas yang mengutamakan isi dan mengorbankan teks bahasa sumber. Menurut saya, kualitas penerjemahan teks cerita ini kurang baik dikarenakan adanya pemilihan padanan kata yang kurang sesuai dan terjadinya pemborosan kata.

Kosa kata dalam Bahasa Arab dikenal dengan keluasan maknanya sehingga memiliki banyak sinonim, terutama kata-kata yang erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. [4] seperti halnya kata سوءَ yang dalam kamus al ma’any memiliki arti buruk, jelek, dan jahat. Kata سوءَ dalam konteks ini bila diterjemahkan dengan jelek kurang tepat. Jelek merupakan adjektiva atau kata sifat. Adjektiva dapat menerangkan kualitas, kuantitas, urutan, kecukupan ataupun penekanan dalam suatu kata. [5] adapun kata jelek mengacu pada kategori adjektiva pemberi sifat pada fisik atau mental. Dalam konteks ini kata sifat jelek menyifati hafalan, hafalan tidak berbentuk fisik. Maka dari itu, kata sifat yang tepat untuk menyifati hafalan adalah buruk. Dari terjemahan ini, penerjemah kurang memperhatikan  dalam pemilihan padanan kata yang sesuai dalam konteks. 

Baca Juga: Analisis Penerjemahan Surat An Nur Ayat 4: Hadist Tentang Menyambung Silaturahmi dan Berbuat Baik Kepada Sesama

Kemudian Kata فأرشَدَني  mengandung verba (fi’il) أرشَدَ yang memiliki makna memandu, mengarahkan, menunjukkan dan mengantarkan . dalam konteks ini kata أرشَدَ bila diterjemahkan mengatakan tidak tepat karena belum tersampaikan kandungan makna bahasa sumber.  Menurut Weber, teks terjemahan harus benar-benar cermat dalam makna, mengandung semua nuansa makna teks asli dan harus ditulis dalam bahasa yang jelas serta enak untuk dibaca sehingga akan mudah dipahami oleh pembaca. [6]Dalam konteks ini subjek (imam waki’i) memberi arahan terhadap objek (imam syafii), sedangkan kata mengatakan di sini belum mengandung makna memberi arahan  Maka dari itu untuk menghindari penggunaan kata mengatakan, terdapat alternatif penerjemahan mengarahkan.

Selanjutnya kata أخبَرَني mengandung verba  أخبَرَ yang mana bila diterjemahkan berkata kurang tepat. Kata ini secara leksikal dalam kamus Al Maany diterjemahkan mengabarkan, memberitahukan, memberitakan dan menginformasikan. Dan dalam konteks ini kata

أخبَرَ tepat bila diterjemahkan memberitahukan.  Adapun penulisan nama Imam Wakii dalam kalimat ini tidak efektif karena terjadi pemborosan kata.

Dari analisa ini, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan teks cerita ini lebih baik bila diterjemahkan: “aku (Imam Syafi’i) telah mengadukan kepada Imam Waki’i (guru imam Syafi’i) tentang buruknya hafalanku. Lalu beliau mengarahkanku untuk meninggalkan maksiat. Dan memberitahukan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidaklah diberikan kepada para ahli maksiat”

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa di antara permasalahan yang ditemukan dalam analisa ini ialah penerjemah belum mampu menentukan padanan kata yang tepat berdasarkan konteksnya. Permasalahan ini merupakan permasalahan tersulit yang dihadapi para penerjemah, tentunya hal ini membuat penerjemah untuk memperhatikan lebih detail setiap susunan kata yang diterjemahkan agar hasil terjemahannya sesuai dengan yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Moh. Ali. (2019). Public Speaking Gaya dan Teknik Pidato Dakwah. Jakarta: Prenadamedia Group

Darma, Yoce Aliah. (2007) . Metode Pembelajaran Penerjemahan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.

Seha, Sampo. (2010). Manusia Dalam Al Quran Menurut Perspektif Filsafat Manusia, Jurnal

Sofyan, Abu. Penggunaan Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi (Suatu Tinjauan Stilistika). 2021.Uni muda: Jurnal Frasa

Syihabuddin. Penerjemahan Arab Indonesia (Teori dan Praktik). 2005. Bandung: Humaniora.

Tukan, Paulus. (2006) . Mahir Berbahasa Indonesia 3 (Sekolah Menengah Atas kelas XII). PT. Ghalia Indonesia Printing


[1] Moh. Ali Aziz, Public Speaking Gaya dan Teknik Pidato Dakwah. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019, Hlm. 202

[2] Paulus Tukan, Mahir Berbahasa Indonesia 3 (Sekolah Menengah Atas kelas XII). PT. Ghalia Indonesia Printing, 2006, Hlm. 19

[3] Sampo Seha, Manusia Dalam Al Quran Menurut Perspektif Filsafat Manusia, Jurnal, 2010

[4] Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Teori dan Praktik). Bandung: Humaniora, 2005, Hlm. 47

[5] Abu Sofyan, Penggunaan Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi (Suatu Tinjauan Stilistika). Uni muda: Jurnal Frasa, 2021

[6] Yoce Aliah Darma, Metode Pembelajaran Penerjemahan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2007.

Salsabilah
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI