Analisis Kesesuaian Hak-Hak KPPS yang Disabilitas dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja

Sumber: antaranews.com

Abstract 

This research aims to analyze the compatibility of the rights of the Voting Organizing Group (KPPS) with the provisions regulated in the Employment Law and the Job Creation Law.

KPPS has a very important role in the democratic process, especially in organizing elections, but often their rights do not receive adequate attention.

This research uses a qualitative approach with data collection methods through in-depth interviews and direct observation of KPPS members, related officials and other stakeholders.

The research results show that KPPS faces various challenges, including a very high workload, with working hours often exceeding 12 hours a day without adequate rest.

Bacaan Lainnya

The honorarium received by KPPS members is also considered not commensurate with the workload they carry out, and there is a practice of cutting honorariums that is not transparent.

In addition, protection for basic rights such as social security and health for KPPS members is still very minimal, which has the potential to threaten their welfare.

This research recommends the need for stricter and clearer regulations regarding the management of KPPS honorariums, as well as increased supervision at the village level to ensure transparency and accountability.

Apart from that, training and outreach regarding KPPS rights and the importance of legal protection are also very necessary to increase understanding and awareness among KPPS members.

Thus, it is hoped that this research can make a significant contribution to improving the KPPS rights protection system in Indonesia, as well as supporting the creation of fairer and better quality elections.

Keywords: KPPS, Employment, Job Creation, Legal Sanctions, Disability.

Baca Juga: Perlindungan Hukum terhadap Penyelenggara Pemilu KPPS sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pemilu KPU Kota Surabaya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian hak-hak Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja.

KPPS memiliki peran yang sangat penting dalam proses demokrasi, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu, namun sering kali hak-hak mereka tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi langsung terhadap anggota KPPS, pejabat terkait, serta pemangku kepentingan lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPS menghadapi berbagai tantangan, termasuk beban kerja yang sangat tinggi, dengan jam kerja yang sering kali melebihi 12 jam sehari tanpa istirahat yang cukup.

Honorarium yang diterima oleh anggota KPPS juga dinilai tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka jalani, dan terdapat praktik pemotongan honorarium yang tidak transparan.

Selain itu, perlindungan terhadap hak-hak dasar seperti jaminan sosial dan kesehatan bagi anggota KPPS masih sangat minim, yang berpotensi mengancam kesejahteraan mereka.

Penelitian ini merekomendasikan perlunya regulasi yang lebih ketat dan jelas mengenai pengelolaan honorarium KPPS, serta peningkatan pengawasan di tingkat desa untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, pelatihan dan sosialisasi mengenai hak-hak KPPS serta pentingnya perlindungan hukum juga sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran di kalangan anggota KPPS.

Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam perbaikan sistem perlindungan hak-hak KPPS di Indonesia, serta mendukung terciptanya pemilu yang lebih adil dan berkualitas.

Kata Kunci: KPPS, Ketenagakerjaan, Cipta Kerja, Sanksi Hukum, Disabilitas.

Baca Juga: Mendorong Terciptanya Kesetaraan Disabilitas Guna Mengembangkan Inklusivitas

Pendahuluan

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau disingkat (KPPS) adalah kelompok yang dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara.

KPPS dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilihan umum berpedoman pada asas mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib; kepentingan umum; terbuka; proporsional; profesional; akuntabel; efektif; efisien; dan aksesibilitas.

Pada permasalahan artikel ini membahas terkait analisis kesesuaian petugas KPPS dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Pemilu di Indonesia merupakan salah satu proses demokrasi yang paling penting dan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh masyarakat.

Dalam rangka menyelenggarakan Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengangkat petugas yang disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk menjalankan berbagai tugas teknis di tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Tugas KPPS mencakup pengorganisasian pemungutan suara, perhitungan suara, dan pelaporan hasil pemilu yang sangat krusial untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam proses pemilu.

Namun, meskipun peran KPPS sangat penting, hak-hak yang diterima oleh anggota KPPS selama pelaksanaan tugas mereka sering kali menjadi sorotan.

Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja, hak-hak pekerja, termasuk upah, perlindungan kerja, dan jaminan sosial, diatur dengan ketat.

Pertanyaannya adalah sejauh mana hak-hak yang diterima oleh anggota KPPS sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.

Analisis kesesuaian hak-hak KPPS dengan kedua undang-undang tersebut penting untuk memastikan bahwa mereka memperoleh perlindungan yang layak, tidak hanya sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilu, tetapi juga sebagai pekerja yang berhak mendapatkan jaminan sosial dan hak-hak lainnya.

Dengan pemahaman yang jelas tentang kesesuaian ini, diharapkan dapat mendorong kebijakan yang lebih adil dan berpihak kepada KPPS sebagai bagian dari tenaga kerja yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

Baca Juga: Perbandingan Hak Pekerja/ Buruh pada Undang-Undang Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan

Metode Penelitian

Permasalahan yang akan diteliti, yaitu tentang analisis hak-hak KPPS yang disabilitas dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode yuridis normative, yaitu suatu metode suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Metode pendekatan yang digunakan ialah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan fakta-fakta hukum mengenai analisis hak-hak KPPS dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

  • Apakah hak-hak kpps yang disabilitas sudah sesuai dengan UU ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja?
  • Bagaimanakah sanksi hukum jika hak-hak KPPS penyandang disabilitas tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja?

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kesesuaian hak-hak KPPS dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja

Konsep persamaan hak antar sesama manusia, HAM tidak menghendaki adanya perbedaan terhadap penyandang disabilitas, akan tetapi dalam praktiknya para penyandang disabilitas sering kali menjadi kelompok yang termarjinalkan, mendapat perlakuan yang tidak semestinya dan terhalangi dalam upaya pemenuhan hak-haknnya.

Demi tercapainya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas tersebut, perkembangan demi perkembangan terus diikuti oleh Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan HAM mulai dari lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, kemudian seiring berjalannya waktu, Indonesia juga meratifikasi Konvensi tentang Hah-hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rights Of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, dan yang terakhir adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Perkembangan tersebut memberikan ruang dan jaminan yang lebih luas terhadap pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas demi tercapainya keadilan dan peningkatan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas.

Baca Juga: Unemployment Disaster: Meninjau Kondisi Ketenagakerjaan Akibat Pandemi Covid-19 melalui Perspektif Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional

Selain perkembangan dari Undang-Undang tentang penyandang disabilitas sebagaimana perkembangannya di atas, ada pula peraturan perundang-undangan lain yang juga mendukung adanya jaminan atas penghormatan dan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas (aksebilitas) dalam kehidupan bermasyarakat seperti sistem tataruang, kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya sebagainya.

Dalam kaitannya dengan hak politik bagi penyandang disabilitas sebagai salah satu komponen dari HAM yang juga harus dipenuhi, apa lagi dalam tataran negara demokrasi, Indonesia sudah semestinya membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat termasuk masyarakat penyandang disabilitas untuk ikut berpartisipasi dalam ranah politik termasuk ikut serta dalam sistem pemerintahan.

Karena, hak politik sebagai salah satu dari serangkaian hak yang juga dimiliki oleh setiap warga negara termasuk para penyandang disabilitas, memiliki arti penting bagi keberlangsungan dari perlindungan hak asasi manusia dan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia.

Hak-hak politik penyandang disabilitas sebagaimana dipaparkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di atas penting untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi demi terwujudnya keadilan penghapusan diskriminasi politik terhadap penyandang disabilitas yang hingga kini menjadi problematika yang belum terselesaikan.

Adapun beberapa permasalahan yang masih sering muncul terkait dengan pemenuhan hak politik penyandang disabilitas di antaranya, sebagaimana dari hasil pantauan yang dilakukan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) bersama organisasiorganisasi peduli disabilitas lainnya pada Pemilu tahun 2014, dimana masih ditemukan ketidakberpihakan bagi penyandang, baik dari sarana maupun prasarana dalam proses pelaksanaan pemilu.

Implementasi dari pemilu yang aksesibel yang menghendaki adanya kebutuhan-kebutuhan logistik penunjang, seperti alat bantu pencoblosan, desain lokasi dan juga aksesakses lainnya seperti informasi pada saat proses pencoblosan belum dapat dikatakan ramah penyandang disabilitas.

Sebagai contoh, tidak tersedianya informasi tertulis atau berupa bahasa isyarat bagi peserta pemilu disabilitas rungu/wicara.

Selain dari akses pemilihan, hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah perihal keterlibatan penyandang disabilitas dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan umum.

Karena hal tersebut merupakan salah satu dari serangkaian hak politik penyandang disabilitas, maka keterlibatan masyarakat penyandang disabilitas dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan atau seluruh tahapan dalam pemilu juga perlu diperhatikan.

Hal tersebut kemudian menjadi semakin nyata ketika permasalahan mengenai proses pendataan yang merupakan tahapan awal dari proses persiapan Pemilu juga masih belum menjangkau seluruh masyarakat penyandang disabilitas.

Baca Juga: Ketidakadilan Gender dalam Organisasi

General Election Network For Disability Access (AGENDA) menemukan adanya masyarakat penyandang disabilitas yang tidak masuk dalam daftar pemilih dalam Pilkada Serentak tahun 2015.

Tidak masuknya sejumlah masyarakat penyandag disabilitas dalam daftar pemilih merupakan salah satu bentuk dari tidak terpenuhinya hak-hak politik penyandang disabilitas.

Adanya hak-hak politik penyandang disabilitas yang tidak terpenuhi tersebut menunjukkan adanya ketimpangan dalam menjalankan sistem hukum negara antara pembentukkan isntrumen hukum (law making) dan penegakkannya (law inforcing).

Oleh karena itu, setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban terhadap berjalannya pemerintahan dan hal tersebut berlaku sama bagi setiap warga negara, termasuk bagi warga negara penyandang disabilitas.

Secara signifikan tingkat penyaluran hak politik penyandang disabilitas sangat terlihat dalam pemilihan umum.

Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu yang mempunyai tugas dan kewenangan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan sudah sepatutnya menjamin terpenuhinya hak politik setiap warga negara tanpa terkecuali bagi penyandang disabilitas dalam pelaksanaan pemilihan umum.

Hak politik merupakan salah satu hak yang termasuk bagian dari serangkaian hak-hak dalam hak asasi manusia. Hak Politik sering disebut juga sebagai hak asasi politik atau political rights.

Dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia, hak asasi politik dikelompokkan sebagai hak-hak generasi pertama besama dengan hak sipil.

Secara universal dalam gagasan pemenuhan hak-hak asasi manusia, negara merupakan pemangku kewajiban menjamin terselenggaranya hak-hak yang terkandung dalam hak asasi manusia dalam bentuk penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) yang berlaku bagi seluruh individu atau warga masyarakat dalam negaranya tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi terhadap hak-hak asasinya, termasuk khak asasi politik.

Hak politik sebagai serangkaian hak dimiliki oleh setiap individu tanpa terkecuali. Hak-hak yang terkandung dalam hak politik, pada dasarnya merupakan hak warga negara untuk ikut berperan serta dalam ranah perpolitikan negaranya, untuk terlibat atau memiliki kewenangan untuk memberikan andil dalam perjalanan kenegaraan baik secara abstrak maupun konkret.

Artinya, setiap individu atau warga negara memiliki hak untuk turut serta menentukan arah perjalanan kenegaraan baik secara langsung maupun melalui perwakilan, baik perorangan maupun kelompok.

Baca Juga: Pentingnya Transparansi dalam Pemilu untuk Masa Depan Demokrasi Indonesia

Kurangnya pemahaman mengenai hak politik dalam pemilu juga menjadi salah satu hambatan yang ditemukan oleh KPU dalam melakukan upaya-upaya pemenuhan hak politik, juga bagi penyandang disabilitas dalam menyalurkan hak politiknya.

Pemahaman mengenai hak politik ini memang tidak dapat serta merta diterima oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh. Setidaknya hambatan berupa pemahaman yang kurang ini ketidaknya dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu:

Dari Sisi Petugas Penyelenggara Pemilu

Masih terdapat petugas KPPS, PPS, PPK yang belum maksimal dalam memahami atau memiliki perspektif disabilitas.

Sehingga tingkat petugas-petugas yang demikian ini, memiliki tingkat kepedulian yang kurang, pelaksanaan kerja di lapangan tidak sesuai dengan apa yang telah disampaikan mengenai teknis pelayanan bagi penyandang disabilitas

Dari Sisi Penyandang Disabilitas

Tingkat pemahaman yang dimiliki oleh penyandang disabilitas tentang adanya hak politik yang juga dimiliki oleh dirinya sebagaimana setiap warganerara memiliki hak tersebut sangat beragam.

Tidak semua penyandang disabilitas memiliki pemahaman dan kesadaran tentang adanya hak yang dimiliki tersebut.

Adapun faktor yang mempengaruhi perbedaan pemahaman tersebut di antaranya, tingkat pendidikan, usia, serta aktif atau tidaknya seorang penyandang disabilitas dalam organisasi penyandang disabilitas

Dari Sisi Masyarakat Umum

Untuk dapat secara maksimal merangkul seluruh masyarakat, termasuk kelompok rentan dan penyandang disabilitas, tentu peyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU tidak dapat bekerja sendirian.

Adanya peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam peningkatan keterlibatan penyandang disabilitas dalam seluruh aspek kehidupan khususnya dalam kehidupan politik yang berkaitan dengan hak-hak politik penyandang disabilitas.

Kurangnya pemahaman masyarakat terlihat dalam berbagai bentuk, seagai contoh, tidak adanya kepedulian baik dari pihak keluarga atau penyandang disabilitas sendiri ketika ada penyandang disabilitas disekitar lingkungan mereka yang belum terdaftar dalam DPS, adanya pihak keluarga penyandang disabilitas yang memiliki pemikiran bahwa anggota keluarganya yang disabilitas akan merepotkan jika datang ke TPS, menertawakan ketika terjadi kendala teknis pada saat hari H pemungutan suara di TPS, dan lain-lain.

Pada pernyataan diatas hak-hak penyandang disabilitas yang menjadi petugas KPPS sudah sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga memfasilitasi serta menjamin hak-hak para penyandang disabilitas yang menjadi petugas KPPS.

Baca Juga: Kecurangan Pilkada Ambon: Surat Suara Sisa Dicoblos, Demokrasi Tercoreng!

Sanksi Hukum jika Hak-Hak KPPS Penyandang Disabilitas Tidak Sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja

Hak penyandang disabilitas dalam pemilihan umum belum menjadi perhatian serius dan belum massif dibicarakan olehpublik. Padahal kehadiran penyandang disabilitas dalam sistem politik sangat berguna bagi lingkungansosial bahwa perspektif disabilitas tentang kemanusiaan sangat penting.

Keterlibatan penyandang disabilitas dalam sistem politik juga diperlukan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berimbang bagi setiap warga negara dengan berbagai latar belakang dan kondisi.

Sebagaimana pada Pasal 1 Ayat1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengartikan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”.

Dalam konteks politik, penyandang disabilitas memiliki hak-hak politik yang dijamin pemerintah dengan memperhatikan keragaman penyandang disabilitas tersebut. Hak-hak politik penyandang disabilitas berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Bahwa negara telah menjamin hak penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan, salah satu aspek yang dijamin oleh negara kepada penyandang disabilitas adalah jaminan hak politik, sehingga adanya afirmasi mengenai penyandang disabilitas dari berbagai jenisnya, baik keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau sensorik. afirmasi dalam konteks ini adalah bentuk dukungan dan tindakan konkret yang diambil oleh negara untuk memastikan penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum dan mendapatkan perlindungan hak politik mereka sesuai dengan undang-undang.

Sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017tentang Pemilihan Umum.Hukum telah mengatur tentang hak politik penyandang disabilitas yakni hak untuk memilih dan hak untuk dipilih melalui sebuah Pemilihan Umum (pemilu) atau Pemilihan Umum Kepala Daerah (pilkada).

Berkaitan dengan hak untuk memilih dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bahwa penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pemilu yang aksesibel bagi pemilih Penyandang Disabilitas agar dapat memilih secara langsung dan mandiri.

Jika dalam praktiknya regulasi yang sudah ditetapkan tidak terpenuhi hak-hak penyandang disabilitas dalam pemilihan umum, maka hal tersebut termasuk dalam pelanggaran oleh penyelenggara pemilihan umum, sehingga hal tersebut perlu menjadi bagian dari pengamatan BAWASLU untuk memberikan perhatian kepada KPU.

Supaya aturan tersebut dapat konsisten dilaksanakan penyelenggara, maka semua pihak harus diberi ruang, dan menyadari bahwa urusan disabilitas itu tidak hanya menjadi tanggung jawab dari KPU, tetapi BAWASLU juga ikut serta untuk memberikan pengawasan kepada KPU dalam pemenuhan jaminan hak kepada penyandang disabilitas.

Peraturan KPU Nomor 35 Tahun 2008 mengatur pedoman teknis pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam pemilihan umum.

Baca Juga: Pemilu 2x Putaran, Worth it Ga sih?

Pasal 31 poin b menyebutkan bahwa pemilih yang tidak memiliki kedua belah tangan dan tuna netra akan dibantu oleh anggota KPPS kelima dengan disaksikan oleh anggota KPPS keenam.

Ini memberikan jaminan kepada penyandang disabilitas tunanetra di TPS dengan kehadiran saksi. Pelaksanaan pemilihan umum dapat melibatkan pelanggaran administratif dan pidana. Jika jaminan tidak terpenuhi, itu dianggap sebagai pelanggaran administratif oleh penyelenggara pemilihan umum.

Pada pernyataan diatas jika para penyandang disabilitas yang menjadi petugas KPPS tidak terpenuhi akan dikenakan sanksi berupa pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Kesimpulan

Analisis kesesuaian hak-hak KPPS yang disabilitas dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa perlindungan hak penyandang disabilitas masih perlu ditingkatkan.

Meskipun ada regulasi yang mendukung, implementasi dan harmonisasi antara kedua undang-undang ini masih menghadapi tantangan.

UU Cipta Kerja cenderung mereduksi hak-hak penyandang disabilitas, termasuk kemudahan pemutusan hubungan kerja, yang dapat merugikan mereka dalam mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan.

Selain itu, terdapat ketidakpastian hukum dan perbedaan substansial antara ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.

Untuk meningkatkan perlindungan, diperlukan revisi UU Cipta Kerja agar lebih menjamin hak-hak penyandang disabilitas, serta harmonisasi antara kedua undang-undang.

Peningkatan sosialisasi dan pendidikan mengenai hak-hak penyandang disabilitas juga penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap regulasi yang ada. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan hak-hak penyandang disabilitas dalam konteks pekerjaan dapat lebih terjamin.

Baca Juga: Lingkungan Kerja Sehat, Aman, dan Adil bagi Tenaga Kerja Berbasis Pancasila

Saran

Pertama, perlu dilakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja untuk memastikan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas tidak tereduksi.

Kedua, harmonisasi antara UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja harus dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengaturan hak-hak mereka.

Selanjutnya, pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi mengenai hak-hak penyandang disabilitas kepada masyarakat dan pengusaha untuk meningkatkan kesadaran.

Selain itu, pelatihan bagi pengusaha tentang inklusi penyandang disabilitas di tempat kerja sangat penting.

Terakhir, mendorong perusahaan untuk meningkatkan aksesibilitas di tempat kerja dan melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam advokasi hak-hak penyandang disabilitas akan membantu memastikan perlindungan yang lebih baik.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan hak-hak penyandang disabilitas dalam ketenagakerjaan dapat lebih terlindungi.

 

Penulis:
1. Zidan Alrifqy Putra Arianto 
2. Mega Dewi Ambarwati, S.H., M.H. 
Program Studi Ilmu Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Daftar Pustaka

Fajri Nursyamsi, Estu Dyah Arifianti, Muhammad Faiz Aziz, Putri Bilqish, and Abi Marutama. Kerangka Hukum Disabilitas Indonesia, 2015. https://www.neliti.com/publications/45395/kerangka-hukum-disabilitas-di-indonesia-menuju-indonesia-ramah-disabilitas.

Hukum, Pengantar, and Tata Negara. “198 Mindarsih, Nurbaedah , Implementasi Pasal 5 Undang- Undang …” 13 (2024): 198–217.

Malihah, L. “Equal Employment Opportunity Sebagai Upaya Mewujudkan Kesetaraan Kesempatan Kerja.” Jurnal Ilmu Manajemen Saburai (JIMS) 10, no. 1 (2024): 87–98. http://www.saburai.id/jurnal_saburai/index.php/JIMS/article/view/2960.

Pilkada, Dalam, and Kota Yogyakarta. “Pemenuhan Hak Politik Difabel” 2017, no. 8 (2017).

Rosifa, M. “Pemenuhan Hak Politik Penyandang Disabilitas Dalam Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 Di 31 Kabupaten Cirebon Perspektif Fiqih Siyasah.” The Indonesian Conference on Disability Studies and Inclusive Education 3, no. 1 (2023): 19–32. https://conference.uin-suka.ac.id/index.php/icodie/article/view/1232%0Ahttps://conference.uin-suka.ac.id/index.php/icodie/article/download/1232/768.

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses