Analisis Terjemahan Q.S An-Nahl [16]: 44, Hadits Imam Bukhari: 6602, dan Perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah

Analisis Terjemahan Q.S An-Nahl

Dikutip Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin

Terjemahan antarbahasa pada dasarnya merupakan perbandingan dinamis yang melibatkan dua bahasa dan dua kultur sekaligus. Perbandingan ini pada kenyataannya malah seringkali mempertegas perbedaan yang ada di antara keduanya. Cluver (dalam Osimo, 2004) mengatakan bahwa sebuah teks terjemahan sudah barang tentu dan tidak akan ekuivalen dengan teks aslinya.

Bisa dipastikan sebuah teks terjemahan mengandung sesuatu yang kurang (loss) atau sesuatu yang berlebihan (redundant) bila dibandingkan dengan teks sumber. Dalam kaitan inilah penerjemah yang baik pada akhirnya harus menentukan bagian mana yang harus dikorbankan dari sebuah teks sumber.

Proses   penerjemahan   paling   tidak   melibatkan   dua   bahasa,   yakni   bahasa sumber dan bahasa penerima dengan segala aspek kebudayaan yang ada di dalamnya. Dari sudut pandang sosiolinguistik, fenomena semacam ini dikenal sebagai gejala kedwibahasaan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Analisis Terjemah Ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi dan Pendapat Ulama

Jika diurutkan, kegiatan penerjemahan bermula dari adanya berbagai kelompok sosial dari berbagai bangsa yang berkomunikasi untuk saling memahami berbagai persoalan agama, politik, sosial, kebudayaan, dan ekonomi dengan menggunakan sarana bahasa. Kaitan dengan fenomena kontak bahasa ini seorang penerjemah dapat dikategorikan sebagai dwibahasawan.

Pembahasan

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Artinya : “dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl: 44)

Menurut saya, terjemahan pada ayat ini tepatnya pada kata وَاَنْزَلْنَآ yang diterjemahkan oleh penerjemah, terjemahannya bagi saya kurang tepat, karena اَنْزَلْنَآ merupakan Fi’il Madhi (kata kerja lampau). Seharusnya terjemahan yang tepat adalah “dan telah kami turunkan kepadamu”. Terjemahan dari ayat ini menggunakan struktural penerjemahan jumlah fi’liyyah yang muta’addi, yang mana membutuhkan maf’ul (objek). Pada penerjemahan struktur jumlah fi’liyah pada ayat di atas menggunakan pola (S P O) atau Subjek, Predikat, dan Objek.

Metode yang digunakan dalam penerjemahan ayat di atas adalah metode harfiyah yaitu penerjemahan dilakukan dengan mengkonversi konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi bahasa penerima yang paling dekat. Namun, kata-kata tetap diterjemahkan satu demi satu tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Metode ini pun digunakan sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan kerumitan struktur nas.

Sementara itu pada Al-Qur’an terjemahan Kementerian Agama tahun 2012, ayat ini diterjemahkan sebagai berikut: “dan kami turunkan Adz-dzikr (Al-qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.[1]

Nah, disini ada sedikit perbedaan dalam penerjemahan yang ada pada artikel dan terjemahan kementerian agama RI. Pada terjemahan artikel, kata “kepadamu” diletakkan sebelum kata “Al-Qur’an”, sementara itu pada terjemahan Kementerian Agama RI kata “Al-Qur’an” diletakkan sebelum kata “kepadamu”. Disini dapat kita pahami ada perbedaan dalam hal Ta’dim dan Ta’hir, tetapi maksud dan tujuan pada ayat ini tetaplah sama.

Baca Juga: Kritik dan Analisis Terjemahan Teks Keagamaan dalam Media Republika Online

Secara umum penerjemahan Al-Qur’an dibagi menjadi 2 macam yaitu terjemahan harfiyah dan tafsiriyah, tergantung dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan ini identik dengan terjemahan leterlek atau terjemahan lurus yaitu terjemahan yang dilakukan kata demi kata. Muhammad Husayn Al Dhahabi membagi terjemahan harfiyah ini dalam dua bagian, antara lain:[2]

  1. Terjemahan harfiyah bi-mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
  2. Terjemahan harfiyah bighairi al-mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan tadi hanya saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang akan diterjemahkan.

Dan pada terjemahan ayat di atas termasuk kedalam metode terjemahan harfiyah bighairi al-mitsl, karena ada sedikit kelonggaran pada sususan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan seperti kata الذكر yang diterjemahkan Al-Qur’an, yang juga semestinya kata الذكر dalam bahasa Arab berarti pengingat.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya : Dari Abdullah bin Umar Radiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadapnya, ketahuilah setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari : 6605)

Menurut saya terjemahan pada hadits di atas masih ada yang kurang tepat, seharusnya pada terjemahan  أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ  ditambahkan kata “sesungguhnya” kerena أَلَا merupakan huruf tanbih yang fungsinya untuk menenkankan kata selanjutnya, maka terjemahannya menjadi “ketahuilah sesungguhnya”, selanjutnya terjemahan pada kalimat فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ  yang semulanya diterjemahkan “penguasa yang memimpin rakyat banyak“menurut saya sangat laterlek, seharusnya terjemahan yang tepat yaitu “pemimpin negara” karena kepemimpinan dengan jumlah rakyat banyak biasanya identik dengan suatu negara atau bangsa.

Selanjutnya pada kata وَعَبْدُ الرَّجُلِ yang semulanya diterjemahkan “budak seseorang” menurut saya terjemahan ini kurang tepat kerena terjemahan yang tepat ialah ”seorang budak”. Dan di akhir teks hadits tepatnya pada kalimat  فَكُلُّكُمْ رَاعٍ  penerjemah tidak menerjemahkan kalimat tersebut, seharusnya terjemahannya adalah “setiap kalian adalah pemimpin”, lengkapnya “Ketahuilah sesunggunya setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”.

Dan juga pada redaksi dalam hadits ini yang berbeda dengan redaksi yang ada pada artikel lain[3]. Seperti contoh dipenggalan awal hadits ini menggunakan kata “ألا” sementara itu dalam artikel lain kata “الا” tidak disebutkan. Kata “ألا” sendiri memiliki arti ketahuilah, ini merupakan salah satu huruf tanbih.

Dan pada penerjemahan teks hadits di atas menggunakan metode terjemahan semantik karena penerjemahannya lebih berorientasi pada struktur semantis dan sintaksis Bsu. Sedapat mungkin mempertahankan panjang kalimat dan juga terikat pada Bsu. Selain itu juga biasanya penerjemahan semantik lebih kaku, lebih kompleks, lebih terperinci, tetapi lebih pendek dari Bsu.

Sementara itu, Imam Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang sama akan tetapi redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud lebih pendek dibandingkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Terjemahan dari hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud adalah:

Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Abu Dawud).[4]

Disini dapat kita lihat bahwa ada beberapa konteks hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang tidak dicantumkan oleh Imam Abu Dawud seperti:

  1. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin.
  2. Dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin.
  3. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.

Ketiga poin di atas dicantumkan oleh Imam Bukhari dalam kitab nya, akan tetapi tidak dicantumkan oleh Imam Abu Dawud.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, sebagaimana dikutip Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin:

إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه

Artinya: “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya”.

Menurut saya, pada terjemahan  إذا مات العالم terjemahan yang paling tepat adalah “jika seorang ulama meninggal”. Dan pada kalimat لا يسدها yang semulanya diterjemahkan “tidak dapat ditambal” menurut saya pemilihan kata pada terjemahan itu tidak tepat, seharusnya kata yang sesuai adalah “tidak dapat ditutupi”. Kesimpulannya terjemahan yang tepat adalah, “Jika seorang ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tidak dapat ditutupi kecuali oleh generasi penerusnya”.

Penerjemahan pada teks di atas termasuk ke dalam kategori penerjemahan teks keagamaan dan metode yang dipakai dalam menerjemahkan perkataan Ali bin Abi Thalib RA di atas ialah metode penerjemahan kata demi kata. Mengapa dikatakan penerjemahan kata demi kata karena penerjemah hanya mencari padanan kata bahasa sumber dalam bahasa sasaran tanpa mengubah susunan kata dalam terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat terjemahan sama persis dengan susunan kata dalam kalimat aslinya.

Melalui metode ini penerjemahan dilakukan antarbaris. Terjemahan untuk tiap kata berada di bawah setiap bahasa sumber. Urutan kata bahasa sumber dijaga dan dipertahankan. Kata diterjemahkan satu demi satu dengan makna yang paling umum tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Kata yang berkonteks budaya diterjemahkan secara harfiah pula. Metode ini digunakan untuk memahami cara operasi bahasa sumber dan untuk memecahkan kesulitan nas, sebagai tahap awal kegiatan penerjemahan.

Baca Juga: Analisis Penerjemahan Surat An Nur Ayat 4: Hadist Tentang Menyambung Silaturahmi dan Berbuat Baik Kepada Sesama

Maka dari penjelasan di atas, saya berpendapat bahwa penerjemahan pada perkataan Ali bin Abi Thalib RA telah spesifik dan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam penerjemahan teks berbahasa arab dan teks keagamaan.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjemahan pada surah An-Nahl ayat 44 telah spesifik dan lengkap dan metode yang digunakan dalam penerjemahan ayat tersebut menggunakan metode harfiyah. Sementara itu pada penerjemahan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor 6605 telah spesifik dan metode yang digunakan ialah penerjemahan semantik, sedangkan pada terjemahan perkataan Ali bin Abi Thalib telah sesuai dengan kaidahnya dan metode yang digunakan adalah metode kata demi kata.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Terjemah Ihya’ Ulumuddin Jilid V. Semarang : CV Asy-Syifa, 1994
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya : Juz 1-30, Jakarta : Duta Surya, 2012
Muhammad Husayn Al-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al Mufassirin, (tt,tpn 1976), Hal. 29-30
https://mujahiddakwah.com/2021/06/wafatnya-ulama-dan-berkahnya-ilmu/
https://quranhadits.com/quran/16-an-nahl/an-nahl-ayat-44/
https://risalahmuslim.id/quran/an-nahl/16-44/
https://risalahmuslim.id/setiap-kalian-adalah-pemimpin/
https://tafsir.learn-quran.co/id/surat-16-an-nahl/ayat-44
https://umma.id/article/share/id/1002/234217
https://www.republika.co.id/berita/qhkcel430/rasulullah-ingatkan-semua-pemimpin-diminta-tanggung-jawabnya


[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan, Data Surya, 2012, Hal. 370
[2] Muhammad Husayn Al-Dzahabi, At-tafsir Wa Al Mufassirin,(tt,tpn 1976), Hal.29-30
[3] https://risalahmuslim.id/setiap-kalian-adalah-pemimpin/
[4] https://www.republika.co.id/berita/qhkcel430/rasulullah-ingatkan-semua-pemimpin-diminta-tanggung-jawabnya

Tengku Maulana
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Arsyadania Faradisa

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI