Aspek Kepemimpinan Pesantren

Kepemimpinan Pesantren - Pondok Pesantren Ora Aji

Dalam bahasa Inggris, pemimpin disebut leader dari akar kata to lead dan kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership.

Menurut istilah kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas individu atau kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam situasi yang telah ditetapkan.

Dalam Islam, kepemimpinan sering diidentikkan dengan istilah khilafah dan orangnya disebut khalifah, dan ulil amri yang orangnya disebut amir (pemegang kekuasaan).

Bacaan Lainnya
DONASI

Pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan pesantren. Pondok berasal dari bahasa ArabFunduq” yag berarti tempat menginap atau asrama. Sedangkan pesantren berasal dari bahasa Tamil, dari kata santri, diimbuhi awalan pe dan akhiran–an yang berarti para penuntut ilmu.

Menurut istilah, pondok pesantren adalah lembaga pedidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

Di pesantren, kepemimpinan dilaksanakan dalam kelompok kebijakan yang melibatkan sejumlah pihak, di dalam tim program, di dalam organisasi guru, orang tua dan murid (ustadz, wali santri dan santri).

Kepemimpinan yang berbaur ini menjadi faktor pendukung aktifitas sehari-hari di lingkungan pondok pesantren. Kepemimpinan pesantren lebih bersifat individual daripada kolektif, karena model kepemimpinannya masih banyak didasarkan pada keturunan.

Baca juga: Pesantren Sejak Dini? Nggak Salah?

Kepemimpinan pesatren merupakan salah satu dari sekian aspek yag ada dalam pesatren. Oleh karena itu, perlu dijabarkan seluruh aspek tersebut. Minimal ada lima aspek yang dapat ditelaah dari pesantren, antara lain:

1. Aspek Edukatif

Pendidikan pesantren pada umumya bertujuan untuk mencetak ustadz, kyai muda, dan ulama. Namun pesantren juga megkaitkan tujuan memperdalam ilmu agama dengan ketajaman mencerna problem kehidupan dan alternatif pemecahannya.

Kajian keilmuan dan proses pembelajaran tadi dijalankan oleh kyai sendiri atau beberapa ustadz yang sudah diizinkan oleh kyai untuk mengajar.

2. Aspek Kultural

Pesantren sebagai lembaga pedidikan sudah megembangkan suatu kultur yang unik yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Aspek kultural yang dikembangkan di pesantren mencakup konsepsi barakah, tawadhu’, hurmat, ikhlas, haul, ijazah, ridha, dan semacamnya.

Aspek kultural ini sangat mendominasi sistem pesantren tradisional, bahkan seringkali aspek-aspek ini mengalahkan aspek edukasionalnya. Banyak yang mengatakan bahwa untuk sukses di pesantren harus melalui konsepsi-konsepsi tadi.

Sepandai apapun seorang santri, ia tidak akan berguna di masyarakat manakala tidak mendapat barakah dari kyainya. Aspek kultural ini kemudian membentuk ketergantungan dan penghormatan tinggi di kalangan santri kepada kyai.

Baca juga: PBAK Kampus Berbasis Pesantren

3. Aspek Politis

Pesantren juga memiliki sistem politik sendiri. Di tengah-tengah masyarakat, kyai merupakan sosok yang diperhitungkan di masyarakat. Aspek politis nampak pada upaya untuk mempertahankan dan memperkuat tersebut. Contohnya adalah santri pesantren tertentu tidak dibenarkan untuk menimba ilmu di pesantren lain.

4. Aspek Ekonomis

Masyarakat menaruh harapan besar pada pesantren, mereka masih banyak yang berminat memasukkan anaknya di pesantren. Dengan demikian pesantren memiliki nilai ekonomis yang luar biasa. Di sini maka wajar jika kemudian sebagian pesantren mengembangkan bidang usaha.

Seandainya sebuah pesantren memiliki 10.000 santri, maka dapat dikatakan ekuivalen dengan giat coorperation. Dengan tinggalnya para santri di pondok, pesantren bisa mengembangkan usaha katering dengan menu kelas santri dan dengan harga normal.

5. Aspek Kepemimpinan

Secara tradisional kepemimpinan pondok pesantren sangat ditentukan oleh kondisi pesantren itu sendiri. Pada umumnya, khususya pesantren kecil, kepemimpinan pesantren ditentukan oleh kyai atau yang punya pesantren.

Bagi pesantren yang besar kepemimpinan pesantren ditentukan melalui sistem musyawarah. Bahkan ada yayasan pemimpin pesantren tidak ditawarkan secara transaksioal dan demokratis, tetapi sistem monarkis.

Keberlangsungan model kepemimpinan seperti ini kemudian sebagian orang menjuluki pesantren sebagai kerajaan kecil. Hal ini kemudian menciptakan kultur ekslusifitas bahwa orang lain yang bukan keluarga ndalem tidak bisa masuk dalam struktur kepemimpinan. 

Baca juga: IPKOS (Inovasi Produk Kreatif Olahan Sampah) Desa Pesantren

Kepemimpinan pesantren tradisional lebih bersifat individual. Namun pesantren yang sudah modern kepemimpinan yang diterapkan adalah kepemimpinan kolektif. Kepemimpinan kolektif ini terwujud karena pesantren sudah memiliki yayasan yang kepemimpinannya ditawarkan secara transparan dan musyawarah dan pemimpin dipilih secara demokratis.

Penulis: Solikhatul Mubarokah
Mahasiswa SAA UIN Sunan Kalijaga

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI