Bai’ Sharf (Jual  Beli Valuta Asing)

pict from Pixabay.

Pada era globalisasi seperti sekarang ini yang ditandai dengan adanya hubungan antara satu negara dengan negara yang lain, dan semakin ketatnya persaingan dalam hal transaksi ekonomi dan keuangan internasional, valuta asing mempunyai peran penting dan sangat dibutuhkan dalam perdagangan barang serta jasa.

Karena pentingnya valuta asing, maka melakukan perbandingan dari segi hukum Islam dan implementasinya pada perbankan syariah sangat dibutuhkan. Di mana persoalan mendasar valuta asing ini sebenarnya berkaitan dengan penilaian terhadap uang dan fungsinya.

Fungsi utama uang adalah sebagai alat penukar (medium of exchange) dan alat pembayaran atau alat pengukur satuan nilai (standard of value), dan fungsi lain yaitu untuk penyimpanan nilai (store of value).

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Membangun Ekonomi Syariah Islam dengan Teknologi untuk Keberkahan Umat

Valuta asing adalah uang asing yang digunakan dalam perdagangan internasional, Kurs adalah perbandingan nilai tukar uang suatu negara dengan uang negara yang lain. Pasar valuta asing adalah tempat pertemuaan permintaan dan penawaran terhadap valuta asing, serta tidak harus ada tempatnya secara fisik.

Pengertian Sharf (Jual Beli Valuta Asing)

Sharf secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan, sedangkan secara istilah sharf adalah jual beli uang dengan uang, baik sejenis atau berbeda jenis, atau jual beli perak dengan perak, emas dengan emas, emas dengan perak, baik berbentuk kepingan atau mata uang.

Dasar Hukum Sharf

1. Hadis

Hadis yang diriwiyatkan oleh Bukhari, dari Bara’ bin Azib dan Zaid bin Arqam, yang artinya:

“Kami adalah dua orang pedagang pada zaman Rasulullah SAW, kami bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sharf (jual beli mata uang), maka Rasulullah bersabda: “Jika dilakukan dengan tunai, maka tidak apa-apa (boleh), akan tetapi apabila dilakukan dengan penangguhan, maka tidak sah.” (HR. Bukhari)

2. Ijma’ Ulama

Para ulama bersepakat bahwa hukumnya mubah melakukan transaksi jual beli mata uang asing (sharf). Mereka juga mengemukakan syarat pertukaran mata uang adalah jenisnya yang sama baik kualitas maupun kuantitasnya, dan pertukaran harus dilakukan secara tunai. Apabila nilai tukar mata uang yang diperjualbelikan itu adalah sejenis yang sama, maka tidak boleh ada penambahan.

Syarat-Syarat Sharf

Menurut Wahbah al Zuhayly pada bukunya Fiqh Islam wa Adilatuh, akad sharf harus memenuhi empat persyaratan, yaitu:

  1. Valuta asing harus diserahterimakan secara langsung;
  2. Valuta asing yang diperjualbelikan harus sama atau seimbang nilainya;
  3. Tidak diberlakukan pilihan;
  4. Jual beli dilakukan secara kontan.
  5. Penerapan Sharf  dalam Perbankan Syariah

Baca Juga: Upaya Bank Indonesia Mendukung Ekonomi Lokal melalui Produk UMKM

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, bahwa dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pertukaran uang atas dasar akad sharf, ada beberapa hal yang menjadi syarat yaitu:

  1. Bank dapat bertindak sebagai pihak yang menerima penukaran maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada nasabah;
  2. Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta asing) hanya dapat dilkukan dalam bentuk transaksi spot;
  3. Dalam hal transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap mata uang berlainan jenis dalam kegiatan money changer, maka transaksi harus dilakukan secara tunai dengan kurs yang berlaku pada saat transaksi dilakukan.

Berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang atau yang dikenal dengan istilah sharf, diketahui bahwa jual beli tersebut boleh dilaksanakan dengan prinsip:

  1. Tidak untuk spekulasi;
  2. Untuk berjaga-jaga;
  3. Apabila sejenis nilainya harus sama dan tunai;
  4. Apabila lain jenis maka dilakukan dengan kurs;
  5. Transaksi spot diperbolehkan, sedangkan untuk forward, swap, dan option hukumnya adalah haram. Fatwa DSN-MUI membolehkan forward agreement dengan wa’ad.

Perbankan Syariah sebagai lembaga keuangan yang memberikan fasilitas perdagangan internasional, tidak bisa menghindarkan diri dari keterlibatannya pada Pasar Valuta Asing.

Selain itu, transaksi valuta asing adalah produk jasa atau layanan bank kepada nasabahnya agar dapat memenuhi kebutuhan mereka akan valuta asing, dan bagi bank akan mendapatkan fee based income.

Dalam implementasi pada perbankan, prinsip sharf dapat diaplikasikan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang dibolehkan. Pada prinsipnya, aktivitas pada perdagangan valuta asing harus terbebas dari unsur riba, maysir, dan gharar.

Baca Juga: Indonesia akan Dorong Ekonomi Digital di Presidensi G20

Dengan kita memperhatikan prinsip tersebut, dalam pelaksanaannya bank syariah harus memenuhi ketentuan berikut:

  1. Pertukaran harus dilakukan secara tunai (bai’ naqd), di mana masing-masing harus menerima dan menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan atau pada dua hari kemudian untuk transaksi spot;
  2. Harus dihindari jual beli khiyar atau bersyarat;
  3. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dimiliki atau tanpa hak kepemilikan (bai’ fudhuli).

Beberapa tahun terakhir Indonesia dan beberapa negara Asia mulai meninggalkan penggunaan dolar AS dalam melakukan transaksi perdagangan internasional.

Melalui perjanjian LCS (Local Currency Settlement), di mana transaksi perdagangan internasional akan dilakukan dan diselesaikan dengan menggunakan mata uang lokal dari masing-masing negara. Di Indonesia LCS pertama kali dilakukan dengan Malaysia pada tahun 2018, di mana transaksi kedua negara ini dilaksanakan dengan menggunakan rupiah dan ringgit.

LCS diklaim dapat berefek pada stabilisasi pasar keuangan masing-masing negara dan mengurangi ketergantunagn terhadap penggunaan dolar AS.

Menurut saya LCS ini harus lebih dimasifkan lagi sosialisasi penggunaannya kepada para pebisnis dan masyarakat luas guna mendapatkan keuntungannya, karena diantara keuntungan penggunaan LCS adalah:

  1. Mengembangkan pasar mata uang regional yang akan membuat terbukanya pasar mata uang di luar daripada dolar AS;
  2. Mengurangi ketergantungan akan penggunaan terhadap dolar AS dan stabilisasi nilai tukar rupiah, di mana ketergantungan amat dirasakan pada saat terjadinya guncangan di pasar keuangan global;
  3. Biaya kuotasi akan lebih efisien dan berkurang baik untuk nasabah atau pebisnis.

Penulis: Rifka Rahma Aulia
Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullan Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI