Dilansir dari video kanal YouTube resmi, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada tanggal 19 April 2025 menyebut bahwa Indonesia tengah menuju puncak bonus demografi yang diperkirakan berlangsung pada rentang tahun 2030 hingga 2045.
“Indonesia akan mendapatkan puncak bonus demografi di tahun 2030 sampai tahun 2045, sebuah kondisi yang terjadi hanya satu kali dalam sejarah peradaban sebuah bangsa.” Ucap Gibran dalam kanal youtubenya.
Namun, benarkah Indonesia akan mampu meraih dan mengoptimalkan potensi bonus demografi pada tahun tersebut?
Bonus demografi merujuk pada kondisi ketika mayoritas penduduk berada dalam usia produktif, menciptakan potensi signifikan bagi percepatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Kelompok usia produktif mencakup individu berusia antara 15 hingga 64 tahun, sedangkan kelompok usia non-produktif terdiri dari anak-anak dan lanjut usia.
Baca juga: Menuju Indonesia Cemas 2045: Menghadapi Tantangan Turunnya Kualiatas Sumber Daya Manusia
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2022 diperkirakan mencapai 275,77 juta jiwa, mengalami peningkatan sebesar 1,13% dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 272,68 juta jiwa.
Jika dilihat dari struktur usianya, sebanyak 69,25% penduduk atau sekitar 190,97 juta jiwa berada dalam kelompok usia produktif (15–64 tahun). Sementara itu, 24% berada dalam rentang usia anak-anak (0–14 tahun), dan 6,74% termasuk lansia berusia 65 tahun ke atas.
Menurut data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia saat ini memiliki peluang untuk mengalami bonus demografi karena jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan dengan usia nonproduktif.
BPS juga memproyeksikan bahwa puncak bonus demografi Indonesia akan terjadi pada periode 2030–2045.
Namun, meskipun data tersebut menunjukkan potensi yang menguntungkan, pemerintah Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar untuk memanfaatkannya secara optimal.
Tantangan utama adalah tingginya angka pengangguran dan rendahnya tingkat pendidikan.
Tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebesar 4,76%, mengalami penurunan dibandingkan Agustus 2024 (4,91%) dan Februari 2024 (4,82%).
Namun, secara absolut, jumlah penganggur justru meningkat sekitar 83 ribu orang (1,11%) dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF), tingkat pengangguran di Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 5,0% pada 2025 dan akan stabil di kisaran 5,1% hingga 2028.
Lebih lanjut, data IMF menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN, yakni sebesar 5,2%, mengungguli Filipina dan Malaysia yang berada di peringkat kedua dan ketiga.
Salah satu faktor dari tingginya angka pengangguran di Indonesia ini dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan.
Baca juga: Menuju Indonesia Emas 2045, Sudah Siapkah Gen Z Menyambutnya
Berdasarkan data terakhir (Desember 2024), sekitar 24,3% dari total 284,4 juta penduduk Indonesia tidak atau belum pernah mengenyam pendidikan formal. Angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan kelompok tingkat pendidikan lainnya.
Secara keseluruhan, struktur pendidikan masyarakat Indonesia masih didominasi oleh lulusan sekolah dasar (SD) sebesar 22,27% dan sekolah menengah (SMP/SMA/SMK) sebesar 35,96%.
Sementara itu, proporsi lulusan perguruan tinggi (D1 hingga S3) hanya mencapai 6,82% dari total populasi.
Meskipun jumlahnya masih relatif kecil, terjadi peningkatan tipis dibandingkan tahun 2022 yang tercatat sebesar 6,41%.
Selain itu, faktor utama tingginya angka pengangguran juga dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia.
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, tercatat 24 ribu pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam periode Januari hingga 23 April 2025.
Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan, mengingat pada Februari 2025, jumlah korban PHK baru mencapai 15 ribu orang.
Artinya, terjadi penambahan sekitar 10 ribu pekerja yang kehilangan pekerjaan hanya dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Menurut statement Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka Gibran mengajak generasi muda untuk melihat diri mereka bukan hanya sebagai penerima bonus demografi, tetapi sebagai pendorong utama kemajuan bangsa.
“Generasi muda memiliki proporsi yang lebih besar, sehingga memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah kemajuan. Ini adalah kesempatan besar bagi kita semua.” Ujar Gibran.
Namun statement itu dibantah oleh Ferry Irwandi yang juga disampaikan melalui video dalam kanal Youtubenya pada tanggal 21 April 2025 sebagai video respon dari video yang diupload oleh Gibran Rakabuming Raka.
“Yang bisa memaksimalkan bonus demografi itu bukan anak muda, tapi pemerintah yang sedang memimpin.” Tegas Ferry Irwandi.
Menurutnya, meskipun anak muda adalah bagian dari usia produktif, tanggung jawab terbesar tetap berada di tangan pemerintah yang sedang berkuasa.
Pemerintah harus menciptakan iklim yang mendukung agar generasi muda bisa berkembang dan berkontribusi maksimal.
Baca juga: Prabowo-Gibran: Melanjutkan Estafet Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045
Berdasarkan proyeksi data, Indonesia diprediksi mencapai puncak bonus demografi pada periode 2030–2045.
Namun, peluang ini tidak akan terwujud secara otomatis diperlukan persiapan serius sejak sekarang agar momentum ini benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal.
Faktor kunci seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan kebijakan ekonomi yang tepat akan menentukan apakah Indonesia berhasil menuai manfaat dari bonus demografi atau justru menghadapi beban demografi.
Pada akhirnya, keberhasilan memanfaatkan peluang ini bergantung pada kebijakan dan kepemimpinan pemerintah, termasuk pemerintahan saat ini di bawah Prabowo-Gibran. Akankah Indonesia benar-benar siap menyambut era emas ini?
Penulis: Firza Tegar Febrian
Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News