Hukum Tidak Berguna dalam Mengurangi Ketidakadilan dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan

Ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan

Ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan terdapat di seluruh dunia dan termasuk juga di Indonesia. Indonesia memiliki HAM dan Undang-undang yang berfungsi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Walaupun begitu, masih ada saja diskriminasi, ketidakadilan, serta kekerasan di Indonesia terutama terhadap perempuan.

Dari saya kecil, saya selalu menemukan 1 hingga 2 berita dari televisi maupun koran mengenai ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang sering saya lihat adalah kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa maupun yang masih di bawah umur.

Perempuan sering dijadikan sebagai objek ketidakadilan serta kekerasan di seluruh dunia dan juga di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh hanya karena adanya perbedaan gender, stereotip, dan patriarki. Perempuan sering diabaikan atau tidak dihargai oleh kaum pria.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Rosa Luxemburg & Marsinah Pejuang Kaum Perempuan: Pendekatan Feminis Marxis

Sering sekali perempuan dilarang untuk berbicara atau berpendapat dan hanya memasak serta mengurusi anak dalam keluarga. Selain itu, terkadang juga perempuan menerima kekerasan fisik, seksual, dan psikologis atau mental.

Permasalahan kekerasan terhadap perempuan sangatlah besar dan sering kita lihat. Terkadang perempuan dijadikan objek pelepasan rasa kesal dan marah oleh pria dan terkadang dijadikan objek dalam aksi seksual. Menurut saya, kekerasan yang terburuk kepada wanita adalah kekerasan seksual.

Mengapa? Karena kekerasan seksual bisa dialami oleh anak perempuan kecil. Kita pasti pernah mendengar dan bahkan masih mendengar permasalahan pedofilia dan aksi pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.

Akibat dari aksi tersebut, banyak korban yang mengalami trauma dan kehilangan harga diri mereka. Terkadang korban tersebut ditertawai, dan dihina oleh orang  lain. Dampak terburuk dari kekerasan seksual adalah aksi bunuh diri oleh korban. Dilihat dari dampak-dampak yang muncul dari aksi kekerasan ini, apakah ada cara untuk menanganinya?

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan RUU PKS (Rancangan Undan-undang Penghapusan Kekerasan Seksual)

Indonesia memiliki beberapa Undang-undang dalam KUHP yang berfokus untuk mengurus permasalahan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Walaupun kita memiliki KUHP, dalam masa pandemi covid ini masih saja ada dan bahkan meningkat aksi kekerasan seksual terhadap anak.

KUHP memiliki sanksi yang berat kepada pelaku pedofilia seperti masuk penjara dengan minimal 3 tahun hingga 10 tahun. Dengan sanksi tersebut, masih saja terjadi pedofilia dan bahkan meningkat.

Selain adanya KUHP (UU nomor 23 tahun 2002)  dalam pemberantasan pedofilia, terdapat beberapa orang mengajukan dan mendukung pembentukan RUU PKS. Tujuan dari RUU PKS adalah memberikan perlindungan korban dan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Baca Juga: Dari Emansipasi sampai Anggapan Bahwa Perempuan Itu Selalu Benar

Walaupun terlihat cantik, ternyata terdapat beberapa yang kurang tepat atau sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini, RUU PKS memiliki peraturan yang ambigu dan bertentang dengan jati diri Indonesia. Jazuli Juwaini mengkritik RUU PKS mengenai peraturan yang dapat menimbulkan tafsiran bebas. Sekarang, RUU PKS diubah menjadi RUU TPKS dengan 43 pasal dari 128 pasal mengenai kekerasan seksual.

Saya yakin bahwa RUU TPKS dapat diterima apabila mereka terus memperbaiki dan terus menyesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila Indonesia. Sudah cukup penjelasan singkat mengenai peraturan dan pembentukan peraturan dalam pencegahan atau pemberantasan ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan. Mari kita menanyakan pada diri kita sendiri.

Apakah peraturan yang sudah dibentuk dapat menangani kekerasan dan ketidakadilan perempuan?

Apakah KUHP dan RUU TPKS dapat memberantas kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia? Dan apakah HAM maupun hak asasi perempuan di Undang-undang dapat memberantas ketidakadilan perempuan? Menurut saya tidak.

Peraturan atau hukum mengenai ketidakadilan dan kekerasan tidak terlalu berguna dalam pencegahan aksi tersebut. Tetapi bukan berarti kita menghapus hukum atau peraturan tersebut. KUHP, HAM, RUU TPKS (apabila diterima) dapat membantu mencegah tetapi hanya dalam skala kecil.

Kita memiliki peraturan, undang-undang, HAM, dan larangan lainnya mengenai hal ini. Larangan dan peraturan tersebut tidak menghasilkan hasil yang memuaskan atau signifikan. Menurut saya, hukuman yang diberikan kurang ekstrim atau menakutkan. Pelaku hanya masuk ke dalam penjara selama 3 hingga 10 tahun saja.

Setelah mereka menjalankan masa hukuman tersebut, mereka dapat melakukannya lagi. Oleh karena itu, mengapa tidak kita memberikan hukuman yang lebih ekstrim daripada hanya memasukkan pelaku dalam penjara.

Baca Juga: Mengevaluasi Akses, Peran & Kontrol Perempuan dalam Seluruh Aspek Kehidupan

Hukuman tersebut dapat berupa pemandulan atau bahkan “pemotongan” alat seksual pelaku. Hal tersebut dapat dikatakan melanggar nilai Pancasila, oleh karena itu ditiadakan hukuman seperti itu. Apabila hukuman yang ekstrim tidak bisa dibentuk, mengapa tidak kita memberikan informasi atau pendidikan kepada setiap anak-anak mengenai permasalahan ini?

Contohnya, memberikan informasi atau pendidikan mengenai perbedaan antar sesama agar mereka mengerti, menerima, dan menghargai perbedaan gender maupun budaya. Apabila mereka mengerti, menerima, dan menghargai perbedaan gender, ketidakadilan terhadap perempuan dapat dikurangi ketika mereka sudah besar.

Mengenai permasalahan kekerasan seksual, saya memikirkan satu cara untuk menanganinya. Kita dapat mendidik anak kecil mengenai pubertas, hukum kekerasan seksual, dan dampak dari kekerasan seksual. Pandangan kita, pemikiran kita, dan aksi kita dimulai dari kecil. Apabila kita dapat membekali anak-anak kecil dengan ilmu yang penting, maka kita dapat mengurangi aksi ketidakadilan dan kekerasan terhadap wanita.

Sion Leonardo
Mahasiswa Psikologi UKRIDA

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI