Ketika mendengar kata “hukum yang adil”, sebagian dari kita mungkin langsung teringat pada tumpulnya hukum ke atas, tajam ke bawah.
Kalimat ini sudah lama melekat di benak masyarakat Indonesia dan terus menjadi kritik pedas terhadap wajah hukum kita yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Tapi sebelum terlalu jauh menyalahkan sistem, mari kita bertanya terlebih dahulu: sebenarnya, apa yang dimaksud dengan hukum yang adil?
Keadilan: Bukan Sekadar Soal Hukum
Dalam teori hukum, keadilan adalah pilar utama yang menjadi dasar dibentuknya aturan. Hukum dibuat untuk menciptakan keteraturan, melindungi hak, dan menghukum yang bersalah.
Namun dalam praktiknya, hukum tidak bisa dilepaskan dari manusia—baik yang membuat, menafsirkan, maupun menegakkan nya.
Maka, keadilan pun akhirnya menjadi relatif, tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan, bagaimana hukum ditegakkan, dan siapa yang mengaksesnya.
Adil bukan berarti semua orang diperlakukan sama, tapi semua orang mendapatkan haknya secara proporsional.
Seorang anak miskin yang mencuri karena lapar tentu tidak bisa diperlakukan sama dengan koruptor yang mencuri ratusan miliar untuk memperkaya diri. Namun ironisnya, realitas seringkali menunjukkan hal yang sebaliknya.
Baca juga: Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan Etika
Ketimpangan Akses terhadap Hukum
Salah satu akar masalah ketidakadilan hukum di Indonesia adalah ketimpangan akses terhadap sistem hukum itu sendiri. Hukum, idealnya, berlaku setara bagi semua warga negara tanpa memandang status sosial dan ekonomi.
Namun dalam kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memahami hak hukumnya, apalagi mengakses bantuan hukum yang memadai.
Proses hukum yang kompleks, biaya yang tinggi, serta minimnya pendampingan membuat masyarakat miskin berada di posisi yang sangat rentan.
Mereka yang berasal dari kelompok ekonomi lemah sering kali menjadi korban kriminalisasi, bahkan untuk perkara yang tergolong sepele.
Kita tentu masih ingat kasus-kasus seperti pencurian sandal jepit, ayam, atau makanan karena lapar, yang justru diseret ke meja hijau dan divonis penjara.
Hal ini sangat kontras dengan nasib para pelaku kejahatan berdasi koruptor, penyeleweng dana publik, hingga pelaku pencucian uang yang justru bisa memperoleh berbagai keringanan hukum.
Mulai dari vonis ringan, remisi besar-besaran, hingga alasan kesehatan yang dijadikan celah untuk menghindari hukuman seadil-adilnya.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah hukum benar-benar menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Ataukah hukum hanya menjadi alat kuasa bagi mereka yang mampu membeli keadilan? Ketika hukum lebih mudah diakses oleh yang berduit, maka rasa keadilan pun akan semakin jauh dari rakyat kecil yang sebenarnya paling membutuhkannya.
Penegakan Hukum yang Selektif
Isu lain yang juga menghambat terciptanya keadilan hukum adalah penegakan yang tidak konsisten. Banyak kasus hukum yang tidak ditindaklanjuti karena pelakunya memiliki posisi atau relasi dengan pihak berkuasa.
Di sisi lain, kasus serupa dengan pelaku yang “biasa saja” bisa langsung diproses secara cepat. Fenomena penegakan hukum yang tebang pilih ini menjadi salah satu alasan utama mengapa kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum semakin rendah.
Ketika rakyat melihat bahwa hukum bisa dibeli, maka akan muncul rasa apatis dan pesimisme: Buat apa taat hukum kalau yang punya kuasa bisa seenaknya?
Padahal, dalam negara hukum yang ideal, semua orang seharusnya sama di mata hukum, tanpa pandang bulu. Hukum harus berdiri netral, tidak berpihak pada siapa pun kecuali kebenaran itu sendiri.
Masalah di Hulu: Politik Hukum
Jika ditarik lebih jauh, akar dari ketidakadilan hukum di Indonesia terletak pada politik hukum, yakni arah, niat, dan kepentingan di balik penyusunan dan implementasi hukum.
Ketika proses legislasi lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan elit atau kelompok tertentu, maka hukum kehilangan sifat universalnya dan berubah menjadi alat kekuasaan.
Ini menjadikan keadilan cacat sejak dalam rancangan. Masalah diperparah oleh lemahnya sistem pengawasan terhadap aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Praktik suap, konflik kepentingan, hingga intervensi politik masih kerap mencemari proses hukum yang seharusnya independen.
Hukum pun kehilangan marwahnya di mata masyarakat. Oleh karena itu, mewujudkan hukum yang adil tidak bisa hanya berhenti pada wacana.
Dibutuhkan reformasi menyeluruh, baik pada tataran regulasi, kelembagaan, hingga integritas moral individu yang menjalankan hukum itu sendiri. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi simbol tanpa substansi keadilan.
Hukum yang Adil Bukan Mimpi
Namun di balik semua pesimisme tersebut, kita juga tidak boleh kehilangan harapan. Masih banyak hakim yang jujur, pengacara publik yang berani, serta aktivis hukum yang terus memperjuangkan keadilan untuk kelompok rentan.
Perjuangan ini memang tidak mudah, tapi tetap harus dilanjutkan. Hukum yang adil bukan utopia. Ia bisa dicapai ketika ada keberanian untuk membongkar sistem yang korup dan keberpihakan nyata terhadap masyarakat kecil.
Kuncinya ada pada kesadaran kolektif kita sebagai warga negara untuk terus kritis, peduli, dan berani menyuarakan kebenaran.
Kita juga perlu mendorong literasi hukum di kalangan masyarakat, agar setiap warga tahu hak dan kewajibannya.
Semakin paham rakyat terhadap hukum, semakin kecil peluang bagi oknum untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Peran Media dan Teknologi
Di era digital seperti sekarang, media sosial dan jurnalisme warga menjadi alat penting untuk mengawasi penegakan hukum.
Banyak kasus yang sebelumnya gelap atau terabaikan akhirnya mendapatkan perhatian publik berkat viral di media sosial.
Tekanan publik pun memaksa aparat untuk bertindak lebih hati-hati dan transparan. Namun tentu, ini bukan solusi utama.
Hukum yang adil tidak boleh bergantung pada viralitas atau empati massa. Ia harus berjalan sistematis, berlembaga, dan berpijak pada prinsip keadilan yang menyeluruh.
Baca juga: Dinamika Hukum di Indonesia: Bagaimana Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Mengubah Arah Keadilan?
Penutup
Sebagai warga negara, kita berhak mendapatkan perlakuan hukum yang adil dan setara. Hukum tidak boleh jadi alat kekuasaan, apalagi senjata untuk menekan yang lemah.
Maka perjuangan untuk menciptakan sistem hukum yang adil adalah tanggung jawab bersama, baik pemerintah, lembaga hukum, maupun masyarakat sipil.
Meski jalan ke sana masih panjang, bukan berarti kita harus menyerah. Keadilan tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan meski perlahan, asal terus bergerak.
Hukum yang adil mungkin belum sepenuhnya jadi kenyataan hari ini.
Tapi selama masih ada suara yang berani bersuara dan rakyat yang berani menggugat ketidakadilan, kita masih punya harapan untuk mewujudkannya.
Penulis: Samsul Arifin
Mahasiswa Teknik Mesin, UM Surabaya
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News