Jarh wa Ta’dil

jarh wa tawil

A. Pendahuluan

Hadis sudah memiliki kedudukan yang tinggi sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Berhujjah dengan hadis(hadis yang shahih) juga tidak lagi diperselisihkan oleh para Ulama. Karena hadis sendiri adalah peninggalan yang diwariskan kepada umat Islam oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sendiri.

Dalam menentukan kesahihan sebuah hadis perlu kajian yang sangat panjang dan tidak sederhana. Pasti memiliki jarak yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah SAW hingga adanya masa pembukuan suatu hadis pada masa tabi’in-tabi’in.

Dalam ilmu hadis, kita tidak bisa menyatakan bahwa semua hadis memiliki kriteria yang shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Mungkin banyak hadis yang kita terima tapi ternyata hadis tersebut tidak berkriteria shahih.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam ulumul hadis sendiri, kriteria hadis yang shahih sudah ditetapkan, yakni: sanadnya harus bersambung, para perawi bersifat adil dan terpercaya, para perawi memiliki ingatan yang kuat, terhindar dari keraguan, serta terhindar dari kecacatan.

Tapi bagaimana kita mengetahui keadaan para perawi bahwa mereka orang-orang yang adil dan jujur? Bagaimanakah kita mengetahui kredibilitas orang-orang yang sudah wafat? Bagaimana juga kita mengetahui bahwa mereka memiliki ketersambungan sanad atau memiliki ikatan guru dan murid? Dan bagaimana kita bisa mengetahui kriteria sebuah hadis?

Pada zaman kontemporer ini banyak sekali muncul hadis-hadis yang dhaif atau hadis palsu. Bukan maksud penulis untuk menjelek-jelekan tapi bahkan banyak para pemuka agama yang menyampaikan suatu hadis tetapi mereka tidak meneliti terlebih dahulu kesahihan hadis tersebut.

Banyak terjadi penyebaran hoax atau berita palsu dan mengatas namakan sebuah dalil. Karena pada zaman modern ini masyarakat sangat mudah terbawa arus atau sebuah penyampaian suatu ilmu yang itu belum tentu benar.

Islam juga mengajarkan kita agar lebih berhati-hati dalam mengolah atau menelan sebuah informasi, karena jika terjadi sebuah kesalah pahaman akibat informasi yang palsu, maka itu bisa menyebabkan terjadinya perpecah belahan.

Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk meneliti lebih dahulu kesahihan suatu hadis. Dalam kajian ilmu Hadis ada ilmu yang disebut ilmu jarh wa ta’dil, yaitu ilmu yang mempelajari cacat atau tidaknya seorang yang menyampaikan suatu hadis atau informasi dari Rasulullah.

Ilmu jarh wa ta’dil sangat penting bagi kita untuk mengetahui nilai apakah Rijal dalam sanad tersebut mengandung kecacatan atau tidak. Sehingga dengan mempelajari ilmu tersebut kita bisa mengetahui kesahihan atau lemahnya suatu hadis dan terhindar dari informasi palsu atau hadis-hadis palsu yang beredar.

B. Pembahasan

Pengertian singkat ilmu ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang mempelajari tentang para perawi hadis dari segi yang menunjukan keadaan mereka, baik keadaan yang mencacatkan atau keadaan yang membersihkan mereka dengan lafaz tertentu serta menerima atau menolak periwayatan mereka.

Ilmu jarh wa ta’dil sendiri merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang dipelajari agar bisa mengetahui keshahihan hadis serta keadaan para perawi-perawinya agar bisa diterima atau ditolaknya suatu hadis.

Dalam ilmu hadis, kita tidak bisa menyatakan bahwa semua hadis memiliki kriteria yang shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Mungkin banyak hadis yang kita terima tapi ternyata hadis tersebut tidak berkriteria shahih.

Dalam ulumul hadis sendiri, kriteria hadis yang shahih sudah ditetapkan, yakni: sanadnya harus bersambung, para perawi bersifat adil dan terpercaya, para perawi memiliki ingatan yang kuat, terhindar dari keraguan, serta terhindar dari kecacatan.

Tapi bagaimanakah kita mengetahui keadaan para perawi bahwa mereka orang-orang yang adil dan jujur? Bagaimanakah kita mengetahui kredibilitas orang-orang yang sudah wafat? bagaimana juga kita mengetahui bahwa mereka memiliki ketersambungan sanad atau memiliki ikatan guru dan murid? Dan bagaimana kita bisa mengetahui kriteria sebuah hadis?

Ilmu jarh wa ta’dil sudah muncul sejak dahulu, dengan seiring berjalanya perkembangan terhadap periwayatan dalam Islam, ilmu ini memerlukan ketelitian dan kajian yang panjang. Untuk mengetahui kesahihan hadis kita perlu mengetahui keadan perawi-perawinya.

Hal inilah yang membuat para ahli ilmu dapat menentukan mana yang dapat diterima periwayatannya dan ditolak periwayatannya. Oleh karena itu dalam ilmu jarh wa ta’dil ini para ulama meneliti keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah sertaa sosial mereka, meneliti kekuatan hafalan mereka, kecerdasan para perawi, ikatan guru dan murid, serta pengakuan atau penilaian terhadap si perawi dari orang-orang yang adil .

Sangat penting untuk mengetahui keadaan masing-masing perawi pada sanad suatu hadis. Jika sanad suatu hadis saja sudah cacat, maka matan dan hadis tersebut dapat dipastikan tidak shahih. Tidak bisa sembarang perawi kita terima sanadnya jika kita belum meneliti keadaan para perawi tersebut.

Ibaratkan sebuah novel yang ditulis, jika dalam novel tersebut tidak tertera nama sang penulis bagaimana kita bisa meyakini bahwa novel tersebut adalah karya si penulis, bisa saja novel tersebut karya tulisan orang lain atau plagiasi dari karya orang lain. Kita harus mengetahui dahulu riwayat ilmiah penulis, karya-karya lain si penulis, sehingga kita bisa mengetahui novel tersebut adalah karya si penulis.

Bagi orang yang ingin meneliti dan menyimpulkan kredibilitas seorang perawi, seorang peneliti haruslah menguasai seluk beluk ilmu jarh wa ta’dil atau ilmu yang berkaitan dengan ilmu hadis. Mengingat pekerjaan jarh wa ta’dil ini sangat rawan, karena menyangkut nama baik seorang perawi dan kehormatan para perawi yang menentukan diterima atau ditolaknya sebuah hadis.

Bagi kritikus sendiri itu memiliki beberapa kriteria yang harus terpenuhi, di antaranya; berilmu luas, jujur, wara, bertaqwa, terhindar dari sifat fanatik terhadap sebagian perawi atau suatu golongan, serta harus mengetahui sebab kecacatatan seseorang ataupun sebab ditetapkannya seseorang yang adil, dan juga harus cermat dan teliti ketika meneliti seorang perawi. Jika tidak memenuhi kriteria atau sifat-sifat ini maka penilaianya tidak dapat diterima.

Dalam melakukan jarh wa ta’dil akan terungkap kekurangan dan aib para perawi, sehingga apa bolehkah kita mempelajari ilmu jarh wa ta’dil ?

Menurut al-Nawawi dalam kitabnya Riyadh al-Shalihin, al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, serta beberapa ulama lainnya menyatakan bahwa ghibah seseorang terhadap orang lain baik yang telah meninggal maupun masih hidup diperbolehkan selama untuk syara atau kepentingan syariat.

Oleh karena itu ulama memperbolehkan kita untuk mempelajari ilmu jarh wa ta’dil, dengan syarat untuk menjaga ketetapan syariat dalam agama Islam dan bukan untuk menjelek-jelekan perawi.

Namun hal tersebut tidak boleh disalahgunakan, karena membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal itu tidak boleh dan diharamkan. Karena ketika orang sudah meninggal disitulah dia mempertanggung jawabkan semua perbuatannya di dunia.

Oleh karena itu dalam ilmu jarh wa ta’dil ada batasan dalam memberikan kritik, tidak boleh melebih-lebihkannya, tidak boleh memfitnah atau memberikan penilaian palsu dan juga tetap menjaga nama baik para perawi.

Kita harus memahami ada kalanya jarh dan ta’dil itu jelas perinciannya atau menjelaskan sebeb dan penyebab penilaiannya, atau disebut mufassar. Adapun sebaliknya yang tidak menjelaskan sebab-sebabnya disebut mubham.

Ada juga beberapa sebab yang membuat perawi timbul kecacatan, seperti bid’ah, yaitu keluar dari ajaran Islam, kemudian adanya kekeliruan dalam periwayatan, menyalahkan perawi yang lebih tsiqot, identitas perawi tidak dikenal, dan juga perawi yang sanadnya terputus.

Sebab-sebab diatas dapat menyebabkan tidak shahih atau lemahnya suatu hadis. Munculnya sebab-sebab diatas dikarenakan adanya pengakuan dari orang yang hidup semasanya dan penelitian yang sudah terlebih dahulu dilakukan.

Terbukti bahwa penelitian ilmu jarh wa ta’dil memiliki kajian yang panjang dan rumit. Harus teliti, cermat dan jujur, karena jika kita salah dalam mengkritik atau menilai seorang perawi maka itu akan berdampak besar bagi sebuah hadis dan hadis-hadis lainnya yang diriwayatkan oleh perawi yang sama.

Penting bagi kita untuk mempelajari ilmu jarh wa ta’dil, agar kita terhindar dari kesalahpahaman hadis-hadis palsu yang beredar. Tetapi dengan syarat yang sudah dijelaskan di atas dan dengan arahan orang yang lebih mengerti dan memahami ilmu jarh wa ta’dil agar tidak menyimpang dari kaidah-kaidah jarh wa ta’dil. Pentingnya ilmu jarh wa ta’dil ini menyangkut hukum dalam islam, jikalau ada seseorang yang berhujjah dengan hadis palsu, maka ditakutkan itu akan menimbulkan sebuah keburukan terhadap dirinya maupun orang lain. Karena hadis palsu atau hadis yang dhaif (sangat lemah) tidak boleh dijadikan dalil/hujah dan hukum sebuah syariat.

Penutup

Ilmu jarh wa ta’dil sangatlah penting untuk menemukan keshahihan hadis dari Nabi. Sangat penting bagi kita untuk mempelajari ilmu ini, agar kita tetap menjaga kesucian dan kemurnian hadis, dan juga agar tidak menyampaikan suatu hadis tanpa dasar-dasar ilmu Hadis yang ada.

Dikarenakan pada zaman ini sangat banyak pemalsuan hadis, dan itu menyebabkan hilangnya keauntetikan sebuah hadis yang menjadi hujjah dan hukum bagi agama Islam. Ilmu jarh wa ta’dil diartikan sebagai ilmu yang menerangan tentang kualitas perawi dari segi kecacatannya dan keadilannya dengan menggunakan lafaz khusus untuk menolak atau menerima mereka.

Syarat dan kaidah-kaidah dalam ilmu jarh wa ta’dil juga harus kita perhatikan secara teliti. Sama seperti halnya menafsirkan Al-Qur’an, meneliti sebuah hadis pun haruslah cermat dan berhati-hati, karena keduanya merupakan tumpuan hujjah dan hukum syariat Islam.

Hal tersebut untuk menghindari adanya kesalah pahaman dan kebutaan kita terhadap agama. Diantara pentingnya kita mempelajari ilmu jarh wa ta’dil adalah agar kita dapat mengetahui kualitas hadis tersebut, kualitas sanad, keadaan dan agar kita mengetahui antara hadis yang bersandar langsung kepada nabi dan hadis yang dianggap palsu.

Faedah ilmu Jarh wa ta’dil ini untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi diterima atau ditolak. Apabila seorang perawi dijarh oleh para ahli ilmu sebagai rawi yang cacat, maka perwiayatannya tersebut ditolak, dan sebaliknya apabila seorang perawi dipuji adil dan tidak ada kecacatan pada perawi maka periwayatannya diterima, dengan syarat kaidah-kaidah yang lain juga terpenuhi.

Penulis: Muhammad Khalilul Majid
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI