Pendidikan Inklusif dan Anak Berkebutuhan Khusus

Pendidikan
Sumber : https://www.kajianpustaka.com/2021/06/pendidikan-inklusif-pengertian-prinsip.html

Pendidikan inklusif sendiri merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang disatukan dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan masing-masing.

Menurut Direktorat Pembinaan SLB (2007), pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak belajar bersama-sama di sekolah umum dengan memperhatikan keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal.

Semangat pendidikan inklusif adalah memberikan memberi akses yang seluas-luasnya kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk mempereroleh pendidikan yang bermutu dan memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: PPK HMP Pendidikan Geografi Atlantis Gelar Peningkatan Kapasitas Desa Paseduluran Melalui Digitalisasi Sistem Evakuasi Bencana Erupsi Merapi Ramah Difabel

Dalam pendidikan inklusif ini, seluruh anak perempuan dan laki-laki harus menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah secara gratis setara dan berkualitas sehingga berjuang pada hasil pembelajaran yang relevan dan efektif.

Pendidikan inklusif saat ini menjadi isu yang sangat menarik di tengah-tengah pendidikan di negara kita, karena pendidikan inklusif memberikan perhatian kepada peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai pada sekolah umum atau reguler.

Anak berkebutuhan khusus tentunya harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak bermutu. Menurut Direktorat Pedidikan anak berkebutuhan khusus yang harus mendapatkan layanan pendidikan inklusif di antarnya:

1. Visual Impaiment/ Tunanetra

Istilah anak tunanetra secara mendasar dapat diartikan sebagai anak-anak yang mengalami gangguan pada fungsi penglihatan. Guru perlu menggunakan media pembelajaran yang mirip dengan bentuk nyata, sehingga anak tunanetra dapat memanfaatkan indera perabanya untuk membantu mendapatkan informasi dalam kegiatan belajarnya. 

Namun demikian, anak tunanetra juga perlu pengalaman nyata untuk memperluas pengetahuan dan mempermudah proses belajar seperti halnya anak-anak pada umumnya. Lebih daripada itu, dalam lingkungan masyarakat anak-anak perlu bantuan aksesibilitas untuk dapat memanfaatkan fasilitas umum yang tersedia. 

Sebagai contoh trotoar atau lantai yang dilengkapi dengan bidang timbul yang dapat memudahkan mereka untuk mengidentifikasi arah mereka berjalan.

2. Heaving Impaiment/ Tunarungu

Tunarungu dapat diartikan sebagai gangguan pendengaran, di mana anak yang mengalami ketunarunguan adalah menglami permasalahan pada hilangnya atau berkurangnya kemampuan pendengaran. 

Andreas Dwijosumarto menyatakan bahwa anak yang dapat dikatakan tunarungu jika mereka tidak mampu atau kurang mampu mendengar. Menurutnya, tunarungu dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli dan kurang dengar. 

Terdapat empat klasifikasi anak tunarungu yaitu tunarungu ringan, tunarungu sedang, tunarungu berat, dan tunarungu sangat berat. Berdasarkan permasalahan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya anak tunarungu tidak mengalami hambatan pada perkembangan intelegensi dan aspek-aspek lain, selain yang berkaitan dengan pendengaran dan komunikasi

Oleh karena itu, dalam segi pelayanan pendidikan anak tunarungu memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Namun daripada itu, guru memerlukan metode khusus dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak tunarungu. 

Guru harus mampu berbicara dengan mimik mulut yang jelas, sehingga meskipun tanpa mendengar anak tunarungu dapat mencerna informasi yang disampaikan. Lebih daripada itu, guru juga harus mampu menggunakan bahasa isyarat atau bahasa tubuh untuk membantu proses penyampaian informasi.

Baca Juga: Pandangan Positif Terhadap Anak Disabilitas

3. Tunawicara

Tunacwicara dapat diartikan anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan bicaranya secara normal atau kemampuan bicaranya tidak terbentuk. Namun, guru memerlukan metode khusus dalam metode pembelajarannya yaitu dengan menggunakan sistem bahasa tulisan agar anak tunawicara dapat mengerti dan bisa merespon kembali apa yang telah disampaikan oleh guru.

4. Mentally Retarded/ Tunagrahita

Tunagrahita merupakan istilah yang disematkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami permasalahan seputar intelegensi (IQ di bawah 35). Dalam proses pembelajaran, anak tunagrahita memerlukan pendekatan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya karena kecepatan proses penerimaan pengetahuan tentu lebih lambat. 

Hal tersebut tentu hanya berlaku bagi anak tunagrahita yang memang masih memiliki kemampuan untuk menerima pelajaran, maka perlunya mereka mendapat latihan-latihan bina diri untuk dapat membantu dirinya lebih mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

5. Hysical And Health Impairement/ Tunadaksa

Tunadaksa  berasal dari kata “Tuna“ yang  berarti  rugi,  kurang  dan “daksa“ berarti  tubuh.  Dalam  banyak  literatur  cacat  tubuh  atau  kerusakan tubuh  tidak  terlepas  dari  pembahasan  tentang  kesehatan  sehingga  sering dijumpai  judul  “Physical  and  Health  Impairments“  (kerusakan  atau  gangguan fisik  dan  kesehatan). 

Hal  ini  disebabkan  karena  seringkali  terdapat  gangguan kesehatan. Sebagai  contoh, otak  adalah  pusat  kontrol  seluruh  tubuh manusia.

Apabila  ada  sesuatu  yang  salah  pada  otak  (luka  atau  infeksi),  dapat mengakibatkan  sesuatu  pada  fisik/ tubuh,  pada  emosi  atau  terhadap  fungsi-fungsi  mental,  luka  yang  terjadi  pada  bagian  otak  baik  sebelum,  pada  saat, maupun sesudah  kelahiran, menyebabkan retardasi dari mental  (tunagrahita).

Kondisi  kelainan  pada  fungsi anggota tubuh atau  tuna  daksa  dapat  terjadi  sebelum  anak  lahir  (prenatal), saat kelahiran  (neonatal),  dan setelah anak lahir  (postnatal).

Kelainan  fungsi  anggota  tubuh  atau  ketunadaksaan  yang  terjadi sebelum  bayi lahir atau  ketika  dalam  kandungan  di antaranya  dikarenakan  faktor  genetik    dan kerusakan  pada  sistem  syaraf  pusat,  faktor  lain  yang  menyebabkan  kelainan pada  bayi  selama  dalam  kandungan  adalah Anoxia  Prenatal  hal  in  disebabkan pemisahan  bayi  di  plasenta,  penyakit  anemia,  kondisi  jantung  yang  gawat, shock, percobaan  abortus,  gangguan  metabolisme  pada  ibu,  faktor  rhesus.

Baca Juga: Tekad Kuat Penyandang Difabel Sebagai Ajang Pembuktian Diri

6. Behavioral (Emotionally) Disorder/ Tunalaras

Anak tunalaras merupakan konteks dengan batasan-batasan yang sangat rumit tentang anak-anak yang mengalami masalah tingkah laku. Istilah tunalaras itu sendiri belum dapat diterima secara umum karena batasan-batasan penyebutan anak tunalaras yang kurang valid.

Pada  intinya  sebutan  anak  tunalaras merupakan  gangguan  perilaku  yang menunjukan suatu        penentangan yang terus menerus pada masyarakat,   merusak   diri   sendiri, serta  gagal  dalam  proses  belajar  di sekolah.

Dalam konteks pendidikan khusus di Indonesia menyebut anak tunalaras mengalami permasalahan pada perilaku, sosial, dan emosional. Anak-anak tunalaras memerlukan layanan konseling dan rehabilitasi untuk menerapkan latihan-latihan secara khusus agar dapat berperilaku sesuai dengan norma dan aturan sosial dalam bermasyarakat

7. Learning Disabilities/ Berkesulitan Belajar

Sebenarnya anak-anak yang berkesulitan belajar adalah anak-anak yang mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademiknya yang disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti disfungsi minimal otak yang prestasi belajar tidak sesuai dengan potensi yang sebenarnya. Dan untuk mengembangkan potensinya secara optimal mereka memerlukan pendidikan secara khusus tentunya.

8. Lamban Belajar

Lamban belajar adalah anak yang kurang mampu menguasai pengetahuan dalam batas waktu yang telah ditentukan dikarenakan ada faktor tertentu yang memengaruhi anak tersebut.

9. Autis

Gangguan autisme mempengaruhi kemampuan seseorang dalam bidang komunikasi, perilaku, minat, dan aktivitas, dan salah satunya adalah interaksi sosial. Gangguan interaksi yang sering dijumpai pada seseorang yang menderita gangguan autisme biasanya adalah menghindari kontak mata.

Anak menolak untuk berinteraksi dengan orang lain dan cenderung menghindar karena lebih tertarik berinteraksi dengan obyek. Anak penderita autisme terbiasa sibuk dengan dirinya sendiri ketimbang bersosialisasi dengan lingkungan.

10. Memiliki Gangguan Motorik

Memiliki gangguan motorik adalah anak yang sering memperlihatkan adanya overflow movement atau gerakan yang berlebihan, kurang koordinasi dalam aktivias motorik, kesulitan koordinasi halus, dan sebagainya.

11. Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya.

12. Memiliki kelainan lainnya

13. Tunaganda

Tunaganda diartikan sebagai anak yang mengalami kelainan lebih dari satu jenis kelainan.

Baca Juga: Kekuranganku adalah Kelebihanku

Tujuan Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:

  1. Memberikan kesempatan kepada semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
  2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
  3. Meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan cara menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
  4. Menciptakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. UU Nomor 23/2002 tentang perlindungan Anak, khususnya Pasal 51 yang berbunyi “Anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksessibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa”.

Kelebihan Pendidikan Inklusif

  1. Hak dan kewajiban yang sama dengan peserta didik reguler lainnya di dalam kelas;
  2. Berbagai fasilitas untuk belajar dan mengembangkan diri;
  3. memiliki kesempatan untuk beraktivitas (yang mungkin dapat diikutinya) dan berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak peserta didik reguler;
  4. Kesempatan untuk menjalin persahabatan bersama teman sebaya daan tidak menjadi asing di lingkungannya

Tantangan dari Pendidikan Inklusif

  1. Minimnya jumlah tenaga pengajar atau staf guru pendamping khusus.
  2. Tidak semua guru dan staf di sekolah memahami cara mengajar dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus.
  3. Biaya pendidikan yang relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan sekolah reguler lainnya.
  4. Kemungkinan adanya penolakan dari orang tua atau siswa reguler untuk belajar bersama dengan anak-anak berkebutuhan khusus karena belum adanya keterbukaan pikiran.
  5. Fasilitas yang belum memadai, misalnya terbatasnya buku atau keperluan pembelajaran lain yang menggunakan huruf Braille untuk siswa tunanetra dikarenakan membutuhkan biaya yang sangat mahal.
  6. Adanya risiko bullying atau perundungan dari siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus

Baca Juga: Pandemi dan Mereka yang Terlupakan

Jadi menurut saya pendidikan inklusif sangat penting untuk anak berkebutuhan khusus karena hak untuk belajar dapat terpenuhi dan membangun kepercayaan diri sang anak. tentu saja dengan didampingi oleh orang tua karena masih ada beberapa risiko yang terjadi karena belum adanya keterbukaan pikiran dari orang tua dan peserta didik reguler lainnya.

Penulis: Shahrul Dwi Ananta
Mahasiswa Jurusan S1 Pendidikan Tata Niaga Universitas Negeri Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Rujukan

Haryono, Ahmad Syaifudin, S. W. (2015). Evaluasi Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Pendidikan Unnes, 32(2), 124205.

Herawati, N. I. (2016). Pendidikan Inklusif. Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru, 2(1). http://dx.doi.org/10.1016/j.ocemod.2013.04.010%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.ocemod.2011.06.003%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.ocemod.2008.12.004%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.ocemod.2014.08.008%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.jcp.2009.08.006%0Ahttp://dx.doi

Jauhari, A. (2017). Pendidikan Inklusi Sebagai Alternatif Solusi Mengatasi Permasalahan Sosial Anak Penyandang Disabilitas. IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1), 24–38. https://doi.org/10.21043/ji.v1i1.3099

Supena, A., Nuraeni, S., Soedjojo, R. P., Maret, W., Paramita, D., Rasyidi, C., & C, S. D. (2018). Pedoman penyelenggaraan pendidikan anak usia dini inklusif (guidelines for the implementation of inclusive early childhood education). Direktorat Pembinaan Pembinaan Anak Usia Dini, Direktorat Jendral Pembinaan Anak Usia Dini Dan Pendidikan Masyarakat Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, 21, 30.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI