Peran Hadits dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan

peran hadits nabi

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, belum pernah ditemukan suatu minat dan greget yang menyamai apabila melebihi minat yang pernah ditunjukkan oleh umat islam terhadap hadits.

Sejak awal kemunculannya hingga saat ini, ia merupakan suatu lahan kajian yang sangat menarik. Ini dikarenakan eksistensinya yang vital dalam kehidupan umat Islam.

Sudah banyak komentar mengenai hadits, baik dari kalangan umat Islam maupun non Islam, baik yang membela maupun yang menyerang dan ingin menghancurkannya. Semua itu ternyata semakin menambah semaraknya kajian dan minat terhadap bidang hadits ini.

Yang jelas terlepas dari semua itu, para ulama dari berbagai golongan dan aliran hampir tidak ada perbedaan dalam memandang hadits-hadits Nabi SAW sebagai dasar Syari’at Islam.

Bacaan Lainnya

Mereka menjadikan hadits sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang berkenaan dengan aspek ibadah maupun muamalat dan akhlak. Karena hadits yang berupa perkataan, perbuatan,taqrir, dan sifat Nabi SAW itu secara rinci telah menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara individu,keluarga,masyarakat,maupun negara.

Baca juga: Kedudukan Hadits

Apabila Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum dan mabda’ yang bersifat global serta hanya merinci sebagian hukum yang bersifat juz’I, maka hadits berfungsi sebagai penjabar globalitas Al-Qur’an dan menjelaskan serta merincinya secara lebih detail.

Sebagai sumber ilmu pengetahuan kedua, hadits telah menjadi faktor pendukung utama kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Banyak hadits yang berbicara tentang ilmu terutama ilmu pengetahuan, misalnya hadits tentang mencari ilmu. Demikian pula tentang peradaban misalnya hadits tentang keteladanan Rasulullah SAW dan praktik-praktik ilmiah yang patut dicontoh.

Penemuan ilmiah modern telah banyak membantu kita memahami maksud yang tersembunyi dari hadits, diantaranya isyarat tentang alam dan sejumlah komponennya, berbagai fenomena dan hukumnya. Berdasarkan hal diatas, dalam tulisan ini akan dibahas tentang peranan hadits dalam ilmu pengetahuan.

Sumber ilmu pengetahuan menurut para penganut aliran materialisme adalah terbatas pada materi yang dapat ditangkap oleh panca indera atau hal-hal rasional yang hanya dapat dipahami akal saja.

Baca juga: Urgensi Asbabul Wurud Al Hadits

Ciri yang paling menonjol dari ilmu dalam pengetahuan kontemporer atau pengertian Barat adalah bahwa ia tidak dibangun berdasarkan logika formal atau imajiner atau analogi yang berasal dari Aristotees. Tetapi ilmu dalam pengertian ini dibangun atas dasar observasi dan eksperimen, karena itu dinamai ilmu eksperimental dengan metode yang dinamai metode eksperimental.

Prinsip-prinsip eksperimental ini telah lebih dahulu diakui oleh Rasulullah SAW dalam masalah dunia yang bersifat teknis seperti urusan pertanian,pabrik,kedokteran,dan sejenisnya. Eksperimen yang dianggap bermanfaat menjadi tuntutan syari’at. Sebaliknya eskperimen yang dianggap berdampak negatif, oleh syari’at ditolak.

Apabila kita ingin mengambil suatu contoh perhatian Islam khususnya Rasulullah SAW terhadap ilmu eksperimental, maka ilmu kedokteran adalah yang paling tepat; di dalam ilmu ini sikap Al-Qur’an bersenyawa dengan hadits.

Yusuf Qardhawi memperkenalkan prinsip-prinsip asasi yang dibawa oleh Islam, sebagai fondasi berdirinya suatu ilmu kedokteran yang sempurna.

Pertama, Islam menetapkan nilai tubuh dan hak tubuh atas pemiliknya.

إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap tubuhmu”

Jika tubuh berhak untuk diberi makan bila lapar, diistirahatkan bila capek, dibersihkan bila kotor, maka tubuh pun berhak untuk diobati bila sakit.

Ini artinya hak wajib yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan karena disitu menyangkut hak yang lain, diantarannya hak Allah seperti yang ditekankan pula oleh ajaran isam dan hadits Nabi SAW : “Siapa yang membenci sunnah-ku, maka ia tidak termasuk golonganku.”

Kedua, mengatasi musykilah iman dengan qadar yang oleh Sebagian orang dianggap menafikan berobat dan mencari penyembuhan.

Ketika Nabi SAW ditanyakan tentang obat-obatan yang dipergunakan untuk menyembuhkan dan Tindakan pencegahan dengan pertanyaan “Apakah ia (obat-obat itu) dapat menolak ketentuan Allah?” Beliau menjawab dengan tajam dan gambling, “ia termasuk takdir Allah.” Dengan jawaban ini jelaslah Allah SWT menentukan sebab dan sekaligus penyebab sebagaimana dia pun menentukan bahwa obatnya adalah anu dan anu, dan cara pencegahannya dengan anu dan anu.

Ketiga, Islam membuka pintu harapan untuk dokter-dokter dan untuk orang-orang sakit, mengenai dimungkinkannya penyembuhan dari penyakit apa pun, dan mengubur rasa putus asa yang bisa menghancur jiwa serta menolak pemikiran yang mengatakan adanya penyakit yang tak tersembuhkan. Dalam hubungan ini terdapat hadits dari Abu Hurairah :

مَا أَنْزَلَ دَاءٌ إِلَّا أنْزَلَ لَهُ شِفَاءٌ

“Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan penyembuhnya.” (HR. Al-Bukhari)

Keempat, Islam mengakui adanya sunnatullah dalam penyakit menular. Rasulullah SAW bersabda :

فِرْ مِنَ المَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الاَسَدِ

“Larilah kamu dari penyakit lepra seperti kamu melarikan diri dari singa.”

Yang dimaksud dengan hadits penyakit menular adalah bahwa sesuatu tidak menular dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah dan sunnatullah pada makhluk yang telah ditetapkan-Nya.

Dalam Islam juga telah lebih dahulu mengakui prinsip “kamar sehat” atau “isolasi sehat”. Dalam kasus wabah tha’un (semacam kolera). Rasulullah SAW bersabda :

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلوْا عَلَيْهِ إِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ بِأَرْضٍ فَلَا تَخْرُجُوْا مِنْهَا

“Apabila kalian telah mendengar adanya penyakit tha’un di suatu daerah, jangan kalian masuk ke daerah itu; dan apabila telah terjadi, sedangkan kalian berada di suatu daerah, maka janganlah kalian keluar dari daerah itu untuk melarikan diri daripadanya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Kelima, melakukan perlawanan terhadap apa yang disebut “dokter dalam”, dokter sihir dan dukun serta sejenisnya yang memperdagangkan pekerjaan pengusiran (roh halus), kesambet, dan lain-lainnya yang pada zaman jahiliah mempunyai pasaran luas. Hal ini dibantah Rasulullah SAW, dan beliau menganggapnya sebagai syirik serta mengumumkan perang terhadapnya tanpa ampun. Dan beliau juga tidak memperkenankan jampi-jampi, kecuali dengan menggunakan dzikrullah atau asmaul husna, ini dibenarkan dan terpuji, sebab hal itu hanya sekedar doa. Lebih lanjut Yusuf Qardhawi dalam halal wal-haram mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :

إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang ia haramkan atasmu.” (HR. Bukhari)

Keenam, ucapan,perbuatan,dan pengakuan Nabi SAW merupakan ikatan, baik dalam menunjukkan ke arah pengobatan yang benar, pengobatan yang dilandasi ilmu dan eksperimen, bukan untuk mencelakakan dan mengaku-ngaku. Beliau berobat dan menyuruh pengikutnya berobat, karena Allah yang membuat penyakit juga menciptakan obat. Seperti pada saat itu, Beliau mengutus seseorang untuk menjumpai al-Harits bin Kildah (dokter Arab yang popular dari Tsaqif), seperti yang dikisahkan kepada Sa’ad bin Abi Waqash.

Padahal waktu itu, al-Harits belum diketahui masuk Islam. Atas dasar ini, para ulama berdalil tentang dibolehnya meminta bantuan orang kafir dalam pengobatan, sekalipun tentu jelas diprioritaskan berobat kepada sesama Muslim, lebih-lebih ada hukum syara’ yang membolehkan seorang Muslim berbuka di bulan Ramadhan yang tentu ada sangkut pautnya dengan keterangan dokter.

Ketujuh, dalam hadits Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ تَطَيَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ عَنْهُ الطِّبُّ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Siapa yang melakukan praktik dokter dan dia tidak diketahui identitas kedokterannya (bila terjadi sesuatu), dialah sebagai jaminannya.”

Dengan demikian orang-orang yang mengaku dokter dapat dibersihkan dan kepada mereka ditimpakan tanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat mereka dalam mendiagnosis dan memberi pengobatan. Hadits ini juga memberikan penghargaan kepada orang yang memiliki spesialis dan keahlian.

Baca juga: Urgensi Mempelajari Ulumul Hadits dan Cabang-Cabangnya

Penutup

Dengan tujuh prinsip ini,cukup jelas sikap Rasul terhadap ilmu kedokteran – sikap yang mendahului abad Renaisance di Barat berabad-abad. Di atas prinsip-prinsip inilah,ilmu kedokteran (teoretis dan praktis) ditegakkan di dunia Islam. Kitab-kitab kedokteran Islam telah dijadikan rujukan di Eropa selama berabad-abad. Di antara kitab-kitab itu adalah al-Qanun dari Ibn Sina,al-Hawidari al-Razi,dan al-Kulliyat dari Ibu Rusyd.

Selain mengandung beberapa prinsip dalam ilmu pengetahuan. Hadits juga memuat tentang teori ilmu pengetahuan, salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwasanya Rasulullah SAW. pernah ditanya kemana tenggelamnya benda-benda angkasa yang tenggelam itu,dan darimana terbitnya benda-benda angkasa yang terbit itu?

Nabi SAW menjawab : Ia tetap berada pada tempatnya. Tidak berpindah dan bergeser. Ia tenggelam bagi satu kaum dan terbit bagi kaum yang lain. Ia tenggelam dan terbit pada suatu kaum (dan dalam waktu bersamaan) satu kaum mengatakan ia tenggelam sementara kaum yang lain mengatakan ia terbit.

Hadits,sebagaimana juga Al-Qur’an,mengandung beberapa teori,prinsip,sendi,dan rambu dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. Hal ini menunjukkan bahwa hadis selalu up to date dalam setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Penulis: M. Ali Rohmatulloh
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim Malang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses