Kedudukan Hadits

Penulis: Nailiatuz Zakiyah
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulan Malik Ibrahim Malang

A. Pendahuluan

Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar ash Shiddiq.

Sedangkan hadits baru di tulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz (abad ke 2). Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global dan tidak jelas maknanya atau pengertiannya, sehingga seringkali seorang mufassir memakai hadis untuk mempermudah pemahamannya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Hadits juga merupakan berita turun menurun secara khusus yang berasal dari Rasulullah SAW. Maka dari itu, eksistensi hadits sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an yang tak akan terlepas dari adanya ilmu yang mendukungnya yaitu ilmu ulumul hadit. Ilmu hadits merupakan ilmu mengenai segala sesuatu tentang sebuah hadits dan yang berkaitan dengannya.

Hadits berbeda dengan Al-Qur’an, untuk Al-Qur’an semua periwayatnnya berlangsung secara mutawatir, sedangkan hadits sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian berlangsung secara ahad.

Dari beberapa pemasalahan hadits maka muncullah berbagai macam kritikan hadits dengan hadirnya metodologi kritik hadits atau metodologi penelitian sebuah hadits, ilmu hadits tradisi penelitian seperti ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadits yaitu sanad, matan dan juga rawi.

B. Pembahasan

Istilah-istilah umum dalam ilmu hadits diantaranya adalah : Isnad, sanad, matan, musnad, musnid dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan isnad pada hadits adalah pemulaan hadits yang disandarkan kepada perawinya atau bisa di artikan dengan rangkaian nama-nama rawi di awal hadits sampai pada matan hadits.

Dengan hal ini isnad mempunyai pengertian yang sama dengan sanad menurut istilah yakni sesuatu yang disandari. Kemudian yang dimaksud dengan istilah matan dalam hadits adalah kata-kata hadits yang berada setelah akhir sanad hadits atau (isi teks sebuah hadits).  

Sedangkan musnad dan musnid adalah musnad merupakan nama bagi hadist marfu’ yang sanadnya muttasil atau bersambung, kalau musnid merupakan orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik memiliki pengetahuan tentang ilmu hadits ataupun yang hanya meriwayatkannya saja. Dan Yang dimaksud dengan rawi adalah Seorang yang meriwayatkan sebuah hadits nabi SAW baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau yang lain sebagainya.

Membahas sebuah hadits, para ulama ahli hadits atau muhadditsin dalam berbagai kitabnya mencantumkan berbagai pembahasan seperti pembagian hadits kedalam hadits shahih, hasan dan dha’if, macam-macam pembagian hadits dha’if seperti hadits mursal, muallaq, munqathi’, murharib, muharraf, dan lain sebagainya.

Membahas tentang kaifiah tahamul wa al-ada atau ( cara-cara seorang rawi mendapatkan hadits dan menyampaikannya ), pembahasan tentang jarh wa tai’dil seperti hal nya pembahasan dalam masalah syarat-syarat bagi seorang mujarrih begitu juga dengan mu’addil, dan lain sebagainya, dengan cara mengetahui nama-nama para perawi dan negeri mereka berasal, membedakan rawi yang bersifat tsiqat (kuat) dan yang dhaif atau lemah, dan lain sebagainya.

1. Penelitian matan dengan pendekatan hadits shahih

Apabila terdapat pertentangan dari suatu matan dengan matan hadits lainnya, maka menurut para ukama perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan kongkrit serta teliti, karena Rasulullah tidak pernah dan tidak mungkin melakukan atau berbicara tentang apa yang bertentangan dengan perkataan an perbuatannya yang lain. Hal ini dapat diselesaikan dengan ilmu mukhatalif al-hadits.

Ditinjau dari sedikit atau banyaknya seorang perawi hadits yang menjadi sumber berita, hadits dapat dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

Hadits mutawatir merupakan hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat mereka mustahil berdusta, dari sekelompok orang yang sama dari awal sampai akhir sanad, dengan gambaran bahwa pada setiap tingkatan pada sanad mempunyai jumlah perawi yang terbilang selalu banyak.

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa hadits mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang banyak dalam setiap thabaqahnya yang menurut akal rawi-rawi tersebut mustahil bersepakat untuk melakukan kebohongan.

Hadits mutawatir ini termasuk kedalam hadits yang Qath’I al Tsubut atau bisa dibilang dengan istilah hadits yang sumbernya sudah pasti dari Allah dan juga Rasulullah. Sehingga harus dipercayai dan diyakini kebenarannya tanpa harus melihat keadaan sang perawi.

Beberapa syarat hadits mutawatir yang salah satunya hadits tersebut diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang banyak dalam setia thabaqahnya, jumlah rawi pada setiap thabaqah cenderung banyak.

Perawi dapat disebut masuk akal mustahil berdusta karena para rawi berasal dari berbagai negeri yang berbeda, madzhab dan lainnya dan berita yang mereka riwayatkan dihasilkan dari indera yang mereka miliki.

Kemudian Hadits Ahad berarti diriwayatkan oleh seorang rawi, atau hadits yang didalamnya tidak dipenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Hadits ahad jika dilihat dari segi jumlah rawinya terbagi kedalam tiga bagian, yaitu : Hadits masyhur, Hadits aziz, dan hadits ghaarib.

Jika ditinjau dari segi kualitas sanad hadis terbagi menjadi dua, yaitu : hadits maqbul dan mardud. Hadist maqbul didefinisikan sebagai hadits yang telah sempurna seluruh syarat penerimaannya.

Kemudian hadits mardud secara bahasa bisa diartikan sebagai hadits yang ditolak, yang tidak diterima, atau yang dibantah, atau secara istilah bisa dikatakan hadits yang hilang seluruh syarat-syaratnya atau sebagaiannya.

2. Lalu adakah hadits palsu?

Hadits menempati posisi kedua sebagai sumber pokok setelah al-Qur’an, beberpa perbedaan yang membedakan antara hadits dan al-Qur’an ialah bahwa al-Quran telah dijamin oleh Allah SWT keasliannya, sedangkan hadits tidak, hal ini terbukti dari penyebaran hadits-hadits Maudhu’ atau palsu.

Hadits maudhu’ merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat tertentu sedangkan kenyatannya tidak demikian atau hanya dibuat-buat saja.

Hadits palsu atau Maudhu’ diklaim sudah muncul sejak zaman Nabi SAW, ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan hadits palsu dimulai pada abad pertama hijriyah, terdapat banyak pendapat terkait kemunculan hadits ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits ini muncul  saat terpecahnya umat Islam menjadi tiga kubu atau golongan besar, yaitu golongan Muawiyyah, Syi’ah, dan Khawarij.

Latar belakang kemunculan hadits palsu sangat berbeda-beda, diantaranya dilatarbelakangi oleh adanya kesengajaan yang dibuat untuk menyenangkan hati beberapa penguasa yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.

Ada juga yang lafadznya sengaja dibuat untuk mengunggulkan golongan atau kalangan tertentu, dan beberapa tujuan lainnya. Penyebaran hadits palsu membuat para ulama merumuskan ilmu takhrij hadits, meskipun dirumuskan sedemikian rupa terkait metode-metode dalam takhrij, namun masih banyak hadits-hadits palsu yang beredar sampai masa kini.

C. Penutup

Hadits merupakan verbalisasi atau lafadz dari sunnah yang hidup. Sunnah disini dimaksudkan dengan sebuah model tingkah laku yang bersifat teladan yang patut diikuti oleh masyarakat muslim.

Kata hadits sendiri berasal dari bahasa arab yaitu al-hadits dan ilmu hadits atau ulumul hadits ini terdiri dari dua kata yaitu al’ilm dan al-hadits. Ilmu memiliki arti sebagai sesuatu luas dan komplek dari sebuah pengetahuan yang berkaitan dengan akal fikiran, sedangkan al-hadits merupakan segala bentuk dari perkataan, perbuatan dan ketetapan yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sehingga ilmu hadits dapat disimpulkan dengan ilmu mengenai segala sesuatu tentang hadits dan yang berkaitan dengannya.

Lahirnya ulumul hadits mempunyai nilai dan peran yang sangat penting bagi kedudukan hadits-hadits nabi, yaitu sebagai ilmu yang menjaga dan melestarikan kebenaran hadits Nabi, dan sebagai penyaring apakah hadits tersebut benar benar bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun manfaat yang dapat kita dapatkan dalam mempelajari ilmu hadits adalah untuk mengetahui kualitas hadits (baik hadits itu hasan, shahih atau dha’if), Untuk mengetahui kualitas sanad dan matan hadits, Untuk mengetahui bagian dan macam-macam hadits termasuk juga jenis-jenisnya dan lain-lain, kemudian untuk mengetahui keadaan para perawi hadits, dan untuk menjaga kemurnian kalimat pada hadits.

Banyak sekali manfaat dari mempelajari ilmu hadits, maka dari itu sangatlah penting untuk kita memperdalam pengetahuan kita

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI