Peran Komunikasi dalam Kasus Bullying di Perguruan Tinggi

Komunikasi dalam Kasus Bullying
Sumber: istockphoto, Karya: borisz.

Abstrak

Bullying di perguruan tinggi merupakan fenomena sosial yang kompleks dan dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis serta akademik mahasiswa. Komunikasi memegang peran penting dalam memahami, mencegah, dan menangani kasus bullying di lingkungan kampus.

Artikel ini mengkaji bagaimana komunikasi, baik interpersonal maupun institusional, dapat berfungsi sebagai alat pencegahan dan resolusi konflik yang efektif dalam menghadapi bullying.

Melalui analisis teori komunikasi dan studi kasus, penelitian ini menyoroti peran komunikasi yang positif dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif. Artikel ini juga membahas peran komunikasi dalam meningkatkan kesadaran serta membangun empati antar mahasiswa dan pihak kampus.

Kata Kunci: Bullying, Komunikasi, Perguruan Tinggi, Pencegahan, Konflik, Lingkungan Kampus.

Bacaan Lainnya

Abstract

Bullying in higher education institutions is a complex social phenomenon that can negatively impact students’ psychological and academic development. Communication plays a crucial role in understanding, preventing, and addressing bullying cases within the campus environment.

This article examines how both interpersonal and institutional communication can serve as effective tools for conflict resolution and bullying prevention. Through the analysis of communication theories and case studies, this research highlights the positive role of communication in fostering a safer and more inclusive campus environment.

The article also discusses how communication can raise awareness and build empathy among students and university authorities.

Keywords: Bullying, Communication, Higher Education, Prevention, Conflict, Campus Environment.

Pendahuluan

Bullying merupakan isu sosial yang semakin menjadi perhatian dalam berbagai jenjang pendidikan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun sering kali diasosiasikan dengan pendidikan dasar dan menengah, bullying di tingkat universitas atau perguruan tinggi tidak kalah mengkhawatirkan. Berbagai bentuk bullying seperti intimidasi verbal, kekerasan fisik, pelecehan sosial, hingga cyberbullying dapat terjadi di kalangan mahasiswa. Keberagaman bentuk bullying ini menunjukkan bahwa bullying di perguruan tinggi merupakan fenomena yang kompleks dan memerlukan penanganan yang serius. Korban bullying sering mengalami dampak negatif yang mendalam, baik secara psikologis maupun akademis, yang pada gilirannya mempengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Lingkungan perguruan tinggi, sebagai institusi pendidikan yang seharusnya mendukung pengembangan intelektual dan pribadi, justru dapat menjadi tempat subur bagi praktik bullying. Dalam tahap perkembangan mahasiswa, tekanan sosial, persaingan akademik, perbedaan budaya, serta dinamika kelompok dapat memperburuk situasi dan menciptakan kondisi di mana bullying menjadi hal yang tersembunyi namun berkelanjutan. Sayangnya, banyak kasus bullying yang tidak tertangani dengan baik di perguruan tinggi, baik karena minimnya pemahaman, ketakutan korban untuk melapor, maupun kurangnya perhatian dari pihak kampus. Akibatnya, korban sering kali merasa terisolasi, kehilangan motivasi belajar, dan mengalami gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.

Di sinilah peran komunikasi menjadi krusial. Komunikasi yang efektif dapat menjadi alat penting untuk mencegah dan menangani bullying. Komunikasi tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan pengalaman atau keluhan, tetapi juga sebagai cara untuk membangun pemahaman yang lebih mendalam di antara semua pihak yang terlibat. Komunikasi yang baik, baik antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, maupun antara mahasiswa dan pihak administrasi kampus, dapat menciptakan lingkungan yang lebih terbuka, inklusif, dan responsif terhadap isu-isu sosial seperti bullying. Dengan komunikasi yang tepat, pelaku dapat diarahkan untuk menyadari kesalahan mereka, dan korban dapat diberikan dukungan yang mereka butuhkan untuk pulih dari trauma.

Baca Juga: Pencegahan Bullying di Perguruan Tinggi

Lebih dari itu, komunikasi yang difasilitasi oleh pihak institusi juga memiliki peran penting dalam mencegah eskalasi kasus bullying. Kampus yang memiliki kebijakan dan saluran komunikasi yang jelas mengenai kasus-kasus bullying dapat mengurangi ketidakpastian dan ketakutan korban untuk melapor. Selain itu, pendidikan tentang bullying melalui berbagai program komunikasi, seperti workshop, seminar, dan kampanye anti-bullying, dapat membantu meningkatkan kesadaran seluruh warga kampus mengenai bahaya dan dampak dari perilaku tersebut. Komunikasi yang proaktif dan partisipatif juga memungkinkan munculnya dialog yang produktif, di mana semua pihak merasa didengar dan dapat berkontribusi dalam menciptakan solusi.

Dengan memperhatikan peran sentral komunikasi dalam isu bullying di perguruan tinggi, artikel ini bertujuan untuk mengkaji lebih jauh bagaimana komunikasi, dalam berbagai bentuknya, dapat berfungsi sebagai sarana untuk memahami, mencegah, dan menangani bullying. Dalam pembahasan ini, akan disertakan analisis mengenai bagaimana interaksi interpersonal antar mahasiswa, komunikasi formal dan informal dengan pihak kampus, serta strategi komunikasi institusional dapat memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan aman. Selain itu, artikel ini juga akan menyoroti pentingnya edukasi dan advokasi melalui komunikasi yang terstruktur untuk meningkatkan kesadaran dan mempromosikan tindakan nyata dalam melawan bullying.

Landasan Teori

1. Teori Komunikasi Interpersonal

Teori Komunikasi Interpersonal memfokuskan pada interaksi langsung antara individu dan bagaimana interaksi tersebut membentuk hubungan sosial serta mempengaruhi perilaku. Dalam konteks bullying di perguruan tinggi, komunikasi interpersonal sangat penting dalam membangun interaksi yang sehat di antara mahasiswa. Bullying sering kali terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam komunikasi antara pelaku dan korban. Pelaku sering menggunakan kekuasaan atau status sosial untuk mengintimidasi korban melalui komunikasi verbal atau non-verbal. Teori ini relevan karena membantu menjelaskan bagaimana interaksi antar individu dapat memicu atau mengurangi tindakan bullying, dan bagaimana komunikasi yang efektif dapat membantu dalam mencegah atau menyelesaikan konflik (Littlejohn & Foss, 2009).

Komunikasi interpersonal yang terbuka dan suportif antara mahasiswa, dosen, serta pihak institusi dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung. Ketika mahasiswa merasa bahwa mereka didengar dan dihargai, kemungkinan munculnya perilaku agresif atau intimidatif cenderung menurun. Sebaliknya, komunikasi yang buruk dapat menciptakan kesalahpahaman dan memicu tindakan bullying.

2. Teori Komunikasi Organisasi

Teori Komunikasi Organisasi menyoroti bagaimana komunikasi dalam sebuah institusi atau organisasi, seperti perguruan tinggi, dapat mempengaruhi dinamika sosial dan budaya organisasi tersebut. Perguruan tinggi adalah sebuah komunitas yang kompleks, dengan berbagai interaksi antara mahasiswa, dosen, dan staf administrasi. Komunikasi yang terstruktur dengan baik di dalam institusi pendidikan dapat membantu dalam mendeteksi dan menangani kasus bullying. Teori ini menyoroti bagaimana kebijakan, prosedur, serta saluran komunikasi formal di perguruan tinggi dapat membantu menciptakan lingkungan yang responsif terhadap masalah bullying (Miller, 2012).

Pentingnya komunikasi organisasi terlihat dalam bagaimana kampus merespons laporan kasus bullying. Institusi yang memiliki saluran komunikasi yang jelas, transparan, dan mudah diakses oleh mahasiswa dapat lebih efektif dalam menangani kasus bullying. Misalnya, kebijakan anti-bullying yang disosialisasikan dengan baik dan adanya mekanisme pelaporan yang aman bagi korban dapat mendorong mahasiswa untuk melaporkan kejadian bullying tanpa takut akan konsekuensi negatif.

Baca Juga: Revitalisasi Nilai Salam dan Bahagia dalam Ajaran Ketamansiswaan untuk Menanggulangi Bullying di Sekolah

3. Teori Spiral Keheningan

Teori Spiral Keheningan, yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann, menjelaskan mengapa individu cenderung diam atau tidak menyuarakan pendapatnya ketika mereka merasa bahwa pandangan mereka minoritas atau tidak diterima secara sosial. Dalam konteks bullying di perguruan tinggi, teori ini relevan karena banyak korban bullying yang merasa takut atau enggan untuk melaporkan pengalaman mereka, baik karena mereka takut terhadap reaksi pelaku atau karena merasa tidak didukung oleh teman-teman sebayanya. Spiral keheningan ini memperkuat budaya diam di mana bullying terus terjadi tanpa adanya intervensi. Komunikasi yang efektif, dengan menciptakan lingkungan di mana korban merasa aman untuk bersuara, sangat penting dalam mematahkan spiral keheningan ini (Noelle-Neumann, 1974).

4. Teori Pertukaran Sosial

Teori Pertukaran Sosial, yang menjelaskan bahwa hubungan sosial dibangun berdasarkan prinsip timbal balik, dapat diterapkan dalam konteks bullying untuk memahami motivasi di balik tindakan pelaku dan dinamika sosial di perguruan tinggi. Dalam kasus bullying, pelaku mungkin merasa mendapatkan keuntungan sosial, seperti status atau kekuasaan, melalui intimidasi terhadap korban. Komunikasi yang mendasarkan diri pada prinsip saling menghormati dan keseimbangan dalam hubungan interpersonal dapat membantu mengurangi perilaku bullying dengan menekankan pentingnya pertukaran sosial yang positif dan setara (Blau, 1964).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk menganalisis peran komunikasi dalam menangani kasus bullying di perguruan tinggi. Penelitian kualitatif dipilih karena memberikan pemahaman yang mendalam mengenai fenomena sosial seperti bullying dan bagaimana komunikasi berperan dalam proses pencegahan, penanganan, serta resolusi konflik. Pendekatan studi kasus digunakan untuk mempelajari secara spesifik situasi dan dinamika bullying yang terjadi di lingkungan kampus, serta bagaimana komunikasi di antara pihak-pihak terkait mempengaruhi hasil penanganan kasus.

Sumber Data

Data ini dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan partisipan yang terkait langsung dengan isu bullying di perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa (baik korban, pelaku, maupun saksi), yang bertanggung jawab dalam penanganan kasus bullying. Wawancara ini bertujuan untuk memahami pengalaman personal, pola komunikasi, serta persepsi mereka terkait peran komunikasi dalam menangani kasus bullying.

Data pendukung lain dikumpulkan dari dokumen-dokumen resmi, seperti kebijakan anti-bullying yang ada di perguruan tinggi, laporan kasus bullying, serta literatur atau jurnal yang membahas peran komunikasi dalam konteks bullying. Data ini digunakan untuk memberikan konteks dan melengkapi analisis yang diperoleh dari data primer.

Baca Juga: Stop Bullying! Yuk, Jadi Generasi Emas Bangsa Indonesia dengan Melakukan Gerakan Anti Bullying!

Teknik Pengumpulan Data

Wawancara Mendalam (In-depth Interview), teknik ini digunakan untuk menggali pengalaman dan pandangan dari para informan terkait peran komunikasi dalam menangani kasus bullying. Wawancara dilakukan dengan format semi-terstruktur, sehingga peneliti dapat mengeksplorasi jawaban partisipan secara lebih mendalam namun tetap mengikuti garis besar penelitian.

Peneliti melakukan observasi terhadap interaksi dan komunikasi antar mahasiswa, serta antara mahasiswa dan pihak kampus dalam situasi yang terkait dengan bullying. Observasi ini dilakukan di beberapa aktivitas kampus seperti ruang kelas, asrama, dan kegiatan organisasi mahasiswa.

Peneliti juga mengumpulkan dan menganalisis dokumen kebijakan kampus yang berkaitan dengan penanganan bullying, pedoman komunikasi krisis, serta materi edukasi anti-bullying. Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana kebijakan dan program kampus berperan dalam proses komunikasi terkait bullying.

Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan teknik analisis tematik (thematic analysis). Analisis tematik digunakan untuk mengidentifikasi pola atau tema yang muncul dari hasil wawancara, observasi, dan dokumen yang telah dikumpulkan. Tahapan analisis meliputi.

  1. Pengkodean (coding), peneliti melakukan pengkodean terhadap data wawancara dan observasi, yang kemudian diidentifikasi berdasarkan tema-tema utama terkait peran komunikasi dalam mencegah dan menangani bullying.
  2. Kategorisasi, setelah pengkodean, data yang memiliki kesamaan tema atau pola dikategorikan untuk mempermudah analisis.
  3. Interpretasi, peneliti kemudian menginterpretasikan kategori-kategori ini dengan menghubungkannya dengan teori-teori komunikasi yang relevan serta konteks empiris yang ditemukan dalam studi kasus.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini mengungkapkan beberapa temuan penting mengenai peran komunikasi dalam penanganan kasus bullying di perguruan tinggi. Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam, dan observasi, temuan-temuan utama dibagi menjadi beberapa tema, yaitu (1) pola komunikasi antara mahasiswa, (2) peran institusi dalam komunikasi formal, (3) hambatan komunikasi dalam pelaporan bullying, serta (4) efektivitas kebijakan anti-bullying kampus.

Baca Juga: Pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat Universitas Pamulang “Mengurangi Aksi Bullying pada Anak-anak Sejak Dini”

1. Pola Komunikasi Antar Mahasiswa

Dari hasil wawancara dengan Wahyudi (mahasiswa), ditemukan bahwa pola komunikasi antara mahasiswa sangat berperan dalam munculnya tindakan bullying di kampus. Beberapa mahasiswa yang menjadi korban bullying mengungkapkan bahwa pelaku sering menggunakan komunikasi verbal yang bersifat merendahkan, menyindir, dan menghina dalam interaksi sehari-hari. Bullying non-verbal, seperti sikap mengabaikan, intimidasi dengan bahasa tubuh, dan perilaku isolasi sosial juga ditemukan cukup signifikan di kalangan mahasiswa.

Beberapa mahasiswa juga menunjukkan adanya pola komunikasi dominan dari pelaku bullying, di mana pelaku cenderung mengendalikan percakapan, memanfaatkan posisi sosial atau kekuasaan untuk menekan korban, baik dalam pertemuan kelompok maupun di ruang publik kampus. Korban sering merasa terintimidasi dan kurang mampu menyuarakan keberatannya karena khawatir dengan reaksi negatif dari pelaku maupun kelompok sosial mereka.

2. Peran Komunikasi Formal oleh Institusi

Temuan lain menunjukkan bahwa peran komunikasi formal dari pihak institusi, seperti dosen, staf administrasi, dan pengelola kampus, memainkan peran penting dalam mencegah dan menangani kasus bullying. Dibeberapa Kampus yang memiliki kebijakan anti-bullying yang disosialisasikan melalui berbagai saluran, termasuk situs web resmi, brosur, dan sesi orientasi mahasiswa baru. Namun, efektivitas kebijakan ini sering kali bergantung pada seberapa proaktif institusi dalam memfasilitasi komunikasi antara pihak yang terlibat.

Mahasiswa korban bullying yang melaporkan kasus mereka menyatakan bahwa saluran komunikasi formal, seperti melapor ke dekanat atau pusat layanan konseling, membantu mereka mendapatkan dukungan. Namun, beberapa korban mengungkapkan bahwa proses penanganan sering kali lambat dan kurang responsif, terutama ketika laporan tidak segera ditindaklanjuti oleh pihak kampus. Ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan dan mekanisme pelaporan ada, implementasi yang tidak konsisten menghambat efektivitas penanganan bullying.

3. Hambatan Komunikasi dalam Pelaporan Bullying

Salah satu temuan penting dalam penelitian ini adalah adanya hambatan komunikasi yang dihadapi oleh korban dalam melaporkan tindakan bullying. Spiral keheningan (spiral of silence) tampak sangat kuat, dimana banyak korban merasa takut untuk melaporkan karena khawatir dengan konsekuensi sosial atau merasa bahwa suara mereka tidak akan didengar. Beberapa korban merasa terisolasi dan tidak yakin apakah laporan mereka akan mendapat dukungan dari rekan-rekan sebaya atau pihak kampus.

Beberapa mahasiswa juga menyebutkan adanya stigma sosial terkait korban bullying, di mana melaporkan kejadian sering kali dipandang sebagai tanda kelemahan. Akibatnya, banyak mahasiswa memilih untuk tidak melaporkan bullying yang mereka alami, dan ini menyebabkan kasus bullying terus berlanjut tanpa tindakan preventif.

Baca Juga: Studi Kasus Dampak Bullying Anak Sekolah: Masihkah Kita Harus Bersikap Acuh?

4. Efektivitas Kebijakan Anti-Bullying di Kampus

Hasil dari analisis dokumen kebijakan kampus menunjukkan bahwa kebijakan anti-bullying secara formal telah dirancang dengan baik, mencakup definisi bullying, prosedur pelaporan, serta sanksi bagi pelaku. Namun, efektivitas kebijakan ini masih dipengaruhi oleh kurangnya sosialisasi secara mendalam dan minimnya keterlibatan aktif dari pihak dosen dan staf dalam membantu mahasiswa menghadapi kasus bullying. Mahasiswa sering kali tidak mengetahui secara detail prosedur yang harus diikuti ketika mengalami bullying atau merasa ragu-ragu untuk menggunakan saluran resmi yang disediakan.

Selain itu, hasil observasi menunjukkan bahwa kampus belum sepenuhnya mengintegrasikan program edukasi terkait pencegahan bullying ke dalam kurikulum atau kegiatan rutin. Hal ini mengakibatkan kurangnya kesadaran mahasiswa tentang pentingnya komunikasi yang sehat dan pengelolaan konflik secara positif. Institusi yang menyediakan workshop komunikasi efektif, pelatihan empati, dan penyuluhan anti-bullying cenderung memiliki hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kasus bullying, dibandingkan dengan kampus yang hanya menyediakan kebijakan tertulis tanpa langkah-langkah nyata di lapangan.

5. Peran Komunikasi dalam Pemulihan Korban

Selain peran komunikasi dalam pelaporan dan penanganan kasus bullying, temuan menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal yang suportif dari teman sebaya, konselor, atau dosen sangat membantu proses pemulihan korban. **Komunikasi empatik** yang dilakukan oleh orang-orang terdekat membantu korban merasa didengar dan didukung, sehingga mereka lebih mampu menghadapi dampak psikologis bullying. Institusi yang menyediakan layanan konseling psikologis yang mudah diakses oleh mahasiswa juga menunjukkan hasil yang lebih positif dalam membantu korban pulih dari pengalaman traumatis mereka.

Kesimpulan Hasil Penelitian

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam menangani kasus bullying di perguruan tinggi, baik melalui interaksi interpersonal antara mahasiswa maupun komunikasi formal yang difasilitasi oleh institusi. Meskipun terdapat kebijakan anti-bullying, efektivitas penanganannya sangat bergantung pada bagaimana komunikasi berjalan di dalam kampus. Hambatan komunikasi seperti spiral keheningan dan kurangnya dukungan sosial dari lingkungan sekitar menjadi tantangan besar dalam upaya mencegah dan menangani bullying. Diperlukan upaya lebih lanjut dari pihak institusi untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih terbuka, responsif, dan suportif agar dapat mengurangi kejadian bullying di perguruan tinggi.

Penulis: Fauzan Abdillah
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram (Unram)

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Blau, P. M. (1964). Exchange and power in social life. Wiley.

Campbell, M. A. (2005). Cyberbullying: An old problem in a new guise? Australian Journal of Guidance and Counselling, 15(1), 68–76. https://doi.org/10.1375/ajgc.15.1.68

Glick, P., & Fiske, S. T. (2001). An ambivalent alliance: Hostile and benevolent sexism as complementary justifications for gender inequality. In J. F. Dovidio & M. J. Lerner (Eds.), Sexism and stereotypes in modern society: Theoretical and practical approaches (pp. 200–212). American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/10408-010

Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Theories of human communication (9th ed.). Wadsworth.

Miller, K. (2012). Organizational communication: Approaches and processes (6th ed.). Wadsworth Cengage Learning.

Noelle-Neumann, E. (1974). The spiral of silence: Public opinion—Our social skin. University of Chicago Press.

Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Blackwell.

Rigby, K. (2002). New perspectives on bullying. Jessica Kingsley Publishers.

Smith, P. K., & Sharp, S. (1994). School bullying: Insights and perspectives. Routledge.

Wang, J., Iannotti, R. J., & Nansel, T. R. (2009). Bullying victimization and associated psychological adjustment among US youth. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 163 (2), 104–110. https://doi.org/10.1001/archpediatrics.2008.539

Pos terkait