Resensi Buku: Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer

Resensi
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer
  1. Judul: Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer: Catatan Pulau Buru
  2. Penulis: Pramoedya Ananta Toer
  3. Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
  4. Cetakan: Cetakan ke-20, Mei 2022
  5. Tebal: 248
  6. ISBN: 978-602-6208-82-8
  7. Resensi:

Pernah dengar istilah Jugun Ianfu?

Dimar Kartika Listiyanti (2008) menjelaskan Jugun Ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada perempuan penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia 2 di koloni Jepang, mereka merupakan perempuan yang berasal dari jajahan yang berhasil dikuasai Jepang terdiri dari perempuan Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Eurasia, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Buku ini menjelaskan nasib Jugun Ianfu dari Indonesia pasca kemerdekaan.

Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer: Catatan Pulau Buru adalah salah satu tulisan Pramoedya Ananta Toer saat Ia diasingkan yang berhasil lolos dan diterbitkan. Buku yang berkedok novel fiksi sejarah untuk umur 15 tahun ke atas ini sejatinya adalah murni catatan pengalaman beliau, ku bilang ini buku bukan sembarang novel biasa karena isinya fakta semua yang menjelaskan materi ‘tepi jurang’.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Resensi Buku: The Psychology of Money

Dengan tebal 248 halaman dan 8 bab: 1. Janji Indah; 2. Rahasia Umum yang Tak Pernah Diselidiki; 3. Mereka Diangkut dengan Kapal; 4. Mereka Jadi Buangan; 5. Para Perawan Remaja di Pulau Buru; 6. Siti F.; 7. Menjejak Bolansar alias Muka Jawa; 8. Menjejak Ibu Yati dari Klaten.

Saat membaca bab awal pada Bab 1-5, aku dibuat miris dengan fakta sejarah dan nasib para perempuan lugu ini. Mereka hanyalah para perawan remaja yang ditipu oleh fasis Jepang antara 1943-1945 (tepat di mana Jepang mulai menjajah Indonesia) di seluruh tanah air tapi lebih banyak berasal dari Jawa.

Para perawan baru lulus SMP yang kesemuanya memiliki rupa rupawan mulai dari anak pejabat sampai rakyat biasa yang jumlahnya tidak diketahui ini dijanjikan untuk dibawa belajar ke Tokyo dan Shonanto, baik dengan restu orang tua ataupun dijemput paksa dari rumah.

Mereka diangkut menggunakan kapal namun tak pernah sampai ke negeri yang dijanjikan, tapi ke tempat pengumpulan di Surabaya yang dipagari kawat berduri dijaga perawat dan prajurit Nippon, juga di Jakarta tepatnya di rumah keluarga De Boer yang tertutup dari dunia luar.

Di tempat pengumpulan, mereka menunggu kapal selanjutnya. Namun kapal ini kemudian menjadi mimpi buruk, mereka mendapat perlakuan buruk setelah lepas 1,5 mil dari pelabuhan. Para perwira Jepang serentak melakukan serbuan kepada mereka, memperkosa, menghancurkan idealisme untuk belajar dan menjadi pemimpin bangsa.

Mereka berlarian dan ada yang berusaha menceburkan diri ke laut, namun apalah daya kekuatan anak di bawah umur melawan prajurit terlatih yang sudah lama tidak terpenuhi nafsunya dan diberi legalitas oleh negara sendiri (kesaksian Jugun Ianfu bernama Kartini dari Sukorejo).

Setelah itu mereka dikumpulkan kembali ke tempat pengumpulan di berbagai tempat jajahan Jepang untuk menjadi pemuas nafsu seksual tentara dengan fasilitas dan konsumsi yang tidak memadai.

Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia 2, nasib Jugun Ianfu menjadi tidak jelas, mereka dibuang dan diabaikan begitu saja. Beberapa ada yang mati dan ada juga yang menikah dengan penduduk lokal salah satunya penempatan di Pulau Buru ini.

Bagi mereka yang menikah dengan penduduk lokal Pulau Buru, mereka menambah list mimpi buruk dalam hidupnya. Di mana adat lokal yang sangat kental juga gaya hidup yang masih nomaden di dalam hutan menjadikan mereka terpaksa untuk tidak boleh menceritakan jati dirinya.

Baca Juga: Resensi Buku: 3 Some Karya Hendri Yulius, Joe Andrianus, dan Nunkie Handa

Adat orang gunung di Pulau Buru meminta mereka untuk bersumpah untuk tidak berbicara selain bahasa asli penduduk, tidak menceritakan asal jati diri dan kisah hidupnya, tidak kembali kepada keluarganya.

Banyak dari Jugun Ianfu yang masih hidup tidak kembali kepada keluarganya karena merasa menanggung beban malu karena telah ternodai, ada yang marah kepada keluarganya karena membiarkan ia dirampas Jepang, dan ada juga karena sumpah adat yang menuntut mereka untuk setia seumur hidup.

Buku ini menceritakan bagaimana perjuangan para tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru mencari para Jugun Ianfu yang beberapa juga merupakan keluarga mereka sendiri, bagaimana adat kental penduduk gunung di Pulau Buru dan patriarki yang sangat tinggi antara suami dan istri, bagaimana kesetaraan gender juga posisi perempuan masyarakat gunung, kondisi pendidikan, agama, dan kesehatan masyarakat.

Kelebihan

Untuk para pecinta novel genre hisfic (historical-fiction), buku ini pas banget buat kamu! Well, karya Pak Pramoedya Ananta Toer memang selalu jadi pujaan hati para pecinta hisfic garis keras.

Sehingga wajar jika mahasiswa garis 98 berburu bacaan dari semua tulisan Pak Pram di tengah tekanan rezim yang melarang dan sensitif akan perlawanan, saranku mahasiswa millenial sekarang menjadikan buku Pak Pram sebagai bacaan wajib dibaca minimal satu karyanya, sedikit aneh jika seorang mahasiswa tidak mengenal Pak Pram mau jurusan apa pun ia, karena peran mahasiswa adalah menjadi suara terdepan rakyat dan melawan paling keras jika hak rakyat terampas, belajar teori sejarah merupakan tindakan wajib seorang mahasiswa intelek, mahasiswa wajib hukumnya mencintai buku dan hobi membaca apalagi rezim sekarang bebas berpendapat, kan?

Baca Juga: Resensi Buku Ajar Struktur Tak Tentu untuk Teknik Sipil

Kekurangan

Buku ini khusus mereka yang berusia di atas 15 tahun ke atas, jadi buat kalian yang di bawah 15 tahun belum bisa membaca ini. Pembatasan usia ini menurutku tidak relevan untuk sebuah fakta sejarah yang disembunyikan dari anak pelajar di sekolah.

Pada masa sekolah kita dijejalkan bahwa para lelaki berjuang di garda terdepan dalam sebuah perang yang bermodalkan bambu runcing melawan penjajahan Belanda dan Jepang, tapi ternyata perempuan juga tak kalah menderitanya.

Terutama pada masa kolonial Jepang yang menjajah serakah dan nafsu dari kekayaan bumi sampai keindahan selangkangan perempuan remaja nusantara yang polos dan haus akan ilmu pengetahuan.

Menurutku para anak sekolah perlu untuk mengetahui (walau berupa pengetahuan umum) fakta pahit yang mengejutkan ini agar mereka belajar bahwa pengalaman menjadi negara yang terjajah benar-benar mimpi buruk yang bisa saja terulang suatu waktu jika mereka tidak belajar dengan sungguh-sungguh, bahwa peperangan tidak hanya merugikan pihak lelaki, tapi juga pihak perempuan secara langsung.

Selain itu, buku ini banyak memakai bahasa daerah Buru di pertengahan dan akhirannya, memang sebagian ada yang diartikan, namun ada juga yang lepas dari terjemahan. Hal itu agak menyulitkanku memahami konteks dialog yang bisa saja ada hal penting yang terlewat karena ketidakpahaman.

Penulis: Ika Ayuni Lestari    

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI