Stop Kekerasan di Sekolah

Di Indonesia dewasa ini banyak terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan, baik itu kekerasan rumah tangga, kekerasan antar ras atau agama, kekerasan di sekolah, serta masih banyak lagi kasus-kasus terkait dengan kekerasan. Secara khusus, pembahasan yang akan dilakukan di sini adalah kekerasan di sekolah.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menurut survei International Center for Research on Women (ICRW) pada tahun 2017 silam, Indonesia menempati posisi pertama, dengan sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Lebih tinggi dari negara Vietnam dan Nepal (79%), Kamboja (73%), dan Pakistan (43%). Menurut data Komnas Pelindungan Anak, sejak 2011 hingga 2016 terdapat 676 korban kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh 400 pelaku.

Kekerasan, disamping menimbulkan dampak berupa kerusakan secara fisik, juga berdampak pada sisi psikologis dari korban kekerasan itu sendiri. Karena sifat destruktif dari kekerasan itulah, maka seluruh elemen bangsa Indonesia perlu untuk memberikan atensinya untuk mencari akar masalah serta menemukan solusi agar kekerasan dapat ditekan dan tidak lagi terjadi, khususnya di dunia pendidikan Indonesia.

Bacaan Lainnya
DONASI

Terkait dengan kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia, kami membaginya dalam tiga bagian atau klasifikasi, yaitu kekerasan yang terjadi antara murid terhadap gurunya, kekerasan yang terjadi antara guru terhadap muridnya, serta kekerasan yang terjadi antara murid dengan murid lainnya. Beberapa contoh nyata dari kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia adalah meninggalnya Budi Cahyono, seorang guru yang menjadi korban kekerasan oleh anak didiknya. Kemudian ada kasus seorang guru yang menampar muridnya di sebuah SMK di Purwokerto, Jawa Tengah, dan ada kasus seorang siswa di SMAN 1 Semarang yang meninggal akibat kekerasan (bullying) yang dilakukan oleh teman-temannya.

Dari berbagai kasus yang terjadi, dapat kita lihat bahwa kasus kekerasan di sekolah ini menimbulkan masalah bagi masyarakat berbangsa dan bernegara. Ada beberapa nilai yang diabaikan dalam kasus ini. Jika dilihat dari segi nilai moral, ada beberapa aspek nilai moral yang diabaikan dari kasus kekerasan di sekolah ini. Nilai moral yang tidak diindahkan yaitu dimana seharusnya ada sikap saling menghormati antara murid kepada gurunya dan begitupun sebaliknya.

Maraknya tindak kekerasan di sekolah pun merupakan sebuah dampak dari perubahan zaman, di mana era konservatisme sekolah mulai bergeser ke pemikiran modern yang lebih terbuka. Siswa menjadi generasi yang ”manja” mulai berani melawan dan menentang guru yang di mana dahulu guru merupakan sosok yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas, mempunyai wewenang yang tidak terbatas di domain pendidikan, dan secara hierarkis memiliki posisi yang cukup penting.  Kemerosotan moral ini mengakibatkan Murid tidak memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap gurunya. Moral yang mulai luntur dalam masyarakat akan mengakibatkan terjadinya hilang nyawa seorang guru di tangan muridnya, atau murid yang disiksa secara kejam oleh gurunya. Hal itu merupakan akibat dari transisi budaya, pergeseran nilai, dan perubahan konsep pendidikan. Lain halnya dengan guru yang sangat merasa memiliki otoritas yang tinggi sehingga dengan mudah melakukan kekerasan fisik pada muridnya, dimana seharusnya nilai moral yang dimiliki guru akan ditiru oleh murid-muridnya. Guru tersebut tidak mengindahkan nilai moral yang menjunjung tinggi melawan kekerasan dalam bentuk apapun. Sedangkan jika dilihat dari segi nilai kemanusiaan, ada beberapa aspek juga yang diabaikan. Salah satu contohnya adalah tentang nilai kemanusiaan yang adil dan beradab (dalam sila ke-2) yang mengandung arti bahwa kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesama sebagaimana mestinya. Dalam sila kedua terkandung nilai-nilai humanistis yang harus kita terapkan pada segala aspek kehidupan, antara lain pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala hak asasinya yang harus dihormati oleh siapapun, perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, dan  pengertian manusia beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan iman, sehingga nyatalah bedanya dengan makhluk lain. Dan jika dilihat dari segi agama, kasus ini juga melanggar nilai agama yang ada.

Pada setiap agama pasti diajarkan untuk saling mengasihi, menghormati, dan menghargai satu sama lain. Tidak mungkin ada agama yang mengajarkan ajaran yang buruk kepada setiap umatnya. Dan kasus-kasus kekerasan yang terjadi ini sudah jelas melanggar nilai agama yang ada. Guru tersebut sudah jelas melanggar nilai agama karena ia sudah berbuat yang tidak semestinya kepada siswa. Seharusnya sebagai seorang guru bisa menjadi contoh dan bisa mendidik siswanya dengan hati, bukan dengan kekerasan fisik. Dan dari kasus seorang siswa yang mengejek temannya, juga sudah jelas melanggar nilai agama. Sebagai sesama manusia seharusnya kita bisa saling mengasihi bukan saling merendahkan. Walaupun masih sebagai siswa, seharusnya sudah menanamkan rasa saling mengasihi dan menghargai satu sama lain.

Berikut ini beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan di sekolah: Pertama adalah tentang kasus guru terhadap siswa. Faktor penyebabnya antara lain karena persepsi guru yang parsial dalam menilai siswa, guru menuntut kepatuhan dan ketertiban siswa. Jadi siswa harus tunduk pada guru dan peraturan sekolah. Kurangnya pemahaman bahwa kekerasan tidak efektif untuk merubah perilaku siswa. Adanya tekanan baik dari dalam maupun dari luar lingkungan kerja (sekolah) yang memungkinkan guru lebih sensitif dan reaktif. Kedua adalah tentang kasus siswa terhadap guru dan siswa lainnya. Faktor penyebabnya antara lain siswa cenderung meniru dan mencontoh sikap dan perilaku orang-orang di lingkungan sekitarnya, pergaulan sejawat dimana ketika anak terpapar dengan gaya pergaulan yang sering melakukan kekerasan, maka anak akan mudah untuk melakukannya juga, karena telah menjadi kebiasaan. Kekerasan banyak diperoleh melalui media sosial dan hiburan. Media sosial dan hiburan banyak mengandung konten-konten yang tidak ramah anak. Pola pengasuhan orang tua. Orang tua yang diktator cenderung membentuk karakteristik anak yang agresif, dan orang tua yang permisif membentuk anak yang liar dan tidak bertanggung jawab.

Selain itu ada juga faktor pendorong munculnya perilaku kekerasan. Faktor biologis yang merupakan dorongan naluri/insting manusia (seks & agresi) menurut teori Freud. Perilakunya sebagai bentuk penyaluran agresi dan manifestasi rasa marah. Faktor Psikologis yang merupakan kekerasan sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Faktor Sosial Kultural yang menurut sosial learning theory (teori belajar sosial) merupakan perilaku kekerasan yang dapat dipelajari secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan sosial dan budaya akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Faktor Pencetus yang merupakan tekanan yang memicu perilaku kekerasan bagi setiap individu yang bersifat unik. Tekanan tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dari dalam.

Melihat penyebab-penyebab yang menimbulkan kekerasan dalam sekolah tersebut, dapat dilihat pula akar masalah yang sebenarnya menjadi dasar dari semua penyebab yaitu yang pertama pengaruh tayangan berbau kekerasan di layar televisi. Menurut Albert Bandura, manusia mempelajari sesuatu dengan cara meniru perilaku orang lain. Maka dari itu, penayangan adegan kekerasan di televisi dapat menyebabkan seseorang juga ikut meniru tindakan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

Kedua, kegagalan pendidikan nilai. Pendidikan nilai  membentuk kepribadian yang baik dan watak yang utuh (Sudarminta, 2002; 459). Pendidikan juga membentuk karakter manusia yang berbudaya dan berakhlak, sebaliknya pendidikan nilai yang gagal menghasilkan generasi dengan akhlak, watak dan moral yang tidak baik, yang kemudian bisa menjadi penyebab dari dilakukannya tindak kekerasan. Oleh karena itu, pendidikan nilai sangat penting apalagi pada masa dini. Fenomena kekerasan tidak bisa dipisahkan dari sudut pandang psikologis, biologis dan bahkan psikologi sosial. Dalam sudut pandang psikologis menurut Sigmund Freud yang merupakan tokoh psikologi yang terkenal, kekerasan pada manusia merupakan insting atau konflik seksualitas bawah sadar, adapun menurut teori behaviorisme, kekerasan merupakan hasil dari stimulis-respon, biologis pun beranggapan bahwa kekerasan merupakan salah satu faktor genetis yang diturunkan. Sedangkan menurut psikologi sosial, kekerasan bisa dipicu dari kehidupan sosial yang kurang baik.

Terakhir, dipaparkan sebuah solusi yang dibagi menjadi dua, yaitu tindakan preventif terhadap kekerasan dan tindakan kuratif setelah terjadinya kekerasan. Tindakan preventif terhadap kekerasan yaitu komunikasi dan keterbukaan antarguru dan murid, pendidikan karakter, perbaikan pola pengasuhan dan menjaga pergaulan. Sedangkan tindakan kuratif setelah terjadinya kekerasan yaitu penanganan atau treatment disesuaikan dengan akar masalah/akar penyebab terjadinya kekerasan tidak bisa memakai satu cara saja secara kaku, mendekati dan merangkul korban kekerasan, memberi dukungan psikologis, memberi bantuan fisik dan Melaporkan pihak yang berwenang atau pihak yang lebih memiliki otoritas.

 

Penulis:

  1. Michael Pandu Patria (159114027)
  2. Gloryossa Gerraldina Z. (179114001)
  3. Stella Aurelia (179114007)
  4. Gihon Gracia W. U. (179114041)

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI