Abstrak
Ketidakadilan gender dalam politik merupakan isu global yang berdampak signifikan terhadap pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Artikel ini mengkaji hambatan-hambatan struktural, kultural, dan sosial yang dihadapi perempuan dalam dunia politik serta implikasinya terhadap representasi perempuan dalam pengambilan keputusan.
Berbagai faktor, seperti stereotip gender, budaya patriarki, dan kurangnya kebijakan afirmatif efektif menjadi penyebab utama ketidakadilan gender dalam politik.
Kajian ini juga mengeksplorasi pentingnya partisipasi perempuan dalam mewujudkan kebijakan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat luas.
Dengan pendekatan deskriptif kualitatif, artikel ini menyimpulkan bahwa solusi holistik yang melibatkan reformasi struktural, pendidikan publik, dan dukungan partai politik diperlukan untuk mengatasi ketidakadilan gender dan menciptakan sistem politik yang lebih adil.
Kata Kunci: ketidakadilan gender, partisipasi politik, representasi perempuan, budaya patriarki, kebijakan afirmatif
Pendahuluan
Ketidakadilan gender dalam politik merupakan fenomena global yang telah berlangsung selama berabad-abad. Isu ini tidak hanya merujuk pada ketimpangan angka keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam struktur kekuasaan, tetapi juga mencakup bias sistemik yang mengakar dalam budaya, institusi, dan proses politik itu sendiri.
Di banyak negara, perempuan sering kali dihadapkan pada berbagai hambatan yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara penuh dalam dunia politik, baik sebagai pengambil keputusan maupun sebagai konstituen yang aktif.
Meski demikian, kesadaran akan pentingnya partisipasi perempuan terus meningkat, mendorong berbagai kebijakan afirmatif di tingkat nasional maupun internasional untuk mengatasi ketimpangan ini.
Di Indonesia, persoalan ketidakadilan gender dalam politik menjadi salah satu fokus utama dalam upaya pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengatur kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam lembaga legislatif.
Namun, implementasi kebijakan ini masih jauh dari ideal. Banyak partai politik hanya menjadikan kuota tersebut sebagai formalitas tanpa memberikan dukungan yang memadai kepada perempuan untuk mencalonkan diri.
Akibatnya, angka keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Filipina dan Vietnam.
Baca Juga:Â Melepas Kacamata Patriarki dalam Membangun Politik Berbasis Gender
Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif saja tidak cukup tanpa adanya perubahan struktural dan kultural yang mendukung. (Irawan, 2019).
Secara kultural, politik masih sering dianggap sebagai arena laki-laki. Pandangan patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat membuat perempuan kerap dianggap tidak kompeten untuk memimpin atau membuat keputusan penting.
Ekspektasi sosial terhadap peran domestik perempuan juga menjadi hambatan signifikan yang membatasi partisipasi mereka dalam politik. Perempuan yang terjun ke dunia politik sering kali harus menghadapi beban ganda, yaitu menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai politisi.
Tekanan ini tidak hanya mengurangi peluang perempuan untuk terlibat aktif, tetapi juga memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kemampuan mereka. Dari perspektif sosial, perempuan dalam politik kerap menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Fenomena ini dikenal sebagai kekerasan politik berbasis gender, di mana perempuan yang mencalonkan diri atau memegang jabatan politik sering menghadapi serangan verbal, pelecehan, atau bahkan ancaman fisik.
Kekerasan ini tidak hanya bertujuan untuk mengintimidasi perempuan secara individu, tetapi juga untuk memperkuat dominasi laki-laki dalam politik. Akibatnya, banyak perempuan yang merasa enggan untuk terlibat dalam politik karena takut akan dampak buruk yang mungkin mereka alami. (Priandi, 2019).
Ketidakadilan gender dalam politik tidak hanya merugikan perempuan secara individu, tetapi juga berdampak pada kualitas demokrasi itu sendiri. Representasi perempuan yang rendah dalam lembaga legislatif dan eksekutif menyebabkan kurangnya perspektif yang inklusif dalam pengambilan kebijakan.
Kebijakan yang tidak melibatkan perempuan cenderung kurang responsif terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, seperti kesehatan reproduksi, pendidikan, dan perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender.
Dengan demikian, partisipasi perempuan dalam politik bukan hanya soal kesetaraan, tetapi juga soal keadilan dan efisiensi dalam pemerintahan.
Di tingkat global, upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik telah dilakukan melalui berbagai inisiatif. PBB, misalnya, melalui Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan tercapainya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik.
Baca Juga:Â Patriarki di Indonesia
Negara-negara, seperti Rwanda dan Swedia, telah menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan representasi perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmatif yang efektif. Namun, di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, tantangan budaya, ekonomi, dan sosial masih menjadi hambatan utama dalam mencapai target tersebut. (Pulungan, 2023).
Faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam menciptakan ketidakadilan gender dalam politik. Perempuan sering kali memiliki akses yang lebih rendah terhadap sumber daya keuangan dibandingkan laki-laki, sehingga mereka kesulitan untuk membiayai kampanye politik atau membangun jaringan yang diperlukan untuk meraih dukungan.
Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu cenderung memiliki peluang yang lebih kecil untuk terjun ke dunia politik dibandingkan dengan laki-laki dari kelas ekonomi yang sama.
Hal ini memperlihatkan bahwa ketidakadilan gender dalam politik tidak dapat dipisahkan dari ketimpangan ekonomi yang lebih luas. Dukungan dari partai politik juga menjadi salah satu kunci dalam mengatasi ketidakadilan gender.
Sayangnya, banyak partai politik di Indonesia masih enggan memberikan ruang yang cukup bagi perempuan untuk maju sebagai calon legislatif atau eksekutif. Perempuan sering kali ditempatkan di daerah pemilihan yang kurang strategis atau tidak mendapatkan dukungan finansial dan logistik yang memadai.
Padahal, partai politik memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong keterlibatan perempuan dalam politik, baik melalui rekrutmen yang inklusif maupun melalui pelatihan kepemimpinan. (Sanger, 2019).
Ketidakadilan gender dalam politik bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan satu dimensi. Dibutuhkan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi perempuan. Ini mencakup reformasi kebijakan, pendidikan masyarakat, dan pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput.
Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi perempuan dalam politik, diharapkan kita dapat mewujudkan sistem politik yang lebih inklusif dan adil bagi semua.
Artikel ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang akar penyebab ketidakadilan gender dalam politik serta mengeksplorasi solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasinya.
Dengan pendekatan deskriptif kualitatif, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap literatur tentang kesetaraan gender dan membantu mendorong perubahan nyata dalam sistem politik yang ada.
Baca Juga:Â Suara yang Terpinggirkan: Budaya Patriarki dan Keterbatasan Suara Perempuan di Indonesia
Kajian Pustaka
Ketidakadilan gender dalam politik telah menjadi isu yang dibahas luas dalam berbagai kajian ilmiah. Menurut Thomas (2005), ketidaksetaraan gender dalam politik tidak hanya mencakup ketidakhadiran perempuan dalam jabatan politik, tetapi juga ketidakmampuan perempuan untuk memengaruhi kebijakan yang mengatur kehidupan mereka.
Faktor-faktor seperti diskriminasi berbasis gender, pembatasan akses ke sumber daya politik, serta stereotip gender yang mengakar dalam masyarakat, menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam politik.
Thomas menekankan pentingnya perubahan dalam norma sosial dan struktur politik untuk menciptakan ruang yang lebih adil bagi perempuan dalam dunia politik.
Menurut Kabeer (2005), pemberdayaan perempuan dalam politik tidak hanya bergantung pada kebijakan afirmatif atau kuota keterwakilan, tetapi juga pada pembentukan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Kabeer berpendapat bahwa meskipun kebijakan afirmatif dapat meningkatkan jumlah perempuan dalam lembaga legislatif, tanpa adanya pembinaan kapasitas dan perubahan sosial yang mendalam, perempuan tetap akan terbatas dalam pengaruhnya terhadap kebijakan politik.
Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan dalam politik memerlukan upaya sistematis untuk mengubah pemahaman masyarakat tentang peran gender, serta memberikan dukungan yang diperlukan untuk perempuan agar dapat terlibat secara efektif. (Umagapi, 2020).
Di sisi lain, karya Sian (2016) membahas tantangan budaya patriarki dalam politik. Sian menyatakan bahwa dominasi laki-laki dalam politik sering kali diperkuat oleh struktur sosial yang patriarkal, yang mendiskreditkan perempuan dan merendahkan peran mereka dalam pengambilan keputusan publik.
Pandangan patriarki ini menyebabkan perempuan sering dipandang kurang kompeten dalam memimpin atau mengelola urusan politik. Sian menekankan bahwa untuk mengatasi ketidakadilan gender dalam politik, diperlukan perubahan dalam pola pikir dan sikap masyarakat yang mendalam terhadap peran perempuan.
Penyebab ketidakadilan gender dalam politik juga dijelaskan oleh Chandra (2013), yang menyoroti adanya kekerasan berbasis gender yang sering kali dihadapi oleh perempuan dalam dunia politik.
Chandra berpendapat bahwa perempuan politik sering kali menjadi sasaran kekerasan, baik dalam bentuk pelecehan seksual, ancaman kekerasan fisik, maupun serangan verbal.
Baca Juga:Â Upaya Melawan Budaya Patriarki untuk Memberikan Perempuan di Ruang Politik Indonesia
Kekerasan ini dimaksudkan untuk merendahkan posisi perempuan dalam politik dan membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi secara bebas.
Chandra menunjukkan bahwa untuk mengatasi masalah ini, penting untuk membangun lingkungan yang aman bagi perempuan dalam dunia politik, baik secara fisik maupun psikologis. (Vasandani, 2022).
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Rai (2004) memberikan perspektif tentang pentingnya kebijakan afirmatif dalam meningkatkan representasi perempuan dalam politik. Rai berpendapat bahwa kuota politik untuk perempuan dapat menjadi alat yang efektif dalam mendorong partisipasi politik perempuan.
Namun, Rai juga menyoroti bahwa kuota ini harus diimbangi dengan perubahan struktural dalam partai politik, seperti perubahan dalam proses seleksi kandidat dan penyediaan sumber daya yang setara.
Rai menekankan bahwa kebijakan afirmatif bukanlah solusi tunggal, tetapi harus menjadi bagian dari upaya yang lebih besar untuk menciptakan kesetaraan gender dalam politik.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mengkaji ketidakadilan gender dalam politik.
Pendekatan ini dipilih karena memungkinkan peneliti untuk menggali secara mendalam fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya terkait faktor-faktor budaya, sosial, dan struktural yang memengaruhi keterlibatan perempuan dalam politik.
Data dikumpulkan dari berbagai sumber sekunder, seperti jurnal ilmiah, laporan organisasi internasional, dan data statistik resmi, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, di mana berbagai literatur terkait ketidakadilan gender dalam politik dianalisis secara kritis. Peneliti juga menggunakan data kualitatif berupa wawancara yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya untuk mendukung analisis.
Fokus utama penelitian ini adalah mengidentifikasi pola-pola ketidakadilan gender dan mencari solusi yang telah diterapkan di berbagai negara untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis tematik.
Baca Juga:Â Patriarki: Stigma Kelam yang Tak Kunjung Hilang sampai saat Ini?
Langkah-langkah analisis meliputi identifikasi tema utama, pengkodean data berdasarkan tema tersebut, dan interpretasi hasil untuk menjelaskan hubungan antara ketidakadilan gender dan berbagai variabel yang relevan, seperti budaya patriarki, kebijakan afirmatif, dan akses ekonomi.
Dengan metode ini, penelitian diharapkan dapat memberikan pandangan yang holistik mengenai isu ketidakadilan gender dalam politik.
Pembahasan
Ketidakadilan gender dalam politik dapat dilihat dari berbagai aspek. Pertama, hambatan struktural menjadi salah satu penyebab utama minimnya partisipasi perempuan dalam politik.
Di Indonesia, meskipun kuota gender telah diterapkan, perempuan sering kali tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari partai politik. Partai politik cenderung lebih memilih kandidat laki-laki karena dianggap memiliki peluang kemenangan yang lebih besar.
Selain itu, kurangnya akses perempuan terhadap sumber daya seperti pendanaan kampanye dan pelatihan kepemimpinan menjadi hambatan yang signifikan.
Menurut penelitian oleh Budiarti (2021), perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum sering kali menghadapi diskriminasi baik dari internal partai maupun masyarakat luas.
Kedua, hambatan kultural juga memainkan peran penting dalam menciptakan ketidakadilan gender dalam politik. Dalam masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai patriarki, perempuan sering kali dianggap tidak cocok untuk memimpin atau terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Stereotip gender yang merendahkan kemampuan perempuan menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi mereka dalam politik.
Hal ini diperparah dengan ekspektasi sosial yang menempatkan perempuan sebagai penjaga rumah tangga, sehingga keterlibatan mereka dalam politik sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kodratnya.
Ketiga, hambatan sosial juga tidak kalah penting. Perempuan yang terlibat dalam politik sering kali menjadi sasaran serangan personal dan kekerasan berbasis gender, baik secara fisik maupun verbal.
Baca Juga:Â Teroris Perempuan adalah Korban Patriarki
Studi oleh Harsono (2022) menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender dalam politik (gender-based political violence) menjadi salah satu faktor utama yang menghalangi perempuan untuk mencalonkan diri dalam pemilu.
Kekerasan ini tidak hanya berdampak pada individu perempuan tetapi juga pada komunitas yang mereka wakili, karena hilangnya suara perempuan dalam pengambilan keputusan politik.
Namun demikian, partisipasi perempuan dalam politik memiliki dampak positif yang signifikan terhadap kebijakan publik. Penelitian oleh Dahlerup (2006) menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik mampu membawa perspektif yang lebih inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan sosial.
Negara-negara dengan tingkat partisipasi perempuan yang tinggi dalam politik cenderung memiliki kebijakan yang lebih progresif dalam isu-isu seperti kesehatan reproduksi, pendidikan, dan kesetaraan upah.
Oleh karena itu, meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya penting untuk mencapai kesetaraan gender tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik.
Kesimpulan
Ketidakadilan gender dalam politik adalah isu yang kompleks dan multidimensional yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.
Hambatan struktural, kultural, dan sosial yang dihadapi perempuan harus diatasi melalui pendekatan yang holistik dan berkelanjutan.
Reformasi struktural yang memastikan akses yang setara bagi perempuan, pendidikan masyarakat untuk mengubah pandangan patriarki, dan dukungan yang lebih besar dari partai politik adalah langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi ketidakadilan gender dalam politik.
Baca Juga:Â Ketimpangan Gender di Industri Teknologi: Mengidentifikasi Hambatan dan Peluang untuk Perempuan
Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran akan manfaat partisipasi perempuan dalam politik, baik bagi kesetaraan gender maupun bagi kualitas kebijakan publik.
Dengan menciptakan sistem politik yang inklusif dan adil, kita dapat mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan bagi semua.
Penulis: Pratika Gunareksa
Mahasiswa Prodi Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Dosen Pengampu: Dr.Tutik Sulistyowati, M.Si.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Daftar Pustaka
Irawan, Anang Dony. PENDIDIKAN PEMILIH DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019. Replik 7, no. 1 (2019): 55–70. https://jurnal.umt.ac.id/index.php/replik/article/view/2448/1543
Priandi, Rizki, and Kholis Roisah. UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 1 (2019): 106–16. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/view/4284.
Pulungan, Ririn Anggreni. Filsafat Politik Feminis Kritik Terhadap Struktur Kekuasaan Patriarki Dalam Sistem Politik. Literacy Notes 1, no. 2 (2023): 1–9. https://liternote.com/index.php/ln/article/view/26/32.
Sanger, Beverly Gabrille. PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL. LEX ET SOCIETATIS VII, no. 3 (2019): 163–71. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/24689.
Umagapi, Juniar Laraswanda. REPRESENTASI PEREMPUAN DI PARLEMEN HASIL PEMILU 2019: TANTANGAN DAN PELUANG. Journal Kajian 25, no. 1 (2020): 19–34. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/1886.
Vasandani, Malika Rajan, Lippo Village, Dwi Putra Nugraha, Lippo Village, Susi Susantijo, and Lippo Village. Affirmative Action Study on the Political Rights of Women in the Indonesian Constitution. Constitutional Review 8, no. 1 (2022): 62–86. https://consrev.mkri.id/index.php/const-rev/article/view/813/pdf.
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News