Abstrak
Peran strategis Generasi Z dalam upaya bela negara adalah hal krusial pada era kontemporer yang ditandai dengan krisis global dan disrupsi digital.
Generasi Z, yang lahir dan tumbuh dalam era teknologi serta arus informasi tanpa batas, memiliki potensi besar dalam mempertahankan eksistensi dan keutuhan bangsa melalui cara-cara yang non-konvensional.
Sayangnya, pendekatan bela negara selama ini masih identik dengan pendekatan seremonial dan militeristik yang kurang relevan bagi generasi muda saat ini.
Dengan pendekatan analisis kualitatif dan studi literatur, artikel ini menyusun kerangka teoretis serta mengeksplorasi studi kasus partisipasi sosial-politik Gen Z sebagai bentuk nyata bela negara.
Pembahasan menyoroti tantangan seperti apatisme politik, paparan disinformasi, dan krisis identitas nasional, serta menawarkan strategi transformasi bela negara berbasis digital, partisipatif, dan kontekstual.
Artikel ini merekomendasikan pembaruan kebijakan pendidikan kewarganegaraan dan perluasan ruang partisipasi generasi muda sebagai solusi jangka panjang dalam memperkuat ketahanan bangsa.
Kata Kunci: Generasi Z, bela negara, partisipasi digital, krisis global, pendidikan kebangsaan
Abstract
The strategic role of Generation Z is crucial in contemporary national defense efforts amid global crises and digital disruption.
Born and raised in the era of technology and limitless information flows, Generation Z possesses immense potential to contribute to national resilience through non-traditional approaches.
Unfortunately, current national defense paradigms remain ceremonial and militaristic, failing to resonate with today’s youth.
Using a qualitative analytical framework and literature review, this article constructs a theoretical foundation and examines case studies of Gen Z’s sociopolitical engagement as practical forms of defending the nation.
It highlights challenges such as political apathy, disinformation exposure, and national identity crises, while proposing transformative strategies for national defense that are digital, participatory, and contextual.
The article recommends reforms in citizenship education and expanded avenues for youth participation as long-term solutions to strengthening national resilience.
Keywords: Generation Z, national defense, digital participation, global crisis, civic education
Pendahuluan
Di tengah dinamika dunia yang semakin kompleks, bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan multidimensional yang menguji ketahanan nasional.
Krisis iklim, instabilitas geopolitik, ancaman siber, serta disrupsi sosial akibat perkembangan teknologi menjadi realitas baru yang tidak bisa diabaikan.
Dalam konteks ini, urgensi bela negara tidak hanya berhubungan dengan pertahanan teritorial, melainkan juga menyangkut aspek sosial, kultural, ekonomi, dan ideologis yang lebih luas.
Sementara itu, demografi Indonesia saat ini didominasi oleh kelompok usia muda, khususnya Generasi Z, yakni mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023), Gen Z mencakup sekitar 27,9% dari total penduduk Indonesia.
Mereka dikenal sebagai digital native yang sangat adaptif terhadap teknologi, aktif di media sosial, dan memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu sosial dan lingkungan.
Namun, di sisi lain, Gen Z juga dihadapkan pada tantangan berupa rendahnya literasi politik, meningkatnya disinformasi digital, serta krisis identitas kebangsaan akibat pengaruh budaya global.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: Bagaimana seharusnya bela negara dimaknai dan dijalankan oleh Generasi Z dalam konteks kekinian?
Apakah pendekatan-pendekatan konvensional masih relevan untuk generasi yang tumbuh dalam ekosistem digital?
Atau perlu adanya redefinisi paradigma bela negara agar lebih inklusif, kontekstual, dan berakar pada kesadaran kritis?
Artikel ini hadir untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan menggali peran potensial Generasi Z dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa melalui pendekatan partisipatif dan digital.
Penelitian ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga memanfaatkan data empirik untuk menunjukkan bahwa semangat bela negara dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk aksi nyata, mulai dari advokasi sosial, pengaruh di ruang digital, hingga partisipasi dalam demokrasi.
Dengan menyusun kerangka teoretis yang kuat dan menyandingkannya dengan studi kasus aktual, artikel ini bertujuan untuk:
- Mengkaji ulang makna bela negara dalam konteks Generasi Z.
- Menawarkan strategi alternatif yang relevan dengan karakteristik generasi muda saat ini.
- Memberikan rekomendasi kebijakan untuk memperkuat pendidikan kewarganegaraan yang kontekstual dan partisipatif.
Dengan demikian, harapannya, bela negara tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai kewajiban formal, melainkan sebagai komitmen kolektif untuk menjaga dan merawat masa depan bangsa di tengah tantangan zaman yang terus berubah.
Kerangka Teoritis dan Mekanisme
2.1 Konsep Bela Negara dalam Konteks Kontemporer
Bela negara dalam pengertian tradisional identik dengan pertahanan militer dan loyalitas terhadap negara secara fisik.
Namun, dalam konteks kekinian, konsep ini telah berkembang menjadi suatu bentuk partisipasi aktif warga negara dalam menjaga eksistensi dan martabat bangsa di berbagai bidang—politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan (Sukma, 2020).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara mendefinisikan bela negara sebagai “tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut dalam menjaga kedaulatan negara.”
Dalam konteks globalisasi dan digitalisasi, bela negara juga mencakup ketahanan terhadap pengaruh ideologis eksternal, disinformasi, penetrasi budaya asing, serta kerentanan terhadap polarisasi politik.
Oleh karena itu, pendekatan baru dalam bela negara menekankan pada ketahanan sosial, daya kritis, serta keterlibatan aktif dalam isu publik dan pembangunan nasional.
2.2 Teori Kewargaan dan Partisipasi Sosial
Landasan teoretis dalam memahami peran Gen Z dalam bela negara dapat dijelaskan melalui kerangka teori kewargaan aktif (active citizenship). Menurut Westheimer dan Kahne (2004), ada tiga tipe warga negara:
- The personally responsible citizen – mematuhi hukum dan norma sosial. The participatory citizen – aktif dalam komunitas dan kegiatan sosial.
- The justice-oriented citizen – kritis terhadap ketimpangan sosial dan terlibat dalam perubahan struktural.
Dalam konteks ini, bela negara oleh Gen Z idealnya melibatkan kombinasi dari ketiga tipe kewarganegaraan tersebut, namun lebih ditekankan pada model partisipatif dan keadilan sosial, sesuai karakter mereka yang cenderung kritis, inklusif, dan berorientasi pada isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan gender, dan hak digital.
2.3 Karakteristik dan Modal Sosial Generasi Z
Generasi Z adalah generasi pertama yang tumbuh dalam era internet dan media sosial. Mereka ditandai oleh:
- Literasi digital tinggi, meskipun tidak selalu diikuti literasi kritis.
- Keterhubungan global, yang membuka ruang solidaritas lintas negara.
- Kecenderungan pada visual dan narasi singkat, seperti video pendek dan meme sebagai media penyampaian pesan.
Keterbukaan pada keberagaman, termasuk dalam isu gender, agama, dan budaya.
Studi oleh Twenge (2018) dan Pew Research Center (2020) menunjukkan bahwa Gen Z memiliki kepedulian tinggi terhadap keadilan sosial, lingkungan, dan demokrasi, namun juga cenderung mengalami tekanan mental, krisis eksistensial, dan kelelahan digital.
Modal sosial utama Gen Z adalah kemampuan mereka memobilisasi isu melalui dunia maya (online mobilization), menjadikan platform digital sebagai ruang baru untuk “membela negara” dalam bentuk advokasi, kampanye sosial, edukasi publik, dan solidaritas komunitas.
2.4 Mekanisme Bela Negara oleh Generasi Z
Dalam konteks kontemporer, mekanisme bela negara oleh Gen Z dapat dilakukan melalui:
- Pendidikan nilai kebangsaan yang kontekstual: Materi bela negara yang tidak kaku, tapi dikaitkan dengan isu-isu aktual dan kehidupan nyata Gen Z.
- Digital citizenship: Kesadaran akan etika berinternet, perlindungan data pribadi, dan tanggung jawab menyampaikan informasi yang benar.
- Aktivisme sosial dan kampanye digital: Aksi daring untuk mendukung keadilan sosial, kebijakan pro-rakyat, dan nilai-nilai konstitusional.
- Partisipasi dalam demokrasi: Menggunakan hak suara, terlibat dalam forum publik, atau berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan, baik langsung maupun melalui media sosial.
- Kolaborasi komunitas: Keterlibatan dalam komunitas relawan, kegiatan lingkungan, edukasi non-formal, dan jaringan advokasi berbasis kepemudaan.
Dengan pendekatan ini, bela negara menjadi relevan, kontekstual, dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari Generasi Z.
Transformasi paradigma ini juga menjadi kunci dalam membangun ketahanan nasional yang adaptif terhadap dinamika zaman.
Studi Kasus dan Data Empiris
3.1 Pandangan Generasi Z terhadap Negara dan Isu Sosial
Generasi Z dikenal memiliki kesadaran tinggi terhadap isu-isu sosial, namun tidak serta-merta memiliki keterikatan kuat terhadap simbol dan institusi negara.
Survei nasional yang dilakukan oleh CSIS Indonesia (2022) menunjukkan bahwa hanya 52,3% responden usia 17–25 tahun yang menyatakan memiliki “rasa kebangsaan yang kuat”, meskipun 78,1% dari mereka aktif mengikuti isu sosial dan politik melalui media sosial.
Di sisi lain, Lembaga Survei Indonesia (2023) mencatat bahwa 65% Gen Z menyatakan bahwa “membela negara” tidak harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan formal atau seremonial, tetapi dapat dilakukan melalui “kontribusi sosial yang nyata”.
Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran persepsi bela negara dari bentuk loyalitas pasif menjadi keterlibatan aktif dalam isu-isu publik.
3.2 Keterlibatan dalam Pemilu dan Partisipasi Politik
Partisipasi Gen Z dalam Pemilu 2024 menjadi salah satu indikator penting bela negara dalam konteks demokrasi.
Berdasarkan data KPU RI, sekitar 56,5% dari total pemilih tetap pada Pemilu 2024 berasal dari generasi milenial dan Gen Z.
Meskipun jumlahnya besar, partisipasi Gen Z tidak hanya terlihat pada tingkat penggunaan hak suara, tetapi juga dalam berbagai aktivitas digital politik:
- Kampanye berbasis media sosial: Banyak akun TikTok dan Instagram digunakan untuk membagikan edukasi politik, debat calon legislatif, hingga kritik terhadap penyelenggara pemilu.
- Influencer politik Gen Z: Tokoh-tokoh muda, seperti Gita Savitri, Cinta Laura, dan Jerome Polin secara aktif menyuarakan isu-isu nasional melalui kanal mereka.
- Gerakan “Golput Cerdas”: Sebuah respons terhadap kekecewaan atas kandidat atau partai, namun tetap dibarengi dengan kampanye literasi demokrasi.
Partisipasi semacam ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak apatis, melainkan mengartikulasikan politik dalam bentuk yang lebih organik dan relevan dengan bahasa mereka.
3.3 Aktivisme Sosial dan Kampanye Digital
Banyak aktivisme digital yang dimotori atau didukung oleh Gen Z bisa dikategorikan sebagai bentuk baru bela negara yang sosial dan partisipatif. Beberapa kasus berikut menjadi sorotan:
#HutanItuIndonesia (2020–2021)
Gerakan kampanye lingkungan yang berhasil mengumpulkan donasi dan dukungan publik untuk pelestarian hutan di Indonesia, didorong oleh kolaborasi Gen Z di media sosial, influencer, dan organisasi lingkungan.
#ReformasiDikorupsi (2019–2023)
Aksi digital dan fisik menolak pelemahan KPK, RKUHP, dan kebijakan otoriter lainnya. Gen Z terlibat aktif melalui konten kreatif, seperti ilustrasi, lagu, komik digital, dan livestream.
Climate Strike Indonesia
Gerakan ini dimotori oleh anak muda seperti Theresia Naibaho dan Fridays for Future Indonesia, yang melakukan unjuk rasa dan advokasi kebijakan iklim.
Mereka menggunakan data ilmiah, narasi personal, dan strategi komunikasi digital untuk mengajak publik peduli.
Kegiatan lokal:
Seperti program relawan berbasis Gen Z dalam komunitas “Indonesia Youth Action”, “Sudah Dong”, dan “Indorelawan” yang memfokuskan pada isu pendidikan, gender, lingkungan, dan kesejahteraan sosial.
3.4 Peran Gen Z dalam Respons Krisis dan Bencana
Dalam konteks bela negara berbasis solidaritas sosial, peran Gen Z sangat menonjol saat terjadi krisis nasional, seperti pandemi COVID-19.
Studi oleh UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 65% remaja dan pemuda berpartisipasi aktif dalam kegiatan sukarela, seperti:
- Edukasi protokol kesehatan melalui konten Instagram dan TikTok.
- Penggalangan dana daring untuk masyarakat rentan.
- Pembuatan platform informasi dan penyuluhan kesehatan berbasis komunitas.
Contoh seperti inilah yang menunjukkan bahwa bela negara dapat terjadi di luar struktur formal, dan justru lebih efektif ketika dilakukan dari akar rumput, dengan bahasa dan teknologi yang dikuasai oleh generasi muda.
3.5 Temuan Inti
Dari berbagai data dan studi kasus di atas, terdapat beberapa benang merah:
Bela negara bagi Gen Z lebih bersifat sosial, partisipatif, dan digital, bukan sekadar simbolik atau formal.
Platform digital menjadi arena utama perwujudan rasa kebangsaan, melalui aktivisme, edukasi, advokasi, dan solidaritas.
Generasi Z menunjukkan keberanian dalam menyuarakan kritik sekaligus menawarkan solusi, menjadikan mereka aktor penting dalam demokrasi partisipatoris.
Krisis atau bencana nasional justru memunculkan solidaritas Gen Z, menunjukkan bahwa nasionalisme dapat muncul melalui aksi kemanusiaan.
Pembahasan Analitis
4.1 Perubahan Paradigma Bela Negara
Data dan studi kasus sebelumnya menunjukkan bahwa Generasi Z tidak sepenuhnya apatis terhadap isu kebangsaan.
Sebaliknya, mereka aktif dan kritis, namun tidak menyalurkan semangat kebangsaan melalui jalur formal seperti upacara atau kegiatan simbolik.
Hal ini menandakan terjadinya pergeseran paradigma bela negara dari model seremonial-militeristik menuju bentuk yang lebih cair, berbasis partisipasi sosial dan digital.
Dalam kacamata Westheimer dan Kahne (2004), mayoritas Gen Z cenderung masuk ke kategori participatory citizen dan justice-oriented citizen.
Mereka tidak hanya mematuhi hukum, tetapi juga aktif mengkritisi struktur yang dianggap tidak adil, serta menggunakan teknologi untuk mengorganisasi gerakan sosial.
Ini menunjukkan bahwa bela negara oleh Gen Z tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dan transformatif.
4.2 Bela Negara sebagai Konstruksi Sosial Digital
Fenomena kampanye digital seperti #ReformasiDikorupsi dan #HutanItuIndonesia menunjukkan bahwa ruang digital telah menjadi arena baru bela negara.
Di sini, narasi nasionalisme dikonstruksi ulang melalui media sosial dengan bahasa visual, emosi kolektif, dan solidaritas virtual.
Dalam konteks ini, bela negara tidak lagi dimonopoli oleh negara sebagai institusi, melainkan menjadi domain bersama yang bisa diakses, dibentuk, dan diubah oleh warga negara, termasuk Gen Z.
Konsep ini sejalan dengan gagasan civic engagement berbasis digital (Bennett & Segerberg, 2012) di mana generasi muda menciptakan identitas kewargaan melalui aksi terhubung (connected action), bukan aksi terorganisasi formal.
Mereka lebih memilih keterlibatan yang fleksibel, spontan, dan berbasis nilai, bukan struktur hierarkis.
4.3 Ketegangan antara Loyalitas dan Kritis terhadap Negara
Salah satu tantangan utama dalam narasi bela negara oleh Gen Z adalah ketegangan antara loyalitas terhadap negara dan sikap kritis terhadap pemerintah.
Banyak Gen Z yang vokal dalam mengkritisi kebijakan publik, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, kritik ini sering kali disalahartikan sebagai bentuk anti-negara atau tidak nasionalis.
Padahal, dalam paradigma demokrasi modern, kritik adalah bagian dari bela negara.
Seperti yang dikemukakan oleh Habermas (1996), ruang publik yang sehat memerlukan diskursus kritis warga negara terhadap kekuasaan sebagai bentuk tanggung jawab dan partisipasi.
Dalam konteks Indonesia, tantangan ini diperparah oleh minimnya ruang aman untuk menyampaikan kritik tanpa stigmatisasi.
Oleh karena itu, redefinisi bela negara harus mencakup kebebasan berpendapat sebagai elemen inti dalam menjaga kedaulatan rakyat.
4.4 Hambatan Struktural: Pendidikan dan Akses
Meskipun Gen Z memiliki potensi besar, banyak di antara mereka yang belum mendapatkan akses terhadap pendidikan kebangsaan yang kontekstual dan adaptif.
Kurikulum pendidikan masih cenderung normatif dan tidak dialogis.
Materi bela negara sering kali disampaikan sebagai hafalan dan simbolisme, bukan pemahaman kritis yang relevan dengan realitas mereka.
Selain itu, terdapat ketimpangan akses terhadap infrastruktur digital, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), yang menyebabkan partisipasi Gen Z tidak merata.
Tantangan ini perlu diatasi melalui kebijakan yang tidak hanya fokus pada isi pendidikan, tetapi juga pemerataan akses, pelatihan literasi digital, dan penguatan kapasitas komunitas.
4.5 Menuju Model Bela Negara Partisipatoris dan Inklusif
Dari pembahasan di atas, dapat dirumuskan model baru bela negara bagi Generasi Z, yaitu:
- Inklusif secara sosial – menghargai keberagaman latar belakang, budaya, gender, dan ideologi.
- Digital dan terdesentralisasi – memanfaatkan ruang digital untuk advokasi, edukasi, dan mobilisasi isu kebangsaan.
- Kritis namun konstruktif – mengedepankan pemikiran rasional dan partisipasi dalam perumusan kebijakan, bukan sekadar kepatuhan.
- Berbasis komunitas – didukung oleh jaringan kolektif dan solidaritas horizontal antar anak muda.
Dengan model ini, bela negara menjadi lebih relevan dengan kebutuhan zaman dan mampu menjembatani antara aspirasi generasi muda dengan tujuan kolektif bangsa.
Implikasi dan Rekomendasi
5.1 Implikasi terhadap Pendidikan dan Kebijakan Publik
Temuan dalam artikel ini memberikan sejumlah implikasi penting terhadap arah pendidikan kewarganegaraan dan kebijakan bela negara di Indonesia:
Perluasan Definisi Bela Negara
Negara perlu memperluas definisi bela negara dari yang selama ini bersifat seremonial dan simbolik, menjadi suatu bentuk keterlibatan aktif warga negara dalam menjaga integritas sosial, budaya, dan demokrasi.
Bela negara oleh Gen Z harus diakui dalam bentuk kontribusi sosial, kritik konstruktif, dan partisipasi digital.
Kebutuhan Redesign Kurikulum Kewarganegaraan
Kurikulum pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan perlu direvisi untuk mencerminkan konteks sosial dan digital masa kini.
Materi harus mendorong diskusi kritis, simulasi pengambilan keputusan, edukasi media digital, serta penguatan identitas nasional melalui isu global yang dekat dengan Gen Z, seperti perubahan iklim, inklusi sosial, dan hak digital.
Penguatan Literasi Digital dan Politik
Pemerintah, sekolah, dan komunitas perlu berkolaborasi untuk meningkatkan literasi digital di kalangan pemuda, terutama kemampuan mengenali hoaks, memahami politik nasional, serta menyuarakan aspirasi melalui kanal yang tepat.
Ini merupakan fondasi penting untuk menciptakan generasi warga negara yang sadar dan tangguh secara informasi.
5.2 Rekomendasi Strategis
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan, berikut adalah beberapa rekomendasi konkret:
A. Untuk Pemerintah dan Pembuat Kebijakan
- Integrasikan program bela negara non-militeristik ke dalam pendidikan formal dan informal, seperti program relawan digital, edukasi anti-hoaks, dan pelatihan kepemudaan partisipatif.
- Kembangkan platform digital nasional sebagai ruang interaktif bagi Gen Z menyampaikan aspirasi dan berdiskusi kebangsaan.
- Libatkan perwakilan Gen Z dalam forum kebijakan, seperti musyawarah kepemudaan nasional atau perumusan kebijakan pendidikan.
B. Untuk Institusi Pendidikan
- Ciptakan pendekatan belajar berbasis project-based dengan tema kebangsaan, lingkungan, dan keadilan sosial.
- Libatkan siswa dalam kegiatan simulasi demokrasi, debat kebijakan publik, dan program sekolah digital yang merespon isu aktual.
- Fasilitasi komunitas siswa untuk mengembangkan kampanye kreatif bertema bela negara berbasis minat dan bakat (film, podcast, desain grafis, dll).
C. Untuk Komunitas dan Masyarakat Sipil
- Dukung ruang aman bagi anak muda untuk berdiskusi dan berekspresi tanpa stigmatisasi.
- Fasilitasi pelatihan kepemimpinan digital, manajemen advokasi, dan keterampilan komunikasi publik untuk Gen Z.
- Bangun kolaborasi antara komunitas lokal dan nasional dalam menjalankan gerakan solidaritas sosial, lingkungan, dan kebudayaan sebagai bagian dari upaya bela negara.
D. Untuk Generasi Z itu sendiri
- Menyadari bahwa bela negara bukan sekadar slogan, tetapi perwujudan nyata dalam kehidupan sehari-hari: melawan disinformasi, peduli sesama, menjaga keberagaman, dan aktif dalam demokrasi.
- Memanfaatkan kecakapan digital tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk edukasi dan mobilisasi sosial.
- Menjadi jembatan antar-generasi dalam menjaga warisan bangsa sambil membawanya ke masa depan yang lebih relevan dan inklusif.
5.3 Penutup Bagian
Rekomendasi di atas bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau sekolah, melainkan agenda kolektif.
Generasi Z membutuhkan kepercayaan dan ruang untuk berkembang sebagai aktor bela negara baru, dan negara perlu berani meninggalkan pendekatan lama demi membangun ketahanan nasional yang kontekstual dan partisipatif.
Kesimpulan
Bela negara, dalam lanskap dunia yang terus berubah, tidak lagi dapat didekati dengan paradigma lama yang menekankan pada simbolisme dan seremonial formal belaka.
Generasi Z, sebagai kelompok demografis dominan yang tumbuh dalam ekosistem digital, menuntut redefinisi makna bela negara yang lebih kontekstual, partisipatif, dan relevan dengan realitas mereka.
Melalui studi literatur dan penelusuran data empirik, artikel ini menunjukkan bahwa Generasi Z memiliki potensi luar biasa dalam membela negara, bukan melalui cara-cara militeristik, tetapi melalui keterlibatan aktif dalam isu-isu publik, partisipasi digital, advokasi sosial, dan solidaritas lintas komunitas.
Gerakan mereka di media sosial, partisipasi dalam pemilu, hingga respons terhadap krisis membuktikan bahwa nasionalisme dapat tampil dalam wajah yang lebih progresif dan konstruktif.
Namun, potensi ini tidak akan berkembang optimal jika tidak didukung oleh kebijakan pendidikan dan sosial yang adaptif.
Negara, sekolah, dan masyarakat harus merancang ruang belajar dan partisipasi yang lebih terbuka, kritis, dan inklusif, di mana Gen Z dapat menjalankan peran bela negara tanpa harus meninggalkan identitas dan aspirasi generasional mereka.
Dengan demikian, bela negara bukanlah tugas eksklusif aparatur negara, tetapi menjadi tanggung jawab bersama, termasuk generasi muda.
Jika diarahkan dan difasilitasi dengan tepat, Generasi Z dapat menjadi benteng utama pertahanan bangsa—bukan dengan senjata, melainkan dengan ide, solidaritas, dan keterlibatan aktif dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Penulis:
1. Syabinna Azzahra Roselanie
2. Dimas Dzaki Al Baihaqi Windrasendriya
3. Ghozi Tammami Fadhlurrohman
Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono M.Si.
Referensi
Bennett, W.L. and Segerberg, A. (2012) ‘The logic of connective action: Digital media and the personalization of contentious politics’, Information, Communication & Society, 15(5), pp. 739–768. https://doi.org/10.1080/1369118X.2012.670661
Badan Pusat Statistik (2023) Statistik Pemuda Indonesia 2023. Jakarta: BPS RI. Available at: https://www.bps.go.id
CSIS Indonesia (2022) Survei Nasional Persepsi Anak Muda terhadap Politik dan Kebangsaan. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Habermas, J. (1996) Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge, MA: MIT Press.
KPU RI (2024) Data Pemilih Tetap Pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Available at: https://www.kpu.go.id
Lembaga Survei Indonesia (2023) Opini Publik Generasi Z terhadap Politik, Pemerintah, dan Partisipasi Sosial. Jakarta: LSI.
Pew Research Center (2020) On the Cusp of Adulthood and Facing an Uncertain Future: What We Know About Gen Z So Far. Washington DC: Pew Research Center. Available at: https://www.pewresearch.org
Sukma, R. (2020) ‘Bela Negara dan Ketahanan Sosial di Era Globalisasi’, Jurnal Pertahanan Negara, 6(1), pp. 1–12.
Twenge, J.M. (2018) iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. New York: Atria Books.
UNICEF Indonesia (2021) Pandemi dan Anak Muda: Suara Generasi Z dalam Krisis. Jakarta: UNICEF.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Westheimer, J. and Kahne, J. (2004) ‘What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy’, American Educational Research Journal, 41(2), pp. 237–269.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News