Bushido: Konsep Kesetiaan yang Membentuk Citra Jepang di Mata Dunia

Budaya
Sumber: Behance.net

Bushido (武士道) memiliki arti yaitu jalan kesatria, kesatria yang dimaksud di Jepang adalah para samurai. Bushido merupakan sebuah kode etik kesatriaan golongan samurai dalam feodalisme Jepang.

Bushido berasal dari nilai-nilai moral samurai, sering menekankan beberapa kombinasi dari kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni bela diri, dan kehormatan sampai mati.

Meskipun istilah Bushido tidak digunakan sampai zaman Edo, konsep itu sendiri terbentuk pada zaman Kamakura, berkembang melalui adopsi cita-cita Neo-Konfusianisme pada zaman Edo, menjadi landasan moralitas nasional setelah Restorasi Meiji.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Makanan Khas Jepang yang Sedang Hits di Jogja

Bushido tidak hanya melibatkan semangat bela diri dan keterampilan dengan senjata, tetapi juga kesetiaan mutlak kepada tuannya, rasa kehormatan pribadi yang kuat pengabdian pada tugas dan keberanian, jika diperlukan, untuk mengorbankan hidup seseorang dalam pertempuran atau dalam ritual.

Konsep pemikiran Bushido sendiri lahir dari dua faktor, yaitu masuknya ajaran agama Buddha ke Jepang dan ajaran Neo-Konfusianisme. Akan tetapi yang paling banyak mempengaruhi adalah ajaran Neo-Konfusianisme.

Sejarah Perkembangan

Agama Buddha pertama kali masuk ke Jepang pada abad ke-6 yang dibawa oleh China dan memiliki dampak yang sangat besar terhadap budaya Jepang hingga terciptalah pemikiran atau konsep Bushido ini.

Di agama Buddha (Buddhisme Zen) para penganutnya diajarkan untuk menekankan disiplin fisik, pengendalian diri, dan praktik meditasi di mana berfungsi untuk mengendalikan pikiran dan nafsu juga mencapai pencerahan diri.

Setelah mencapai pencerahan spiritual (satori) melalui pengalaman sifat Buddha di dalam diri di mana “Pencerahan dipandang sebagai pembebasan dari sifat intelektual manusia, dari beban gagasan dan perasaan tetap tentang kenyataan” maka manusia akan dianggap suci kembali dan dapat menerima pemikiran Bushido tersebut.

Kemudian mulai masuklah ajaran Konfusianisme di mana ajaran ini menekankan tatanan sosial berdasarkan aturan etika yang ketat, berpusat pada keluarga dan Negara. Keduanya harus diatur oleh orang-orang terpelajar dan kebijaksanaan etis yang unggul.

Aliran Neo-Konfusianis sebagian besar menekankan prinsip-prinsip li (kepatutan) dan jen (humanisme) di mana kesalehan berbakti kepada orang tua dan kesetiaan terhadap tuan sangat dihargai.

Bushido dengan adanya ajaran Konfusianisme ini berkembang dengan dukungan samurai pada periode Edo, dan konsep Konfusianisme, seperti kesetiaan dan humanisme, meresap ke dalam masyarakat samurai dan secara bertahap menyebar ke masyarakat umum, sehingga berlanjut keberadaan kepercayaan Konfusianisme yang kuat di Jepang modern.

Baca Juga: Belenggu Budaya Patriarki terhadap Kesetaraan Gender dalam Seleksi Universitas di Jepang dan Indonesia

7 Kode Etik Kebajikan

Sumber: unitedpay.co.id

Bushido memiliki kode etik yang melatarbelakangi pemikiran dan tingkah laku mereka, kode etik ini adalah tujuh kebajikan yang harus dimiliki oleh para samurai Jepang.

Tujuh kode etik tersebut adalah Keadilan ( 義 gi ), seorang samurai percaya pada keadilan buta. Dia akan melakukan segala yang mungkin untuk mewujudkannya dan dia akan selalu berjuang agar itu terpenuhi.

Keberanian (勇氣 yūki) sangat penting untuk berani ketika situasi membutuhkannya dan menggerakkan massa untuk membela alasan yang adil, bahkan jika itu berarti menempatkan hidup dalam risiko.

Berbuat baik ( 仁 jin ) samurai adalah seorang prajurit yang terampil, kuat dan cepat, tidak seperti pria lain yang berjalan kaki. Karena alasan ini, dia harus selalu menggunakan kekuatannya untuk melindungi yang paling lemah.

Menghormati (禮 rei), kekejaman dan rasa tidak hormat adalah musuh terbesar dari setiap samurai yang menghargai diri sendiri. Bahkan dalam pertempuran, prajurit harus melakukannya, bersikap hormat dan baik dengan lawan.

Kejujuran ( 誠 makoto), kata seorang samurai memiliki nilai lebih dari batu-batu paling berharga di dunia. Ketika dia mengatakan dia akan melakukan sesuatu, maka itu selesai.

Kehormatan (名誉 meiyo), jika karena alasan apa pun, dan sekecil apa pun, mereka telah melakukan tindakan tidak terhormat, mereka hanya dapat memulihkannya dengan seppuku.

Dan yang terakhir adalah Loyalitas ( 忠義 chūgi) dalam Hagakure (dikutip dalam Suzuki, 1988, hlm. 72-73), samurai era Edo Yamamoto menyatakan bahwa “Bushido berarti tekad untuk mati” (Bushido towa shinu koto to mitsuketari ).

Baca Juga: Aspek Problematik Sistem Senioritas dalam Masyarakat Jepang

Ini menyiratkan bahwa semua samurai harus hidup dengan terhormat agar tidak menyesal ketika mereka meninggal, karena menghadapi kematian adalah kejadian sehari-hari.

Namun bangsa Jepang menyalahgunakan konsep kesetiaan dan menghasilkan patriot fanatik ketika berperang melawan negara lain pada abad ke-19 dan ke-20. Salah satu contoh penyalahgunaan konsep kesetiaan dan patriot fanatik adalah ‘Kamikaze’.

Bushido Saat Ini dan Dampaknya

Modernisasi dipromosikan pada zaman Meiji, masyarakat melupakan pusat spiritual dari semangat Bushido Jepang, dan dikatakan oleh beberapa pihak bahwa Bushido lenyap saat periode Meiji berakhir (Nomura, 1995, hlm. 237).

Semangat Bushido sebagai ciri khas Jepang hampir tidak ada sekarang; Namun, beberapa karakteristik Bushido masih dapat ditemukan dalam seni bela diri dan estetika, yang mengikuti bentuk-bentuk tertentu (kata) yang dipraktikkan berulang kali sampai praktisi menguasai gerakan atau prinsip dan memasuki keadaan “tanpa pikiran” di mana yang terpenting adalah tujuh kebajikan Bushido tersebut.

Akan tetapi pada saat ini etika, semangat, ataupun ajaran moral yang ada pada Bushido diajarkan pada kurikulum di Jepang melalui pelajaran moral (doutoku), termasuk di dalamnya adalah unsur kesetiaan. Hal ini dilakukan untuk memupuk moral sejak dini. Namun, etika moral tradisional yang selama ini dianggap melekat dalam diri bangsa Jepang tampak semakin memudar.

Baca Juga: Danjo Kankei, Sebuah Fenomena Sosial Hubungan Pria dan Wanita di Jepang

Kesetiaan Bushido juga menyebabkan orang Jepang bekerja berlebihan, yang terkadang berakhir dengan kematian (karoshi) karena orang-orang berusaha menunjukkan bagaimana mereka melakukan yang terbaik untuk perusahaan dan bos mereka melalui kerja keras.

Selain itu, di zaman modern, beberapa orang Jepang terdorong untuk bunuh diri ketika mereka ingin membersihkan reputasi buruk atau ketika mereka ingin meminta maaf atas dosa atau kesalahan mereka di perusahaan atau keluarga mereka.

Orang Jepang cenderung menerima bahkan mengagungkan bunuh diri semacam ini dan bersimpati kepada para korban, dan hal ini berdampak negatif bagi masyarakat, terutama kaum muda, karena mereka mungkin berpikir bahwa bunuh diri adalah cara termudah untuk melepaskan diri dari segala rasa sakit.

Penulis: Ninik Purwasih
Mahasiswa Prodi Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Friday Karl. 1994. Bushidō or Bull? A Medieval Historian’s Perspective on the Imperial Army and the Japanese Warrior Tradition. Jurnal of the history teacher, 27(3), 5-7.

Nakamoto M. 2022. Bushido: The book that changed Japan’s image. Diakses pada 7 September               2022, dari https://www.gramedia.com/best-seller/cara-menulis-daftar-pustaka/amp/

Osamu Ikeno. 2002. The Japanese MInd: Understanding Contemporary Japamese Culture. Tuttle            Publishing.

Sainte Anastasie. 2022. Tujuh Kebajikan Bushido Jepang/ Budaya. Diakses pada 20 September 2022, dari https://id.sainte-anastasie.org/articles/cultura/las-siete-virtudes-del-bushido-japons.html

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI