Fakta Sejarah Rekayasa Bushido yang Mengejutkan

Sejarah Rekayasa Bushido

Pendahuluan

Mengikuti perkembangan teknologi dan informasi yang sangat signifikan membawa manusia pada era baru. Teknologi dan informasi dapat dengan mudah diperoleh di era baru ini. Jarak, ruang, dan waktu bukanlah menjadi hambatan lagi karena dengan teknologi semuanya dapat dimungkinkan terjadi. Disadari ataupun tidak, perkembangan tersebut dapat membawa dampak positif ataupun negatif.

Dampak yang menggungah etika serta moral untuk ikut campur dalam peran menentukan arah perkembangan Iptek agar tidak keluar dari kontrol manusia. Etika serta moral di sini bukan hanya digunakan untuk memberi hukuman atau menghakimi, akan tetapi juga untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan hati dan pikiran manusia.

Banyak sekali literasi tentang etika dan moral ditulis, sehingga kedua bidang itu bukanlah sesuatu yang baru di dalam kajian keilmuan. Tanpa kita sadari di dalam kehidupan ini setiap orang wajib untuk memiliki tanggung jawab terhadap moral dan harus berhubungan dengan dunia etika.

Bacaan Lainnya
DONASI

Etika dan moral pada realitanya merupakan dua hal yang berbeda walaupun banyak kalangan awam yang sering menyamakan keduanya. Menurut Franz Magnis Suseno (1989), istilah moral berada pada ranah praksis, yaitu penilaian mengenai benar dan salah sehingga memiliki wewenang untuk menentukan tindakan mana yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan. Sementara istilah etika itu sendiri berada pada ranah konsep yaitu tentang nilai dari moral tersebut.

Relativisme, yaitu hubungan dalam etika yang merupakan sebuah jalan alternatif yang digunakan untuk mencoba bersikap netral terhadap banyaknya etika dan moral yang hidup di dalam masyarakat. Meski di dalam perkembangannya masih banyak tokoh yang masih tidak sepakat akan adanya hubungan relativisme, di luar dari itu setiap masyarakat memiliki etika dan aturan moralnya sendiri yang berbeda-beda.

Contohnya adalah etika dan moral yang berlaku di Jepang sangatlah berbeda dengan etika yang ada di Indonesia ataupun Cina, meskipun negara-negara sama-sama berasal dari ras yang sama yaitu Mongoloid.

Baca Juga: Aspek Problematik Sistem Senioritas dalam Masyarakat Jepang

Hal lain yang menarik dari Jepang di antaranya adalah kemampuan bangsa Jepang untuk dapat menyerap budaya asing tanpa menghilangkan jati diri mereka. Caranya adalah dengan berasimilasi sehingga membentuk budaya lokal mereka sendiri yang disebut iitokodori.

Ciri khas bangsa Jepang ini dapat dirasakan dengan kuat ketika kita berada di Jepang. Negara ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya negara yang ada di dunia yang masih memiliki etika dan aturan moral yang sangat unik.

Jepang merupakan sebuah negara yang terbentuk dari kumpulan kepulauan yang terletak di bagian timur benua Asia. Dari sejarahnya, Jepang dicatat sebagai negara yang sanggup bangkit dari segala macam keterpurukan dalam waktu yang relatif sangat cepat dibandingkan dari bangsa manapun di dunia ini. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan bagaimana Jepang bangkit setelah mengalami kekalahan telak di dalam Perang Dunia II.

Kehancuran kota Hiroshima dan Nagasaki merupakan salah satu tombak yang membuat Jepang terpuruk pada perang dunia kedua yang disebabkan serangan bom atom dari pihak Amerika serikat pada tahun 1945. Pada akhirnya, saat ini Jepang mampu bangkit dan dapat menyayangi benua Eropa dalam hal kemajuan teknologi maupun ekonomi.

Etika serta aturan moral tadi dibentuk dari sesuatu yang telah dipertahankan, lalu dikembangkan mengikuti pola pikir zaman sehingga tidak tertinggal. Sebelum pada akhirnya menjadi sebuah tradisi yang memiliki sistem yang bersifat mengikat secara struktural adat dan budaya.

Sistem dari tradisi tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dirumuskan dalam sekejap mata saja, namun merupakan hasil dari penelitian dan pandangan luas yang dilakukan dalam rentang waktu yang sangat panjang dan telah teruji selama berabad-abad di dalam penerapannya. Tradisi sendiri merupakan sesuatu yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan pada akhirnya ketika generasi tersebut dirumuskan akan muncul sebuah sistem yang mengikat seperti Bushido.

1. Makna dari Bushido

Sumber foto : https://www.heavenshop.net/ (kiri),
http://udayrayana.com/ (kanan)

Tahukah kalian apakah itu Bushido? Jika kalian pernah menonton film Jepang yang menceritakan tentang samurai seperti Seven Samurai, 13 Assassins, ataupun Rorouni Kenshin pasti kalian akan sering mendengan istilah Bushido dalam film-film tadi. Mengapa demikian?

Bushido sendiri merupakan sebuah paham atau ajaran yang dianut oleh kaum Jepang kelas  samurai (Bushi) yang juga memiliki sebutan lain sebagai kode etik samurai. Ajaran tersebut secara turun-temurun telah menjadi pandangan hidup dan ideologi utama bagi para samurai.

Bushido terdiri dari tujuh kode etik dasar yaitu, keberanian (勇 = yuu), kebajikan  (仁 = jin), kehormatan (名誉 = meiyo), kejujuran (诚 makoto), kesetiaan (忠義 = chuugi), kesungguhan (义 gi), dan terakhir kesopanan (礼 = rei).

Menurut pendapat Yamashita yang dikutip dari Karina Arumsari (2008) dalam skripsi Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Bina Nusantara, Jakarta yang berjudul “Analisa Pengaruh Konsep Bushido Pada Tentara Kamikaze dalam Film Letters from Iwojima KaryaClint Eastwood” yang menyatakan bahwa Bushido merupakan pengaruh kuat pada setiap tindakan yang dilakukan oleh Tentara Kamikaze dalam film tersebut.

Menurut ajaran Bushido setiap tindakan dituntut untuk menunjukkan keberanian dan upaya untuk menjaga harga diri. Keberanian yang dimaksud adalah keberanian untuk dapat melakukan pengorbanan nyawa jika diperlukan. Bagi samurai, harga diri yang perlu dijaga bukan hanya miliknya sendiri saja, melainkan juga harga diri milik tuan, kelompok, bahkan milik musuh mereka juga.

Bushido memiliki ciri khas utama yang bersifat mutlak (zettai teki) pada tuan mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan melakukan junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuannya) dan adauchi (mewujudkan balas dendam tuannya).

Bagi samurai atau bushi, kebaikan tuannya merupakan on (budi) yang harus dibalaskan dengan chu (penghormatan kepada tuan) yang diwujudkan dengan giri (balas budi). Kedekatan ini merupakan hasil pengaruh dari hubungan erat tuan dan bawahan seperti keluarga atau yang disebut ie dalam budaya masyarakat Jepang pada zaman dulu.

Dari konsep di atas menjelaskan bahwa Bushido merupakan budaya yang terlahir dari rasa malu atau penyesalan akan hutang dan hanya dapat diselesaikan dengan melunasi hutang tersebut. Jadi, kewajiban samurai untuk melindungi tuan mereka adalah bentuk dari rasa tanggung jawab yang lahir dengan tulus dari hati mereka untuk melunasi hutang mereka kepada tuannya.

Kematian yang didapatkan dalam menjalani kewajiban mereka kepada tuannya dianggap sebagai sebuah penghargaan dan penghormatan tertinggi bagi para samurai. Konsep Bushido sendiri terpengaruh dari agama Buddha aliran Zen, kepercayaan Shinto dan aliran konfusianisme. Semuanya memberikan konstribusi dalam menyebarkan ajaran moral dan etika dalam kehidupan.

2. Sejarah Kemunculan Bushido

Sumber foto : https://www.amazon.com/ (kiri : Buku Bushido : The Soul of Japan),
Nitobe Inazo (kanan) https://www.kanko-hanamaki.ne.jp/

Menurut sejarahnya, Jepang berani melakukan usaha yang sangat keras agar dapat mengejar ketertinggalannya dengan perkembangan dunia dalam waktu yang cukup singkat. Mereka melakukan berbagai cara untuk belajar ilmu-ilmu dari negara barat yang di masa itu telah menjadi pusat kemajuan dunia.

Beragam kebiasaan Jepang yang ada pada masa sebelum Restorasi Meiji (1868) telah dihapuskan dan digantikan oleh kebiasaan baru yang diambil dari kebiasaan masyarakat di negara Barat. Setelah Restorasi Meiji terjadi pemerintah Jepang menghimbau kepada rakyatnya untuk menghapuskan atau menghentikan kebiasaan buruk yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat Jepang dan meniru kebiasaan dari negara-negara lain atau negara barat untuk memiliki kebiasaan yang dianggap lebih beradab.

Slogan yang populer di masa itu adalah “menciptakan Jepang yang beradab ini mengisyaratkan bahwa budaya Jepang pada masa itu dianggap tidak beradab oleh negara luar (barat).

Pada tahun 1890, Jepang pun pada akhirnya mengalami kemajuan yang cukup signifikan, seperti disahkannya konstitusi, diberlakukannya sistem parlemen, dan kemajuan di sektor industri. Pemerintah dan kaum terpelajar di Jepang pada masa itu pun menganggap bahwa sudah waktunya Jepang tidak terus meniru dan menciptakan tiruan budaya barat di negara mereka, tetapi harus mulai menciptakan budaya nasional yang asli berasal dari Jepang sendiri.

Bushido itu sendiri merupakan hasil rekayasa budaya nasional yang diciptakan oleh salah satu kaum terpelajar Jepang untuk memperkenalkan kepada dunia bahwa Jepang merupakan negara yang beradab.

Baca Juga: Danjo Kankei, Sebuah Fenomena Sosial Hubungan Pria dan Wanita di Jepang

Pada tahun 1912, Basil Hall Chamberlain (sarjana Inggris), mantan profesor filologi pada universitas imperial Tokyo, menulis dalam bukunya yang berjudul The Invention of a New Religion. Bushido itu sendiri merupakan hal yang baru dan tidak dikenal sampai sekitar satu atau dua dekade yang lalu.

Bushido sama sekali tidak disinggung dalam karya-karya para ahli Jepang seperti Kaempfer, Siebolt, Satow, dan Rein. Kata Bushido sendiri tidak ada dalam kamus asli Bahasa Jepang ataupun kamus bahasa asing sebelum tahun 1900. Kaum kesatria yang disebut samurai tentu saja ada di Jepang, seperti kaum ksatria lainnya di negara-negara lain di dunia pada masa itu. Akan tetapi, Bushido yang merupakan kode etik dari samurai tidak pernah ada sebelumnya.

Orang pertama yang memperkenalkan istilah Bushido kepada dunia adalah Nitobe Inazo (1862-1933) dari bukunya yang berjudul Bushido : the Soul of Japan.

Nitobe sendiri merupakan keturunan dari keluarga kelas Bushi atau samurai akan tetapi pada tahun 1868 ketika ia berusia 6 tahun terjadi pergantian penguasa di Jepang sehingga pada saat itu kelas Bushi dihapuskan. Ketika ia berusia 9 tahun, dia meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke Tokyo untuk belajar Bahasa Inggris.

Pada tahun 1877 ketika menginjak usia 15 tahun, dia mulai belajar ilmu pertanian di universitas yang didirikan oleh misionaris protestan dari Amerika dan akhirnya masuk agama Kristen dengan nama baptis Paulus. Pada usia 22 tahun di tahun 1884, dia berangkat ke Amerika untuk belajar ilmu ekonomi di Universitas Johns Hopkins.

Di sana dia bergabung dengan klub kaum Quackers yang merupakan salah satu denominasi Protestan. Setelah menyelesaikan studi di Amerika, ia pun menikah dengan perempuan Amerika dan pulang ke Jepang untuk mengajar di universitas lokal di sana.

Melalui riwayat singkat di atas, kita dapat mengetahui bahwa tokoh Nitobe memiliki karakter orang yang memiliki pendidikan modern dan Kristen. Dari pengakuannya sendiri juga dirinya sebenarnya tidak merasa begitu tahu dan memahami apa itu Bushi atau Bushido itu (jalan hidup Bushido).

Lantas, mengapa dia begitu tertarik atau terdorong untuk menulis buku mengenai Bushido? Jawabannya telah disebutkan di dalam bagian Kata Pengantar dari buku karangan Nitobe tersebut.

Dalam Kata Pengantar bukunya pada tahun 1889, diceritakan Nitobe bertemu dengan Emile Louis Victor de Laveleye, seorang ekonom Belgia. Laveleye bertanya kepada Nitobe, “Sebenarnya apa agama bangsa Jepang?”

Nitobe pun menjawab, “Tidak ada”. Laveleye lantas terkejut dan berseru, “Jika tidak ada pendidikan agama, lalu bagaimana pendidikan moral diberikan?”

Setelah mendengar pertanyaan yang diutarakan dari Laveleye, di kemudian harinya istrinya juga menanyakan pertanyaan yang sama dengan Laveleye. Kedua faktor itu pun mendorong Nitobe untuk berusaha mencari landasan moral bagi bangsa Jepang.

Penelitiannya pun membuahkan jawaban berupa ajaran Bushido. Ajaran tersebut mengacu pada jalan hidup para Bushi yaitu kelompok yang menempati kelas paling atas dalam hierarki masyarakat feodal di Jepang sampai pada tahun 1868.

Menurut pemikiran Nitobe, Bushi sendiri di Jepang memiliki panduan moral yang sama dengan panduan moral pada ksatria (chivalry) di Eropa pada abad pertengahan. Ajaran Bushido bersumber dari ajaran agama Buddha dan ajaran Konfusianisme.

Menurut Nitobe dari kedua ajaran tadi, ajaran Bushido dipaparkan dengan cara mengutip banyak ayat-ayat dari Injil perjanjian baru dan kata-kata mutiara dari para tokoh Eropa sebagai pembanding untuk menunjukkan keberadaan dari Bushido pada dasarnya sama dengan ajaran dalam Kristen dan semangat yang ada di Eropa.

Akan tetapi, buku karya Nitobe ini tetaplah bukan termasuk karya ilmiah. Karena buku ini tujuannya adalah untuk meyakinkan bangsa-bangsa Barat bahwa bangsa Jepang merupakan bangsa yang beradab dan memiliki kedudukan yang sama seperti bangsa-bangsa di barat.

Buku tersebut ditulis dengan tujuan bukan untuk meneliti keaslian dari eksistensi Bushido. Penggambaran dari kisah samurai (Bushi) di dalam buku karya Nitobe ini merupakan hasil dari rekayasa Nitobe semata.

3. Pengaruh Bushido bagi Jepang dan Dunia

Sumber foto : https://miro.medium.com/ (kiri : Pasukan Kamikaze),
https://aminoapps.com/ (kanan : pasukan shinsengumi)

Pada hari di mana buku Bushido : The Soul of Japan, karangan Nitobe Inazo diterjemahkan di dalam bahasa Jepang dan diterbitkan di Jepang. Para ahli mulai mengkritisi buku tersebut. Dikarenakan buku yang berisikan pemaparan Bushido itu tidak jelas bersumber pada dokumen apa. Akan tetapi, jika kita dapat melihat di luar rekayasa yang terdapat di dalam buku itu, buku karangan Nitobe ini telah berhasil menjadi pilar utama yang memerankan dukungan kepada negara Jepang untuk menentukan posisi mereka di kancah dunia internasional pada awal abad ke-20, bahkan sampai sekarang.

Di tahun 1964-1965, Jepang berperang melawan Rusia untuk memperebutkan pengaruh mereka di semenanjung Korea dan wilayah di Tiongkok Utara (Manchuria). Perang ini adalah perang pertama yang dilakukan oleh bangsa Barat (Rusia) melawan bangsa non barat (Jepang).

Pemerintah Jepang merasa perlu dilakukannya upaya diplomasi untuk menarik simpati kepada negara-negara adidaya lain seperti Inggris dan Amerika, agar mereka berpihak kepada Jepang. Taktik dari negara Jepang pada saat itu adalah dengan digunakannya buku karya Nitobe yang ditulis dalam Bahasa Inggris ini.

Pemerintah Jepang akhirnya mengutus Suematsu Kencho dan Kaneko Kentaro. Mereka berdua masing-masing diutus untuk pergi ke Inggris dan Amerika.

Di Inggris, upaya Suematsu dapat berhasil dengan lancar karena pada dasarnya Inggris merupakan sekutu dari negara Jepang pada perang tersebut. Pemberitaan media di Inggris pun cenderung mendukung Jepang. Disamping dari hal itu, Inggris juga baru saja di tahun 1900 berperang dengan Belanda untuk memperebutkan wilayah Afrika Selatan (Perang Boer), di mana pada saat itu Inggris mengalami kemenangan akan tetapi didapatkan dengan susah payah.

Media dan pemerintah pun mulai menyalakan para serdadu pasukan yang kurang memiliki semangat patriotisme. Oleh karena itu, pemerintah Inggris mendapatkan inspirasi dari buku Bushido karya Nitobe, dan mulai memanfaatkannya untuk memberikan pelajaran kepada para pemuda di Inggris agar dapat meniru semangat patriotisme ala Bushido.

Di Amerika, Kaneko mengunjungi Presiden Theodore Roosevelt, yang juga kebetulan merupakan teman kuliahnya sendiri di Universitas Harvard. Presiden Amerika itu merasa terharu setelah membaca buku Bushido, dan memberikan rasa simpatiknya kepada jiwa kesatria milik Jepang, yang disampaikan di dalam buku tersebut.

Demikian, media pemberitaan di Amerika pun akhirnya mendukung pihak Jepang di dalam jalannya perang Jepang-Rusia. Serta di tahun 1905, Presiden Roosevelt pun berperan menjadi penengah dari pertikaian Jepang-Rusia dengan mengundang kedua wakil dari negara tersebut untuk bertemu di Amerika. Melalui negosiasi itu naskah perjanjian perdamaian antara Jepang-Rusia pun dibentuk. Presiden Roosevelt menekan Rusia, dan membuat perjanjian tersebut tidak merugikan Jepang.

Baca Juga: Yuk, Kepoin Tahun Baru di Jepang!

Atas jasa besarnya kepada Jepang, pada tahun 1912, wali kota Tokyo pada waktu itu, Ozaki Yukio menghadiahkan 3000 batang tunas pohon sakura kepada kota Washington D. C. Ribuan batang tunas pohon sakura itu lalu ditanam di sepanjang tepi sungai Hudson di kota tersebut.

Sampai sekarang, pada pertengahan Maret sampai pertengahan bulan April di tiap tahunnya, di kota Washington D. C. diselenggarakan festival sakura. Kegiatan rutin tahunan itu pun menjadi sebuah objek wisata utama kota tersebut, sekaligus menjadi simbol dari persahabatan Jepang dan Amerika.

Diplomasi pengenalan Bushido akhirnya berhasil mengangkat pamor Jepang di antara negara-negara adidaya pada saat itu. Salah satu faktor keberhasilan itu mungkin karena konsep Bushido sendiri dapat diterima dan disambut oleh negara-negara adidaya ataupun negara-negara berkembang di dunia dengan mudah. Juga adanya kemungkinan akan kecenderungan dunia internasional untuk menelan bulat-bulat argumen yang ada di dalam buku karangan Nitobe tersebut. Pada akhirnya konsep Bushido telah dikenal oleh dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat lepas dari budaya asli bangsa Jepang.

Seperti yang telah dibahas tadi, walaupun istilah kata Bushido merupakan rekayasa dari buku karangan Nitobe. Pembelajaran etika serta sistem tradisi yang berada di dalam konsep kode etik samurai (Bushido) telah ada di masyarakat Jepang sejak zaman dahulu. Oleh karenanya, tidaklah sulit untuk pemerintah Jepang menamai sesuatu yang sebelumnya telah ada dan telah sekian lama dilakukan oleh masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang pun pada saat itu dapat menerimanya dengan mudah dan dapat beradaptasi sesuai dengan hal yang tertulis di dalam buku tersebut.

Salah satu contoh yang sangat spesifik terhadap peran Bushido kepada masyarakat Jepang adalah sikap tentara Jepang di masa Perang Dunia II meletus. Pada saat itu Jepang dapat mengerahkan serdadu pasukan mereka dengan efektif karena masyarakat Jepang pada saat itu telah dituntut untuk memiliki mental yang sama dengan pencitraan samurai di buku Bushido.

Mereka tidak akan setengah-setengah untuk melaksanakan perintah dari atasan mereka untuk berperang melawan musuh hingga akhir hayat mereka tanpa merasakan sedikitpun penyesalan. Seperti halnya tentara Jepang pada aksi kamikaze pada Perang Dunia II, mereka tidak segan-segan untuk menyerbu serdadu musuh yang lebih banyak jumlahnya dengan taktik yang brutal dan sangat tidak dapat dibayangkan sebelumnya. 

Peristiwa aksi kamikaze tadi telah dikutip di dalam buku Kamikaze : Aksi Bunuh Diri “Terhormat” para Pilot Jepang karya Nando baskara (2008) yang membahas bagaimana pengaruh bushido terhadap aksi kamikazen Jepang pada perang dunia kedua dan dasar-dasar etika serta karakter budaya mereka yang mempengaruhi. Ada juga bukti adanya Bushido di dalam buku karya Romulus Hillsborough (2009) yang diterjemahkan oleh Noviatri Anggraini yang memaparkan panjang lebar tentang sejarah samurai jepang terutama tentang pasukan Shinsengumi yang dikagumi sekaligus ditakuti pada masa kehancuran rezim Tokugawa.

Kesimpulan

Sumber foto : https://i1.wp.com

Terlepas dari berbagai macam rekayasa di dalam konsep Bushido. Secara harfiah, ajaran ini masih mengandung nilai-nilai yang bersifat universal. Keuniversalan Bushido inilah yang membuat Bushido masih hidup dan semangatnya masih dapat dirasakan hingga saat ini. Pemikiran Bushido dapat di terapkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Contohnya adalah dengan mengubah pola pikir seorang pelajar untuk dapat belajar dengan tekun yang tidak dipusatkan pada mengejar nilai atau perhatian semata tapi untuk mengembangkan kemampuan diri mereka, dan lain sebagainya.

Sejak tercetusnya konsep Bushido pada tahun 1900-an, bangsa Jepang mulai mendidik generasi baru mereka untuk mempraktikkan nilai-nilai kode etik Bushido di dalam kehidupan sehari-hari mereka sejak dini. Oleh karenanya, Jepang dapat menghasilkan generasi-generasi muda yang memiliki potensi yang optimal.

Kualitas generasi muda yang dihasilkan oleh Jepang merupakan salah satu pendorong kemajuan negaranya untuk menjadi salah satu negara adidaya dan pusat perekonomian di dunia hingga sampai saat ini. Pada akhirnya sesuatu yang awalnya adalah sebuah rekayasa dapat dijadikan sebagai landasan yang yang kokoh untuk memajukan suatu bangsa. “Fake it, until you make it” adalah sebuah ungkapan yang cocok diberikan kepada Jepang atas konsep Bushido mereka.

Konsep Bushido sendiri dapat dilaksanakan di Indonesia. Kemungkinan itu dapat terjadi karena keuniversalan yang terdapat di dalam nilai-nilai Bushido tidak bertentangan dengan konsep Pancasila yang terdiri dari nasionalisme, kemanusiaan, dan keadilan. Konsep ajaran ini dapat ditanamkan sejak dini pada generasi muda bangsa kita. Penerapannya tidak hanya terbatas di lingkungan sekolah saja tetapi juga dapat ditanamkan di lingkungan keluarga dan masyarakat luas.

Sama halnya dengan pelajaran agama umum yang kita terima sejak kecil, jika generasi muda bangsa Indonesia diperkenalkan dan dilatih tentang nilai-nilai Bushido sejak usia dini, maka konsep itu akan dapat merasuk dan mendarah daging hingga dapat dijadikan sebagai pijakan oleh generasi selanjutnya.

Daftar Pustaka

[1] Ong, Susy. 2017. SEIKATSU KAIZEN : Reformasi Pola Hidup Jepang. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
[2] Wibawarta, Bambang. 2006.  Bushido dalam Masyarakat Modern Jepang. Daya Saing, 8(1), 54 – 66.
[3] Fathimah, Ratna Dewi. 2015. “Konsep Etika dalam Bushido”. Skripsi. Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Agama, Filsafat Agama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Hestri Nuramalia Rizki Anugraheny
Mahasiswa Jurusan Studi Kejepangan
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Editor  : Sitti Fathimah Herdarina Darsim

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI