Warisan Sejarah: Mengungkap Kebudayaan Kampung Islam Gelgel di Bumi Dewata

(Foto : Kajian Peninggalan Sejarah rombel 4C Prodi Ilmu Sejarah di Masjid Nurul Huda, Desa Kampung Gelgel pada 20/02/2024)

Pada 20 Februari 2024, Rombel 4C Prodi Ilmu Sejarah UNNES melakukan perjalanan dalam kegiatan kajian peninggalan sejarah di Kampung Gelgel. Kegiatan ini didampingi oleh Mukhamad Shokheh, S. Pd., M. A., Ph.D. serta, Eka Yudha Wibowo M.A selaku dosen pembimbing. Dalam perjalanan ini, Rombel 4C mempelajari tentang banyak hal, mulai dari sejarah, hingga toleransinya. Sebelum mulai membaca, tahukah kalian apa itu kampung muslim Gelgel?

Kampung Gelgel atau kampung muslim Gelgel merupakan sebuah perkampungan muslim yang terletak di Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Jarak Kampung Gelgel dari pusat kota kabupaten adalah 6 km dan 31 km dari pusat ibukota provinsi. Secara administratif Kampung Gelgel berbatasan dengan Desa Kamasan di sebelah utara dan Desa Gelgel di sebelah timur, selatan, dan barat.

Kampung Gelgel berada di dataran seluas 8,6 hektar dan memiliki sungai bernama Subak Kacang, berada di daerah dataran membuat sebagian besar penduduk Kampung Gelgel bermata pencaharian sebagai petani. Terletak di tengah Pulau Dewata yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu, keberadaan Kampung Gelgel menambah keberagaman religius di pulau tersebut.

Bacaan Lainnya
DONASI

Meskipun tergolong minoritas, masyarakat Kampung Gelgel tetap menjaga identitasnya sebagai komunitas Muslim yang hidup berdampingan dengan komunitas Hindu di sekitarnya. Munculnya kehidupan di dalam Kampung Gelgel dimulai sejak  Islam pertama kali masuk ke dalam pulau Dewata yaitu tahun 1343.

Kedatangan Islam di sebagian besar kepulauan Nusantara memiliki ciri khas tersendiri, khususnya di Kepulauan Bali. Kisah penaklukan Pulau Bali bermula dari Kerajaan Majapahit yang dibawa oleh Gajah Mada pada tahun 1343 membawa berbagai perubahan, terutama dalam bidang sosial dan politik.

Sistem pemerintahan tertinggi di Bali pada waktu itu dipegang oleh penguasa baru dari keluarga Kresna Kepaksian asal Majapahit sebagai pengganti dari raja Bali sebelumnya, yang berpusat di Samprangan (Gianyar). Pemerintahan yang berjalan dibantu oleh para patih yang berasal dari Majapahit.

Agama Islam masuk ke Bali berawal pada masa pemerintahan Ketut Ngelesir sebagai raja Gelgel I yang diundang oleh Kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dengan tujuan konperensi kerajaan-kerajaan masal di seluruh Nusantara. Kemudian setelah acara selesai, raja Gelgel I kembali ke kerajaan dengan diantar oleh 40 orang prajurit dari Majapahit yang beragama Islam, 2 orang diantaranya ialah Raden Nurdin dan Kyai Jalil dengan maksud sebagai bentuk kepatuhan terhadap Kerajaan Majapahit yang berada di Mojokerto.

Para prajurit tersebut kemudian diangkat sebagai abdi dalem di Kerajaan Gelgel oleh Raja Dalem Ketut Ngelesir. Setelah tiba di Gelgel mereka menempati sebuah pemukiman dan membangun masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang sekarang merupakan tempat ibadah umat Muslim tertua di Bali yang diberi nama Masjid Nurul Huda.

Peristiwa ini dijadikan patokan masuknya Islam di Bali yang berpusat di Kerajaan Gelgel. Kampung Gelgel dikenal sebagai kampung Muslim tertua di Bali sebelum adanya Klungkung dan Badung. Nama Kampung Gelgel jika di Jawa disebut dengan “geger” kemudian diubah dalam bahasa Bali menjadi Gelgel.

Berada di tengah-tengah masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, Kampung Gelgel sangat kental dengan toleransi antar umat Islam dan Hindu yang saling menghargai satu sama lain. Ketika ada acara keagamaan bagi umat Hindu, warga Kampung Gelgel turut menghormati dan menghargai meskipun mereka tidak ikut serta dalam prosesinya, seperti pada saat prosesi Ngaben, mereka akan hadir sebagai penonton.

Begitu juga sebaliknya, saat ada acara keagamaan umat Islam seperti Maulid Nabi di masjid, masyarakat Desa Gelgel yang beragama Hindu juga menghargai dengan memperlakukan dengan penuh rasa hormat. Bahkan pada saat mengadakan acara buka bersama di bulan suci Ramadhan, warga Kampung Gelgel turut mengundang beberapa tokoh penting seperti Bupati Klungkung, perwakilan dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), dan tokoh penting lainnya. Mereka bersama-sama membaur dalam acara buka bersama dengan cara Megibung

 

(Foto: Kegitan Megibung yang dilaksanakan di Desa Kampung Gelgel)

Selain Megibung, tradisi yang dilakukan masyarakat Kampung Gelgel pada bulan Ramadhan, misalnya saat puasa pada minggu ke-2 atau hari ke-20 diadakan Khataman Al Quran dengan mengundang berbagai tokoh masyarakat baik itu muslim maupun non muslim sebagai wujud toleransi.

Kegiatan khataman ini berlangsung tiga kali yakni pada puasa ke-10, 20, dan 30. Tidak ketinggalan, ibu Sri Mulyani yang merupakan warga asli Kampung Gelgel yang berusia 27 tahun, seorang pedagang sekaligus kasir BUMD setempat juga terlibat langsung dalam kegiatan toleransi yang sudah mengakar di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan mengadakan diskon setiap hari besar, baik Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Nyepi dan yang lainnya.

Tradisi lain yang masih eksis dan menjadi kesenian yang cukup terkenal di Kampung Gelgel yaitu kesenian Rudat. Rudat berasal dari kata Rudatan yang memiliki arti taman. Kesenian Rudat merupakan sebuah seni tari yang hanya dilakukan oleh laki-laki dengan iringan tabuhan rebana dan vokal. Kesenian ini cukup unik di mana hanya dapat ditampilkan di depan komunitas muslim di Bali saja.

Secara umum kesenian Rudat berfungsi sebagai hiburan sekaligus untuk memperingati perayaan maulid nabi. Namun disamping itu kesenian Rudat memiliki fungsi tersirat sebagai sarana komunikasi ganda. Pertama sebagai sarana komunikasi dengan Allah SWT karena dalam pelaksanaannya tidak hanya berupa tarian saja namun juga berisi doa, puji-pujian kepada Allah SWT, dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, juga terdapat petuah atau nasihat yang ditujukan kepada manusia yang masih hidup. Petuah ini dilakukan pada saat Rudat dilaksanakan sebagai iringan tarian dan vokalnya. Fungsi komunikasi kedua yaitu untuk mempererat tali silaturahmi antar warga Kampung Gelgel.

Toleransi yang ada dan tercipta di dalam Kampung Gelgel ini tidak hanya dilihat dari kegiatan masyarakatnya saja, banyak hal lain yang bisa digunakan untuk melihat betapa kentalnya toleransi antara umat Islam dalam Kampung Gelgel dan umat Hindu dalam Desa Gelgel.

Letak dari Kampung Gelgel sendiri sudah menandakan betapa bagusnya toleransi yang tercipta di sana, yang mana Kampung Gelgel sendiri terletak persis di tengah-tengah Desa Gelgel yang beragama Hindu. Kedua agama ini sudah beriringan sejak 40 prajurit dari Majapahit tinggal di Kampung Gelgel.

Lalu, Kampung Gelgel juga diapit oleh dua pura, yaitu Pura Dhasar Buana dan Pura Kawitan Pusat Pasek Dalem Ciwa Gaduh, kedua pura ini masih secara aktif digunakan oleh umat Hindu untuk beribadah, dan hal tersebut tidak mengganggu umat muslim yang tinggal di dalam Kampung Gelgel.

Selain dari toleransinya Kampung Gelgel juga terkenal sebagai objek wisata religius di Bali dengan memiliki potensi wisata melalui kisah Kerajaan Gelgel yang menghasilkan pemukiman muslim tertua di Bali dan Masjid Nurul Huda sebagai ikonnya. Hingga kini, secara ekonomi mayoritas penduduk di Kampung Gelgel mengandalkan kegiatan wiraswasta atau perdagangan, dan konveksi sebagai sumber mata pencaharian masyarakat desa.

Dulunya, warga Kampung Gelgel bermata pencaharian sebagai petani, akan tetapi seiring berjalannya waktu dalam pengolahannya, warga asli kampung ini tidak dapat mewarisinya kepada anak cucu mereka. Hal ini dikarenakan banyaknya penerus dari masyarakat setempat merantau ke luar pulau, sehingga beberapa sawah mereka disewakan kepada orang-orang Hindu.

Saat ini, perekonomian Kampung Gelgel telah mengalami perkembangan ekonomi yang signifikan berkat kehadiran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Nurul Huda. BUMDes ini berfokus pada sektor pariwisata, jasa, dan perdagangan, yang membantu meningkatkan kreativitas serta keahlian masyarakat setempat. Terdapat beberapa unit usaha yang diciptakan, seperti unit usaha simpan pinjam, perdagangan, jasa/ komisi, dan sewa/ penyewaan.

Dari unit-unit usaha BumDes tersebut, diperoleh keuntungan secara pertahun, yang kemudian menjadi Pendapatan Asli Desa (PAD). PAD tersebut diserahkan secara langsung oleh Pengurus BUMDes kepada Pemerintah Kampung Gelgel. Pendapatan ini kemudian diintegrasikan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) untuk mendukung pembangunan dan kegiatan desa secara keseluruhan.

Penulis:
1. Lisye Wahyu Nirwana
2. Kemala Khoeronisa
3. Najwa Reyka Salsabila
4. Tiara Paramita
5. Shafiyya’ Abida Rahman
6. Adnin Malika Anggun Mulia Dacasta
7. Alfina Dwi Septiani
8. Aynun Aska Abdillah
9. Dhea Mahda Puspita
Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI