Abstrak
China 5.0 merupakan gambaran transformasi luar biasa Republik Rakyat Tiongkok dari negara berkembang berbasis manufaktur murah menjadi salah satu pusat kekuatan teknologi global dalam waktu yang relatif singkat. Transformasi ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan hasil dari perencanaan strategis jangka panjang, intervensi negara yang kuat, serta investasi besar-besaran di sektor riset dan pengembangan teknologi tinggi. Pemerintah Tiongkok, melalui kebijakan seperti Made in China 2025 dan Rencana Lima Tahun ke-14, secara konsisten mendorong kemajuan teknologi domestik dan pengurangan ketergantungan terhadap teknologi asing. Dukungan politik ini disertai dengan kemunculan perusahaan teknologi raksasa seperti Huawei, Tencent, Alibaba, dan ByteDance yang tidak hanya menguasai pasar dalam negeri, tetapi juga mulai menyaingi dominasi perusahaan- perusahaan teknologi Barat di panggung global. Kemajuan China di bidang kecerdasan buatan, komputasi awan, 5G, hingga teknologi ruang angkasa membuktikan bahwa negara ini telah bertransformasi menjadi kekuatan teknologi yang sejajar bahkan melebihi negara-negara maju tertentu. Namun, transformasi ini juga tidak lepas dari tantangan, terutama dalam konteks geopolitik, isu keamanan data, dan resistensi internasional terhadap ekspansi teknologi China. Meskipun demikian, pendekatan kombinasi antara kontrol negara dan inovasi pasar terbukti menjadi kunci sukses model teknologi China yang unik. Artikel ini bertujuan menjelaskan proses pertumbuhan teknologi China secara komprehensif dengan menyoroti faktor politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang mempengaruhi keberhasilan Negeri Tirai Bambu dalam menduduki posisi strategis dalam peta teknologi global saat ini.
Kata Kunci: China 5.0, transformasi teknologi, Made in China 2025, kecerdasan buatan, 5G, geopolitik teknologi, inovasi pasar, intervensi negara, perusahaan teknologi China, Rencana Lima Tahun, kemandirian teknologi, kekuatan global.
Abstract
China 5.0 is a depiction of the People’s Republic of China’s remarkable transformation from a low-cost manufacturing-based developing country to a global technology powerhouse in a relatively short period of time. This transformation did not happen by chance, but rather the result of long-term strategic planning, strong state intervention, and massive investment in high-tech research and development. The Chinese government, through policies such as Made in China 2025 and the 14th Five-Year Plan, has consistently pushed for domestic technological advancement and reduced dependence on foreign technology. This political support has been accompanied by the emergence of giant technology companies such as Huawei, Tencent, Alibaba, and ByteDance, which have not only dominated the domestic market but have also begun to compete with the dominance of Western technology companies on the global stage. China’s progress in artificial intelligence, cloud computing, 5G, and space technology proves that the country has transformed into a technological power that is on par with or even surpasses certain developed countries. However, this transformation is not without challenges, especially in the context of geopolitics, data security issues, and international resistance to China’s technological expansion. Nevertheless, the combination of state control and market innovation has proven to be the key to the success of China’s unique technological model. This article aims to explain China’s technological growth process comprehensively by highlighting the political, economic, and socio-cultural factors that influence China’s success in occupying a strategic position on the current global technological map.
Keywords: China 5.0, technological transformation, Made in China 2025, artificial intelligence, 5G, technological geopolitics, market innovation, state intervention, Chinese technology companies, Five-Year Plan, technological independence, global power.
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, transformasi yang dialami oleh Republik Rakyat Tiongkok telah menjadi salah satu fenomena paling signifikan dalam sejarah modern. Dari negara agraris yang tertinggal secara teknologi, Tiongkok kini menjelma menjadi pusat kekuatan ekonomi dan teknologi dunia. Perjalanan menuju posisi strategis ini bukanlah hasil dari proses yang instan, melainkan melalui perencanaan jangka panjang, kebijakan negara yang sistematis, serta penguasaan teknologi sebagai alat utama untuk meraih keunggulan global. Fenomena ini menjadi titik fokus dari berbagai kajian ilmiah, terutama karena keberhasilan Tiongkok dalam mensinergikan pertumbuhan ekonomi dengan inovasi teknologi dalam skala nasional.
Perkembangan Tiongkok tidak dapat dilepaskan dari peran negara yang kuat dalam mengatur arah pembangunan teknologi nasional. Sejak era reformasi ekonomi yang dimulai oleh Deng Xiaoping pada akhir 1970-an, Tiongkok mulai terbuka terhadap investasi asing dan pengetahuan teknologi luar negeri. Namun, keterbukaan tersebut tidak berlangsung secara pasif. Tiongkok memanfaatkan arus teknologi global untuk membangun fondasi teknologi dalam negeri. Selanjutnya, pada awal abad ke-21, strategi Made in China 2025 memperkuat komitmen negara untuk tidak hanya menjadi pabrik dunia, tetapi juga menjadi pusat inovasi teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, teknologi 5G, dan energi terbarukan.
Munculnya istilah “China 5.0” mencerminkan visi negara dalam menciptakan sistem teknologi yang tidak hanya adaptif, tetapi juga mandiri dan unggul di tingkat global. Konsep ini mengacu pada tahap kelima dari perkembangan teknologi nasional Tiongkok yang ditandai dengan digitalisasi menyeluruh, integrasi teknologi tinggi dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan ekosistem inovasi domestik yang tidak lagi bergantung pada kekuatan asing. Implementasi China 5.0 dapat dilihat dalam berbagai aspek seperti kota pintar, kendaraan listrik, teknologi militer, dan pemrosesan big data, yang seluruhnya didorong oleh kekuatan internal negara dan sektor swasta domestik yang kuat.
Dominasi perusahaan teknologi asal Tiongkok seperti Huawei, Alibaba, Tencent, dan ByteDance membuktikan bahwa Tiongkok tidak lagi sekadar meniru teknologi Barat, melainkan telah mampu menciptakan standar baru dalam pengembangan teknologi digital. Keberhasilan ini tidak terlepas dari ekosistem digital yang dibangun secara komprehensif oleh negara, mulai dari infrastruktur teknologi, dukungan pembiayaan, regulasi yang berpihak pada pengembangan inovasi, hingga sumber daya manusia yang berkualitas. Perpaduan antara negara dan sektor swasta menciptakan simbiosis yang unik di mana kebijakan politik dan kemajuan teknologi berjalan selaras demi kepentingan nasional.
Baca Juga: Merencanakan “Pembalasan”: Respon Penolakan China terhadap Kebijakan Trump’s Tariff
Kebangkitan teknologi Tiongkok juga memunculkan berbagai kontroversi dan tantangan di level internasional. Banyak negara Barat, khususnya Amerika Serikat, memandang kemajuan teknologi Tiongkok sebagai ancaman terhadap dominasi teknologi global yang selama ini mereka kuasai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan pembatasan ekspor teknologi, pemblokiran aplikasi asal Tiongkok, hingga tuduhan spionase dan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Persaingan ini menciptakan situasi geopolitik baru yang menempatkan teknologi sebagai arena pertarungan ideologis dan ekonomi antara kekuatan lama dan kekuatan baru.
Meskipun mendapat tekanan dari luar, Tiongkok terus menunjukkan ketahanan teknologinya dengan memperkuat sektor riset dan pengembangan domestik. Investasi besar-besaran dalam penelitian ilmiah, pendidikan tinggi, serta pembentukan zona ekonomi khusus berbasis teknologi menjadi bukti nyata bahwa negara tersebut tidak mundur di tengah tekanan global. Selain itu, Tiongkok juga mengembangkan kerja sama teknologi dengan negara-negara berkembang melalui proyek-proyek seperti Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup infrastruktur digital dan konektivitas teknologi lintas batas.
Kebangkitan Tiongkok sebagai raksasa teknologi global juga berimplikasi pada transformasi budaya kerja dan kehidupan sosial masyarakatnya. Digitalisasi menyeluruh mengubah pola konsumsi, sistem pendidikan, dan layanan publik. Kehidupan masyarakat Tiongkok kini sangat tergantung pada aplikasi digital yang terintegrasi dengan sistem identitas nasional dan pengawasan negara. Meskipun ini membawa efisiensi, tidak sedikit kritik yang muncul terhadap aspek privasi dan kontrol sosial yang ketat oleh negara, menunjukkan bahwa kemajuan teknologi juga membawa dilema etis yang serius.
Tiongkok bertransformasi menjadi kekuatan teknologi global melalui narasi China 5.0 bukan hanya relevan untuk memahami strategi pembangunan nasional negara tersebut, tetapi juga penting untuk menganalisis perubahan tatanan global yang semakin dipengaruhi oleh dinamika teknologi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk memahami dan menjelaskan bagaimana Tiongkok atau China mampu berkembang menjadi kekuatan teknologi global melalui kebijakan negara, inovasi industri, dan pengaruh geopolitik. Pendekatan ini dipilih karena penulis ingin menelaah fenomena secara mendalam dengan menggali data yang bersifat naratif dan kontekstual, bukan sekadar angka atau statistik. Fokus penelitian lebih diarahkan pada bagaimana proses, strategi, dan dinamika sosial-politik mendukung transisi China dari negara manufaktur tradisional menjadi pemimpin dunia dalam bidang teknologi seperti kecerdasan buatan, jaringan 5G, dan teknologi finansial.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research). Peneliti mengkaji berbagai literatur ilmiah, laporan riset, jurnal internasional, artikel berita kredibel, publikasi institusi riset teknologi, serta laporan resmi pemerintah China dan badan internasional seperti World Economic Forum, OECD, dan IMF. Sumber-sumber tersebut digunakan untuk membangun kerangka pemahaman yang komprehensif mengenai kebijakan strategis yang dilaksanakan China sejak peluncuran inisiatif “Made in China 2025” hingga terbentuknya ekosistem teknologi nasional yang berdaya saing global.
Untuk menjaga validitas dan keabsahan data, penulis melakukan proses triangulasi terhadap sumber-sumber yang diperoleh. Data dari laporan pemerintah dibandingkan dengan temuan dari jurnal independen, sementara berita dari media internasional diverifikasi dengan data resmi dari organisasi dunia. Dengan metode ini, bias dan kekeliruan informasi dapat diminimalisir, sehingga hasil penelitian ini tetap obyektif dan terpercaya. Selain itu, data dipilih berdasarkan kredibilitas sumber serta relevansi langsungnya terhadap topik penelitian, seperti perkembangan perusahaan teknologi besar (Alibaba, Tencent, Huawei, dan ByteDance) serta kebijakan inovasi berbasis riset dan pengembangan.
Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis isi (content analysis) untuk mengidentifikasi tema-tema utama yang muncul dari dokumen dan sumber literatur. Tema-tema seperti kemandirian teknologi, proteksi industri strategis, kerjasama internasional, serta ekspansi global perusahaan China menjadi fokus utama dalam proses analisis. Teknik ini memungkinkan penulis untuk menggali makna di balik kebijakan dan strategi yang tampak di permukaan serta memahami keterkaitan antara satu kebijakan dengan dampaknya di sektor teknologi dan ekonomi.
Penelitian ini mempertimbangkan konteks waktu dengan membagi perkembangan teknologi China ke dalam beberapa fase penting, seperti periode reformasi dan keterbukaan (1978–1990an), era booming ekonomi digital (2000an), dan periode transformasi teknologi besar- besaran pasca 2010. Pembagian ini penting untuk menunjukkan bahwa keberhasilan China di sektor teknologi bukanlah hasil instan, melainkan melalui tahapan panjang yang sistematis dan terencana. Pendekatan historis ini membantu penulis melihat tren dan pola yang konsisten dalam kebijakan pembangunan teknologi.
Untuk mendalami aspek geopolitik dan hubungan internasional yang mempengaruhi posisi teknologi China, penulis juga menggunakan pendekatan analisis kebijakan luar negeri. Hal ini dilakukan dengan menelusuri peran China dalam organisasi internasional, perjanjian dagang bilateral dan multilateral, serta reaksi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap kemajuan teknologi China. Analisis ini memperkaya penelitian dengan dimensi global yang relevan dalam memahami bagaimana teknologi menjadi alat politik dan diplomasi.
Meskipun penelitian ini tidak menggunakan wawancara langsung, penulis tetap berusaha menangkap perspektif pelaku industri dan pembuat kebijakan melalui laporan wawancara yang dimuat dalam jurnal dan media kredibel. Data semacam ini digunakan sebagai pelengkap untuk menggambarkan narasi secara lebih hidup dan realistis. Penulis juga membandingkan strategi teknologi China dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan sebagai tolok ukur pencapaian dan perbedaan pendekatan.
Baca Juga: Perang Dagang AS-China: Ancaman atau Peluang bagi Ekonomi Indonesia?
Hasil dan Pembahasan
Transformasi Tiongkok menjadi raksasa teknologi global bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari perencanaan strategis jangka panjang yang dijalankan secara konsisten oleh pemerintah pusat dengan dukungan kebijakan industri yang kuat. Sejak awal tahun 2000-an, Tiongkok mulai menyadari pentingnya teknologi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Kebijakan seperti Made in China 2025 menjadi landasan utama dalam menggeser posisi negara dari sekadar pusat manufaktur global menuju pusat inovasi teknologi kelas dunia. Melalui program ini, Tiongkok menargetkan dominasi di berbagai sektor strategis seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, bioteknologi, energi baru, dan kendaraan listrik.
Salah satu strategi utama yang dijalankan pemerintah Tiongkok adalah memberikan insentif besar-besaran kepada perusahaan teknologi lokal untuk melakukan riset dan pengembangan (R&D). Perusahaan seperti Huawei, Tencent, dan Alibaba tidak hanya didukung oleh investasi dalam negeri, tetapi juga dilindungi dari dominasi perusahaan asing melalui regulasi yang ketat. Perlindungan terhadap pasar domestik ini memberikan ruang bagi perusahaan-perusahaan lokal untuk tumbuh dan memperkuat daya saingnya sebelum akhirnya berekspansi ke pasar global. Dalam waktu singkat, Tiongkok berhasil mengembangkan jaringan teknologi informasi yang sangat luas, termasuk membangun infrastruktur jaringan 5G tercepat di dunia.
Kemajuan teknologi digital Tiongkok juga tidak dapat dilepaskan dari budaya konsumsi digital masyarakatnya yang sangat tinggi. Populasi besar dengan penetrasi internet yang luas menjadikan Tiongkok sebagai laboratorium alami untuk eksperimen teknologi digital. Fenomena seperti pembayaran digital, e-commerce, hingga penggunaan big data untuk layanan publik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Alih-alih mengikuti jejak negara-negara Barat, Tiongkok menciptakan ekosistem teknologi digital yang khas, mandiri, dan berorientasi pada efisiensi serta kontrol sosial melalui integrasi teknologi dengan kebijakan pemerintah.
Di bidang kecerdasan buatan, Tiongkok telah menetapkan target menjadi pemimpin global pada tahun 2030. Dalam laporan China AI Development Plan tahun 2017, pemerintah Tiongkok menyatakan secara eksplisit bahwa AI akan dijadikan instrumen utama untuk meningkatkan produktivitas nasional, pertahanan negara, dan tata kelola sosial. Dengan dukungan dana miliaran dolar, ratusan startup AI muncul dan beroperasi di berbagai kota besar. Tiongkok tidak hanya berfokus pada aplikasi praktis AI seperti pengenalan wajah dan sistem rekomendasi, tetapi juga memproduksi chip AI sendiri untuk mengurangi ketergantungan terhadap perusahaan asing seperti NVIDIA dan Intel.
Tiongkok juga melakukan lompatan besar dalam teknologi luar angkasa dan kuantum. Proyek Chang’e yang berhasil mendaratkan wahana di sisi gelap bulan menunjukkan kapasitas teknis yang dimiliki negara tersebut. Di saat yang sama,
Tiongkok memimpin dunia dalam komunikasi kuantum dengan peluncuran satelit kuantum pertama bernama Micius, yang membuka jalan bagi jaringan komunikasi terenkripsi superaman. Dominasi dalam dua bidang ini tidak hanya menunjukkan superioritas teknologis, tetapi juga membuktikan bahwa Tiongkok mampu membangun teknologi dari hulu ke hilir tanpa ketergantungan penuh pada teknologi luar.
Namun, kemajuan teknologi Tiongkok tidak lepas dari kontroversi, terutama di mata negara-negara Barat. Banyak pihak menuduh Tiongkok melakukan praktik pencurian kekayaan intelektual dan menggunakan teknologi untuk memperkuat sistem otoritarianisme digital. Sistem pengawasan massal menggunakan kamera dengan pengenalan wajah dan sistem social credit score menjadi simbol dari bagaimana teknologi digunakan bukan hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk kontrol sosial. Meski demikian, dari perspektif Tiongkok, hal ini dianggap sebagai bentuk adaptasi teknologi dengan karakteristik nasional yang mereka miliki, yakni stabilitas dan kesatuan.
Dalam konteks geopolitik, kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan teknologi telah mengubah lanskap global. Persaingan dengan Amerika Serikat dalam bidang semikonduktor, AI, dan komunikasi menjadi semakin tajam. Embargo terhadap perusahaan seperti Huawei dan ZTE menunjukkan bagaimana teknologi menjadi alat tekanan geopolitik. Alih-alih melemah, embargo tersebut justru mendorong Tiongkok mempercepat program substitusi teknologi asing dan memperkuat otonomi teknologinya sendiri. Ini membuktikan bahwa Tiongkok telah memasuki tahap baru sebagai negara yang tidak hanya mengejar ketertinggalan, tetapi siap menjadi pusat gravitasi teknologi dunia.
Keberhasilan Tiongkok dalam membangun kekuatan teknologinya terletak pada sinergi antara kebijakan negara, ekosistem bisnis yang kompetitif, dan budaya masyarakat yang adaptif terhadap teknologi. Model pembangunan teknologi yang dijalankan Tiongkok bukan hanya menjadi alternatif dari pendekatan liberal Barat, tetapi juga menawarkan pola pembangunan yang terkoordinasi dan terpusat. Meskipun menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal, langkah Tiongkok menuju posisi sebagai pemimpin teknologi global tampak semakin solid dan tidak bisa diabaikan dalam tatanan dunia masa depan.
Baca Juga: Menyambut Tren Penggunaan ‘Coconut Milk’ di China melalui Ekspor Kelapa dari Indonesia ke China
Studi Kasus
Transformasi Tiongkok menjadi raksasa teknologi global tidak terjadi secara instan, melainkan merupakan hasil dari serangkaian kebijakan strategis, investasi jangka panjang, dan pergeseran paradigma industri yang disusun secara sistematis sejak awal abad ke-21. Istilah “China 5.0” merujuk pada fase terbaru dari evolusi ekonomi dan teknologi Tiongkok, yang menekankan pada penguasaan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI), internet of things (IoT), big data, jaringan 5G, hingga teknologi kuantum. Perkembangan ini tidak hanya ditujukan untuk memperkuat kemandirian ekonomi Tiongkok, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap teknologi Barat, sekaligus menempatkan Tiongkok sebagai pemimpin dalam revolusi industri global berikutnya.
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan Tiongkok menuju China 5.0 adalah peluncuran strategi nasional bernama “Made in China 2025” pada tahun 2015. Strategi ini bertujuan mengalihkan fokus dari produksi massal barang berteknologi rendah menuju manufaktur berteknologi tinggi, dengan prioritas pada sepuluh sektor strategis, termasuk robotika, kendaraan listrik, semikonduktor, dan teknologi luar angkasa. Tiongkok juga secara agresif memperluas investasi riset dan pengembangan (R&D), dengan data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, anggaran R&D nasionalnya telah melampaui 2,5% dari PDB, menjadikannya salah satu yang terbesar di dunia.
Contoh paling nyata dari keberhasilan strategi tersebut dapat dilihat dari dominasi perusahaan teknologi Tiongkok di pasar global, seperti Huawei, Alibaba, Tencent, dan ByteDance. Huawei, meskipun dibayangi sanksi Amerika Serikat, berhasil mengembangkan chipset 7nm buatan lokal dan memperluas jaringan 5G ke berbagai negara di Asia, Afrika, dan Eropa. Sementara itu, Alibaba melalui unit Alibaba Cloud memperkuat kehadirannya di pasar cloud computing, dan ByteDance dengan TikTok berhasil menggeser dominasi media sosial berbasis Barat di kalangan generasi muda global.
Kesuksesan ini juga didukung oleh kemampuan negara untuk mengkonsolidasikan kekuatan negara dan swasta dalam satu visi jangka panjang. Pemerintah Tiongkok tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator dan investor aktif dalam pengembangan teknologi. Kota-kota seperti Shenzhen, Hangzhou, dan Beijing dikembangkan menjadi zona teknologi tinggi dengan insentif pajak, laboratorium nasional, serta kerja sama erat antara universitas, startup, dan BUMN teknologi. Kebijakan ini menciptakan ekosistem inovasi yang dinamis dan tangguh.
Namun, transisi menuju China 5.0 tidak lepas dari tantangan. Tiongkok menghadapi tekanan geopolitik yang semakin kuat dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, terutama dalam hal pembatasan ekspor teknologi tinggi seperti semikonduktor dan sistem operasi. Selain itu, kekhawatiran terhadap pelanggaran privasi, sensor informasi, dan kontrol negara yang ketat terhadap teknologi domestik menjadi sorotan komunitas internasional. Tantangan internal pun muncul, seperti kesenjangan digital antarwilayah dan ketimpangan antara daerah maju dan tertinggal dalam mengakses teknologi.
Langkah strategis Tiongkok untuk mengatasi tantangan ini sangat progresif. Tiongkok mempercepat pengembangan semikonduktor dalam negeri melalui dukungan penuh dari Dana Investasi Industri Sirkuit Terpadu Nasional (CICF) dan memperluas kerja sama teknologi dengan negara-negara di Global South. Pemerintah juga menerapkan pendekatan regulasi adaptif dalam menangani perkembangan AI dan fintech, sembari tetap menjaga stabilitas sosial dan keamanan nasional. Dengan pondasi yang sudah diletakkan melalui China 5.0, Tiongkok diperkirakan akan terus memainkan peran penting dalam membentuk arsitektur teknologi dunia.
Transformasi menuju China 5.0 bukan hanya sekadar upaya untuk menjadi mandiri secara teknologi, tetapi juga merupakan ambisi untuk memimpin dalam tata kelola digital global. Hal ini membuka diskusi yang lebih luas mengenai masa depan kekuasaan teknologi, kedaulatan digital, dan keseimbangan antara inovasi dan regulasi dalam sistem global yang semakin terfragmentasi. Oleh karena itu, studi terhadap model pembangunan teknologi Tiongkok menjadi sangat relevan untuk dijadikan referensi dalam merumuskan kebijakan teknologi nasional di negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Persaingan Energi antara China dengan Negara-Negara Asia Tenggara: Sebuah Pandangan Liberalis
Penyelesain Masalah
Transformasi Tiongkok menuju China 5.0 mencerminkan pergeseran signifikan dalam strategi nasional yang bertujuan untuk mengubah negara ini dari konsumen teknologi menjadi pencipta dan pemimpin teknologi global. Tiongkok, melalui kebijakan dan investasi yang terarah, berhasil memanfaatkan potensi teknologinya untuk tidak hanya memperkuat posisi domestiknya, tetapi juga mempengaruhi pasar global. Pencapaian ini tidak bisa dilepaskan dari strategi “Made in China 2025”, yang menjadi langkah pertama dalam mengalihkan fokus dari manufaktur barang berteknologi rendah ke sektor-sektor teknologi tinggi.
Melalui investasi besar dalam riset dan pengembangan (R&D), Tiongkok berhasil meningkatkan kapasitas industri teknologinya, dengan angka anggaran R&D yang terus meningkat dan diperkirakan akan terus bersaing dengan negara-negara maju lainnya dalam hal inovasi. Sektor-sektor utama yang menjadi fokus strategis—seperti kendaraan listrik, robotika, semikonduktor, dan teknologi luar angkasa—berhasil mengarah pada pengembangan perusahaan-perusahaan besar seperti Huawei, Alibaba, dan ByteDance yang menonjol di pasar global. Misalnya, Huawei yang menghadapi sanksi internasional berhasil mengatasi hambatan ini dengan mempercepat pengembangan chipset dan memperluas jaringan 5G secara global, yang menunjukkan bahwa Tiongkok semakin mandiri dalam teknologi kritikal.
Keberhasilan ini juga didorong oleh kebijakan yang memungkinkan terciptanya ekosistem inovasi yang kuat. Dengan kota- kota seperti Shenzhen, Hangzhou, dan Beijing menjadi pusat teknologi tinggi, Tiongkok berhasil membangun integrasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga pendidikan untuk menciptakan sinergi yang saling mendukung dalam inovasi. Insentif pajak dan dukungan terhadap riset dan startup semakin mempercepat laju inovasi dalam negeri, menghasilkan produk dan solusi teknologi yang semakin banyak digunakan baik di dalam maupun luar negeri.
Namun, meskipun tercapai kemajuan yang signifikan, Tiongkok menghadapi beberapa tantangan besar. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah tekanan geopolitik yang semakin kuat dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, terutama dalam hal pembatasan ekspor teknologi tinggi. Ketergantungan Tiongkok pada teknologi dari luar negeri, khususnya dalam bidang semikonduktor dan sistem operasi, membuat negara ini rentan terhadap strategi pembatasan yang diterapkan negara-negara Barat. Meskipun demikian, Tiongkok mulai mengatasi masalah ini dengan mempercepat pengembangan semikonduktor domestik melalui investasi dan dana dari pemerintah, seperti Dana Investasi Industri Sirkuit Terpadu Nasional (CICF).
Di sisi lain, ada juga kekhawatiran internasional terkait privasi data, sensor informasi, dan kontrol yang ketat dari negara terhadap teknologi domestik. Keberadaan perusahaan-perusahaan seperti Huawei dan ByteDance yang terhubung erat dengan kebijakan pemerintah membuat sejumlah negara khawatir terhadap risiko keamanan informasi. Tiongkok berusaha menangani masalah ini dengan pendekatan regulasi yang adaptif, menciptakan kebijakan yang seimbang antara mengembangkan teknologi dan menjaga stabilitas sosial serta keamanan nasional.
Tantangan internal lainnya adalah kesenjangan digital yang ada di antara wilayah-wilayah di Tiongkok. Sementara kota-kota besar seperti Shenzhen dan Beijing berkembang pesat, daerah-daerah yang lebih terpencil seringkali tertinggal dalam akses terhadap teknologi dan infrastruktur yang memadai. Pemerintah Tiongkok menyadari masalah ini dan mulai melaksanakan kebijakan untuk mengurangi kesenjangan digital melalui penyediaan akses teknologi yang lebih merata di seluruh negeri.
Penyelesaian untuk tantangan ini terletak pada adaptasi strategis yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok untuk terus mempercepat pengembangan teknologi domestik dan memperkuat kolaborasi internasional. Dalam menghadapi tantangan geopolitik,
Tiongkok memperluas kerja sama teknologi dengan negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Global South, yang dapat memberikan keuntungan dalam memperluas jaringan pasarnya. Selain itu, Tiongkok terus memperkuat kebijakan “kedaulatan digital”, yang memungkinkan negara tersebut mengontrol teknologi yang berkembang sambil tetap berperan dalam sistem global.
Transformasi menuju China 5.0 juga membawa dampak luas terhadap dinamika kekuasaan digital global. Tiongkok tidak hanya ingin menjadi mandiri secara teknologi, tetapi juga berambisi untuk memimpin dalam tata kelola digital dunia. Ambisi ini membuka perdebatan mengenai keseimbangan antara inovasi dan regulasi dalam sistem global yang semakin terfragmentasi. China 5.0 menjadi model bagi negara-negara berkembang untuk merumuskan kebijakan teknologi yang berfokus pada kemandirian teknologi dan peran aktif dalam inovasi global.
Tiongkok masih menghadapi tantangan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, transformasi menuju China 5.0 menandai langkah besar dalam perjalanan negara ini untuk menjadi pemimpin teknologi global. Model pembangunan teknologi Tiongkok memberikan pelajaran penting bagi negara berkembang, termasuk
Indonesia, untuk memikirkan cara mengembangkan kapasitas teknologi domestik, membangun ekosistem inovasi yang berkelanjutan, dan meningkatkan daya saing dalam pasar teknologi global.
Baca Juga: One China Policy Kembali Membuat Taiwan Kehilangan Negara yang Mengakuinya
Kesimpulan
China 5.0 menggambarkan fase transformasi terbaru Tiongkok menuju negara superpower berbasis teknologi, di mana kebijakan negara, riset inovatif, serta kekuatan ekonomi digerakkan secara terintegrasi untuk mendominasi lanskap teknologi global. Melalui program- program besar seperti Made in China 2025, pembangunan kawasan industri teknologi tinggi, serta investasi masif dalam kecerdasan buatan, 5G, dan big data, China berhasil menggeser perannya dari sekadar pusat manufaktur dunia menjadi pelaku utama dalam penciptaan dan penguasaan teknologi mutakhir. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan teknologi raksasa seperti Huawei, Tencent, Alibaba, dan Baidu menunjukkan sinergi yang khas dari sistem politik Tiongkok, di mana peran negara sangat kuat dalam menentukan arah inovasi.
Kebangkitan teknologi ini tidak terjadi tanpa tantangan. China menghadapi tekanan geopolitik, perang dagang, dan isu- isu etika seperti pengawasan massal dan pelanggaran privasi yang memunculkan kritik dari komunitas internasional. Meskipun demikian, pendekatan jangka panjang, fokus pada pengembangan SDM berbasis STEM, serta dorongan kuat terhadap kemandirian teknologi membuat posisi Tiongkok kian kokoh di peta teknologi global. Oleh karena itu, pemahaman tentang China 5.0 tidak hanya penting dalam konteks persaingan geopolitik, tetapi juga menjadi refleksi bahwa masa depan teknologi dunia kini tidak hanya ditentukan oleh Barat, melainkan juga oleh kekuatan baru dari Timur yang semakin progresif dan terorganisir.
Penulis: Yovan Athillah Ridhwana (07041282227145)
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya
Aktif juga di IRSSA/ Himpunan Mahasiswa HI
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Daftar Pustaka
Koty, A. C. (2020). What is Made in China 2025 China Briefing. Retrieved from https://www.china- briefing.com
Lee, K. (2018). AI Superpowers: China, Silicon Valley, and the New World Order. Boston: Houghton Mifflin Harcourt.
Creemers, R. (2018). China’s Social Credit System: An Evolving Practice of Control. SSRN Electronic Journal.
Segal, A. (2019). China’s Vision for Cyber Sovereignty and the Global Internet. Council on Foreign Relations.
Kuo, J. C. (2021). Digital Silk Road and the
Geopolitics of China’s Rise in Technology. Asia & the Pacific Policy Studies.
Segal, A. (2018). The Hacked World Order: How Nations Fight, Trade, Maneuver, and Manipulate in the Digital Age. New York: PublicAffairs.
Koty, A. C. (2020). “Made in China 2025: Background and Implications.” China Briefing.
Li, X. (2021). “China’s AI Development Strategy: Policy, Progress and Challenges.” Journal of Strategic Technology, 11(2), 45–67.
OECD. (2023). Digital Transformation in China: From Innovation to Global Leadership. Paris: OECD Publishing.
Zenglein, M. J., & Holzmann, A. (2019).
Evolving Made in China 2025: China’s Industrial Policy in the Quest for Global Tech Leadership. MERICS.
World Economic Forum. (2022). China and the Fourth Industrial Revolution: New Frontiers in Tech. Geneva: WEF.
Kania, E. B. (2019). “Technonationalism and China’s AI Ambitions.” Center for a New American Security (CNAS).
IMF. (2023). China’s Tech Growth
and Global Economic Impact. Washington D.C.: International Monetary Fund.
Ding, J. (2018). Deciphering China’s AI Dream: The context, components, capabilities, and consequences of China’s strategy to lead the world in AI. Future of Humanity Institute, University of Oxford.
Laskai, L. (2018). Why China’s AI Push Worries the West. The Atlantic.
Weinland, D. (2020). How China built a hyper-modern surveillance state. Financial Times.
Zhou, Y. (2021). Technonationalism and the US-China Tech War. Asia Global Papers.
Ikuti berita terbaru di Google News