Perkembangan teknologi dan digitalisasi telah membawa arus informasi yang tiada henti dan serba cepat di hampir setiap lini kehidupan.
Di tengah dinamika ini, manusia modern dihadapkan pada tekanan yang semakin kompleks dan multidimensi.
Tuntutan akademik yang tinggi, ekspektasi sosial yang terus meningkat, hingga tekanan psikologis yang tak jarang datang dari dunia nyata maupun dunia maya.
Dalam menghadapi realitas ini, kemampuan untuk menemukan dan mengembangkan mekanisme coping (coping mechanism)—cara individu dalam merespon tekanan emosional—menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa diabaikan, khususnya bagi Generasi Z (kelahiran 1996-2010) yang tumbuh di era ini.
Baca juga: Syarat dan Cara Gen-Z Jadi Affiliate Marketing TikTok
Beberapa bulan terakhir, sebuah tren bernama “velocity” menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan Generasi Z di platform seperti TikTok dan Instagram.
Fenomena ini tidak hanya muncul sebagai tren viral biasa, tetapi juga sering kali diklaim sebagai salah satu bentuk coping mechanism ala Generasi Z dalam menghadapi tekanan hidup.
Menariknya, klaim ini tentu saja memantik rasa ingin tahu untuk mengkajinya lebih dalam.
Apakah tren velocity memang efektif sebagai strategi adaptif untuk coping mechanism? Ataukah ia lebih hanya sekadar bentuk pelarian emosional yang bersifat sementara (emotional escapism) yang tidak menyentuh akar permasalahan stres itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan inilah menjadi urgensi untuk memahami dan menilai fenomena ini secara lebih objektif dan ilmiah.
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami terlebih dahulu apa itu velocity. Secara harfiah, velocity dalam bahasa Inggris berarti kecepatan atau percepatan.
Namun, di TikTok, istilah ini merujuk pada tren video yang menampilkan gerakan tangan yang sinkron dengan irama lagu .
Umumnya lagu yang telah di-remix untuk menonjolkan beat tertentu, lalu dipadukan dengan efek editing khas di akhir video.
Efek ini menciptakan tampilan patah-patah dengan kombinasi gerakan lambat (slow motion) dan cepat (fast motion). Tren ini terus berkembang dengan berbagai variasi, seperti velocity pro, velocity pro max, velocity ultra pro, hingga velocity versi daerah dan suku, dengan tingkat kesulitan yang semakin menantang.
Keunikan dan kompleksitas tersebut justru membuat banyak Gen Z tertarik untuk mencoba, sehingga velocity menjadi hiburan yang dianggap mampu meredakan beban pikiran hanya dengan menonton video singkat berdurasi hitungan detik.
Dalam dunia psikologi, coping mechanism dipahami sebagai proses dinamis di mana individu secara terus-menerus mengubah pikiran dan perilaku mereka untuk merespons tekanan serta tuntutan yang mereka hadapi (Ambarsarie et al., 2021).
Coping tidak bersifat tunggal, melainkan diklasifikasikan menjadi dua tipe utama, yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping menekankan pada usaha langsung untuk mengatasi sumber stres, sementara emotion-focused coping berfokus pada upaya mengelola emosi yang ditimbulkan oleh stres tersebut (Arija et al., 2024).
Pemahaman tentang klasifikasi ini penting dalam membedah berbagai strategi yang diadopsi generasi saat ini, termasuk tren seperti velocity yang marak di kalangan Generasi (Gen) Z.
Baca juga: TikTok: Mendorong Kreativitas atau Konformitas di Kalangan Gen Z?
Jika ditinjau dari perspektif filsafat ilmu, fenomena penggunaan velocity sebagai coping mechanism oleh Gen Z dapat dianalisis melalui tiga landasan utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Dari aspek ontologis, objek kajian kita adalah realitas sosial dan psikologis yang dialami Gen Z, termasuk tekanan akademik, sosial, dan emosional yang melatarbelakanginya.
Secara epistemologis, penting untuk memperoleh pengetahuan tentang tren ini melalui pendekatan ilmiah, bukan sekadar asumsi populer di media sosial.
Sementara dari sudut pandang aksiologis, perlu dilihat bagaimana nilai dan dampak dari praktik ini memengaruhi kesejahteraan mental serta dinamika sosial mereka.
Dalam kerangka logika penyelidikan ilmiah, sebuah pengetahuan disebut ilmiah jika memenuhi kriteria sistematis, rasional, objektif, dapat diuji, serta terbuka terhadap kritik.
Meskipun mampu velocity memberikan kelegaan emosional bagi sebagian besar Gen Z, namun belum memenuhi standar ini.
Pengalaman dalam menikmati atau membuat video velocity bersifat sangat subjektif, berakar pada pengalaman personal, dan sejauh ini belum banyak mendapatkan validasi melalui penelitian psikologi klinis.
Oleh karena itu, dalam konteks ilmiah, tren velocity lebih tepat dikategorikan sebagai pengetahuan non-ilmiah: pengetahuan berbasis komunitas digital yang berkembang dengan berlandaskan pada persepsi dan pengalaman subjektif tanpa metode verifikasi ilmiah yang kredibel.
Tren velocity memang membawa manfaat jangka pendek, seperti memberikan hiburan, menjadi pelarian dari tekanan sehari-hari, dan menyediakan ruang untuk ekspresi kreativitas.
Namun, dampak jangka panjangnya tidak selalu bersifat positif. Ketergantungan pada media sosial, serta dorongan untuk terus tampil menarik di hadapan publik, dapat menimbulkan beban psikologis yang serius.
Fenomena seperti Fear Of Missing Out (FOMO) dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain di dunia maya memperburuk kondisi kesehatan mental, khususnya di kalangan Gen Z yang sangat rentan terhadap tekanan sosial semacam ini.
Dengan kata lain, alih-alih sepenuhnya meredakan stres, konsumsi tren velocity secara berlebihan justru berpotensi memperparah tekanan emosional yang dialami.
Lebih luas lagi, mengikuti tren-tren seperti velocity berkaitan erat dengan mekanisme biologis dalam sistem saraf manusia, terutama peran neurotransmiter dopamin.
Dopamin merupakan senyawa kimia penting yang mengatur suasana hati, motivasi, pembelajaran, dan keterlibatan dalam perilaku adiktif (Saras, 2023).
Ketika seseorang menerima feedback positif seperti likes, komentar, atau share di media sosial, kadar dopamin dalam otak meningkat, menciptakan rasa senang dan kepuasan sesaat.
Kondisi ini memperkuat terbentuknya pola reward loop, di mana individu terdorong untuk terus mencari validasi eksternal melalui produksi konten serupa (Susanti, 2025).
Dalam konteks ini, tren velocity tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga berisiko menangkap pengguna dalam siklus adiktif yang sulit diputuskan.
Tren velocity sebagai coping mechanism yang populer di kalangan Gen Z merupakan cerminan nyata dari perubahan sosial di era digital yang serba cepat dan penuh tekanan.
Meskipun tren ini mampu memberikan hiburan serta pelarian emosional dalam jangka pendek, efektivitasnya sebagai solusi jangka panjang untuk mengelola stres masih belum didukung oleh bukti ilmiah yang kuat.
Oleh karena itu, penting untuk melihat fenomena ini bukan sekadar sebagai hiburan, melainkan sebagai bagian dari diskusi yang lebih luas tentang bagaimana generasi muda menghadapi tantangan psikologis di zaman modern.
Generasi muda perlu didorong untuk tidak hanya menjadi pengikut tren secara pasif, melainkan mampu mengembangkan sikap kritis dan menggunakan pendekatan ilmiah dalam memilih strategi coping yang sehat dan berkelanjutan.
Dengan cara ini, mereka tidak hanya menjaga kesehatan mentalnya, tetapi juga memperkuat kemampuan berpikir logis dan kritis yang sangat dibutuhkan di era digital saat ini.
Sebagaimana Najwa Shihab pernah berkata, “Indonesia tak tersusun dari batas peta, tapi gerak dan peran besar kaum muda.” Maka dari itu, peran aktif dan kesadaran kritis Gen Z akan menjadi kunci penting dalam membentuk masa depan yang lebih sehat dan berdaya.
Penulis: Amanda Zackiah Chairan
Mahasiswi Psikologi, Universitas Brawijaya
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al
Reference:
Ambarsarie, R., Yunita, E., & Sariyanti, M. (2021). Strategi coping stress pada generasi z. Unit Penerbitan dan Publikasi FKIP Univ. Bengkulu (Issue June). https://www. researchgate. net/publication/353945593.
Arija, H. H., Saraswati, S. D., & Khotimah, P. A. J. F. (2024). Strategi Coping Mechanism Pada Perempuan Generasi Z yang Bekerja. YUME: Journal of Management, 7(3), 661-673.
CNN Indonesia. (2025, 20 Maret). Mengenal tren ‘velocity’ yang viral di media sosial. CNN Indonesia. Diambil dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20250320042839-277-1210871/mengenal-tren-velocity-yang-viral-di-media-sosial
Elvika, R. R., & Tanjung, R. F. (2023). Analisis strategi coping generasi Z: Tinjauan terhadap emotion-focused coping dan problem-focused coping. Consilium: Berkala Kajian Konseling dan Ilmu Keagamaan, 10(1), 19-31.
Pujiati, M., & Komarudin, K. (2024). Hubungan antara Strategi Coping dengan Psychological Well-Being pada Generasi Z. Jurnal Syntax Admiration, 5(9), 3616-3627.
Salsa (2025, 16 Maret). KOL.ID Report: Velocity Tren TikTok, Pengertian dan Faktor Psikologis yang Membuat Content Creator Terpikat. KOL.ID. Diakses dari https://kol.id/blog/kol-id-report-velocity-tren-tiktok-pengertian-dan-faktor-psikologis-yang-membuat-content-creator-terpikat
Saras, T. (2023). Dopamin: Molekul Kesenangan dan Kekuatan Motivasi. Tiram Media.
Susanti, Y. R. (2025, 21 Maret). 4 Sehat, 5 Velocity: Tren Gen Z yang Jadi Obat Stres?. LPM Manunggal Undip. Diakses dari https://manunggal.undip.ac.id/11000-2/
Ikuti berita terbaru di Google News