Hadis Dhaif yang Terlanjur Populer, Bolehkah Diamalkan?

hadis dhaif

Dewasa ini banyak sekali pendakwah, penulis maupun ustadz yang menyampaikan kajiannya menggunakan dalil hadis. Tentu saja ada banyak hadis populer yang sering kita dengar, seperti hadis-hadis tentang keilmuan. Seperti hadis أطلبوا العلم ولو با الصين (tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina)

فريضةٌ على كلّ مسلمة  طلب العلم (mencari ilmu itu kewajiban bagi orang muslim laki-laki maupun perempuan)

أُطلبوا العلم من المهد إلى الّحد (tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat).

Bacaan Lainnya

Jika membaca kembali hadis tersebut, mungkin ada satu atau bahkan semua hadis di atas pernah kita dengar atau bahkan sudah kita hafal. Penulis sendiri sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar sudah menghafalkan hadis tersebut, karena termasuk tugas mata pelajaran agama Islam.

Hadis tentang keilmuan sering digaungkan didepan para pelajar, hal ini dimaksudkan untuk memotivasi para pelajar agar mempunyai semangat berilmu tinggi, sekaligus sebagai ajaran untuk terus belajar, berpendidikan, bersekolah agar menguasai ilmu pengetahuan.

Baca juga: Hadist Dhaif dalam Praktek Fadhailul Amal

Namun budaya yang mengakar pada mayoritas masyarakat kita adalah masyarakat tidak tahu menahu tentang kualitas hadis, masyarakat lebih tertarik pada penjelasan makna hadis dan keutamaannya dari pada penjelasan yang rumit tentang pembahasan status sanad dan matan, yang terpenting subtansinya baik dan tidak bertentangan dengan ajaran pokok al-Qur‘an, maka hadis tersebut boleh diamalkan. Seperti hadis tentang Maulid yang kini telah menjadi tradisi Maulidan di masyarakat.

Namun apakah kita mengetahui bagaimana kualitas hadis tersebut? Bagaimana jika ternyata hadis yang populer selama ini adalah hadis dhaif, apakah hadis tersebut tetap boleh diamalkan, ataukah harus ditinggalkan sepenuhnya? Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk membahasnya secara singkat disini, mengingat hadis-hadis tentang keilmuan ini sangat populer di masyarakat, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Kata hadis berasal dari bahasa arab hadis dengan jamaknya berupa kata ahadis. Dari segi bahasa, kata hadis memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (sesuatu yang baru), al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).

Sedangkan menurut istilah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan (qouli), perbuatan (fi’li), keputusan (taqriri), sifat dzohir atau fisik (khilqi), sifat batin atau akhlak (khuluqi), baik terjadi sebelum kerasulan atau sesudah kerasulan.

Baca juga: Hadist Dhaif dalam Praktek Fadhailul Amal

Berbicara tentang hadis, ulama sepakat bahwa hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Hadis berdasarkan kualitasnya dibagi menjadi tiga yaitu shahih, hasan dan dhaif.

Hadis dhaif sendiri adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahih dan hasan, berupa sanad yang sambung dari awal sampai akhir sanad, perawi yang sifatnya dhabit (tingkat hafalan yang sempurna untuk hadis sahih, dan tingkat hafalan sedang untuk hadis hasan),‘adil (dapat dipercaya), tidak ada pertentangan sanad/syad, tidak ada cacat yang signifikan (illah qodihah), adanya ‘adhit (penolong) berupa jalur periwayatan lain yang dapat mengangkat hadis daif naik ke hadis hasan li ghairi.

Sebagai contoh hadis أطلبوا العلم ولو اب الصن (tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina). Secara redaksional hadis ini tidak ditemukan dalam kutub al-sittah, namun sanadnya dapat ditemukan dalam kitab karangan al-Suyuthi yang berjudul Fath al-Kabir. Menurut Baihaqi hadis ini matannya masyhur tapi sanadnya daif.

Menurut Ibn Hiban riwayat ini Bathil. Menurut al-Sakhawi sanadnya dhaif. Menurut kitab Fayd al-Qadir status hadis ini dinyatakan daif (lemah) sanadnya, namun matannya dinyatakan masyhur.

Menurut al-Suyuthi para ulama berbeda pendapat dalam menentukan statusnya, antara daif dan batal/maudhu’. Akan tetapi sebagian ulama hampir sependapat kalau matannya masyhur. Setelah mengetahui kualitas hadis tersebut, lalu apakah serta merta hadis ini tidak boleh diamalkan?

Imam Syamsuddin bin Abdurrahman al-Sakhawi yang merupakan murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan ada 3 mazhab dalam mengamalkan hadis daif, Pertama: Boleh mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik dalam fadhail a’mal (memperbanyak keutamaan), maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib) dengan syarat dhaifnya tidak daif syadid (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadis tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadis tersebut.

Mazhab ini dianut oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hazm, Imam Abu Hatim al-Razi, Imam al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri.

Kedua: Boleh dan sunah mengamalkan hadis daif dalam hal fadhail a’mal, zuhud, nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadis tersebut bukan hadis maudu’ (palsu).

Ini adalah mazhab jumhur ulama dari muhadisin, fuqaha’, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, dan Imam al-Sakhawi. Para ulama mensyaratkan tiga hal dalam mengamalkan hadis daif untuk fadhail a’mal, yaitu: 1.Hadis tersebut tidak boleh daif syadid, 2.Hadis tersebut masuk dalam salah satu kaidah syariat Islam, 3.Ketika mengamalkannya kita tidak boleh meyakini kebenaran hadis tersebut, supaya tidak menisbatkan sesuatu yang tidak diucapkan oleh Rasulullah.

Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik dalam hal fadahil a’mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah mazhab Imam Abu Bakar Ibnu al-Arabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani.

Hadis daif memiliki macam-macam yang sangat banyak, yang kesemuanya tidak bisa dihukumi untuk ditolak. Ada hadis daif yang bisa diamalkan, seperti hadis daif yang yang disebabkan terputusnya sanad, atau karena majhul, yang mana kedaifan hadis tersebut dikategorikan ringan.

Baca juga: Mengenal Lebih dalam Kutubut Tis’ah Menurut Prespektif Ilmu Hadist

Dan ada hadis daif yang tidak bisa diamalkan, seperti hadis daif yang disebabkan adanya perawi yang banyak salah dan lupanya dan ada hadis daif yang tidak bisa diamalkan, seperti hadis daif yang disebabkan adanya perawi yang banyak salah dan lupanya (munkar), atau adanya perawi yang dituduh berdusta (matruk), atau perawi yang pendusta (maudhu’).

Untuk pengamalan hadis daif tersebut bisa diamalkan dalam hal fadhail a’mal, mauidhoh, kisah dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan para muhadisin. Jadi mengamalkan hadis daif dalam fadhail a’mal ini diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan dan ini merupakan pendapat yang sudah disepakati para muhadisin dan fuqaha’.

Penulis: Lina Fatikasari
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI