Hadist Dhaif dalam Praktek Fadhailul Amal

hadis dhaif

Pendahuluan

Hadist Nabi memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting dalam Syari’at Islam. Di samping dalam pen tasyri’an suatu hukum maupun sebagai petunjuk kehidupan. Sejak awal perkembangannya, eksistensi hadist banyak menuai kritikan dari masa sahabat, tabi’in, ulama mutaqaddimin sampai sekarang.

Pada masa Imam Syafi’i (W. 204 H) munculnya sekelompok yang mengingkari kehujjahan hadist ahad, sehingga pada waktu itu Imam Syafi’i menjawab kritikan mereka dengan menulis buku yang sangat monumental dalam kitab “Ar-Risalah”.[1]

Pada masa Imam Assuyuthi juga muncul sekelompok Zindik dan Rafidhoh garis keras yang mengingkari kehujjahan hadist sebagai hukum Islam, dan hanya mengambil hujjah berdasarkan Al-Qur’an. Kemudian Imam Assuyuthi mengritik mereka dan mempertahankan sunnah dalam kitabnya yang berjudul “ Mifathul Jannah Fil Ihtijaj Bis Sunnah “.[2]

Bacaan Lainnya

Dan di masa sekarang, kritikan terhadap hadist terus menerus bermunculan, sebagian kelompok bermunculan, di antaranya ada kelompok yang membenci dan merendahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Bahkan di sisi lain ada kelompok yang mengingkari hadist/sunnah dan hanya berpegang kepada Al Qur’an. Dan di sisi lain juga muncul kelompok yang mengkritik para imam muhaddits seperti Imam Bukhari dan Muslim. Dan masih banyak bermunculan golongan yang membenci para sahabat nabi.

Di antara banyaknya isu-isu yang berkembang hadist dhaif lah yang menjadi isu paling dikritik pada era sekarang. Sebab, banyak dari golongan yang mengingkari hadist dhaif sebagai hujjah.

Pada masa sekarang munculnya golongan baru yang mengaku ahlus sunnah wal jama’ah akan tetapi tidak paham dengan sunnah itu sendiri, mereka hanya belajar dari buku, bahkan tidak memiliki guru, suka membidh’ahkan sesama, bahkan tidak jarang sampai mengkafirkan. 

Golongan ini berpaku taqlid kepada ulama mereka,tidak menerima pandangan atau penjelasan daripada ulama lain. Golongan ini beranggapakan bahwa hadist dhoif secara mutlak ditolak tidak dapat diamalkan, padahal sebenarnya hadist dhoif menurut para ulama masih bisa digunakan dalam hal fadhoilul amal (keutamaan amalan), bahkan dalam persoalan fiqih sekalipun,selama tidak ditermukannya adanya indikasi dalil yang melarang hal tersebut.

Baca juga: Mengenal Pentingnya Mempelajari Ulumul Hadis

Pembahasan

1. Pengertian Hadist dan Kehujjannya

Kata hadist diartikan juga sebagai khabar ( berita) dan al qarib ( sesuatu yang dekat )[3]. Menurut terminologi hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan, baik yang terjadi sebelum kenabian ataupun sesudah kenabian. Dan juga sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

Hadist merupakan sumber hukum tertinggi setelah Al qur’an. Posisi hadist sebagai hujjah memiliki peranan penting dalam syari’at islam, sebab hadist melengkapi apa yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam alqur’an. Namun sayangnya, masih ada segelintir kelompok yang mengingkarinya.

Banyak ayat Alqur’an dan Hadist yang menjelaskan bahwa hadist merupakan sumber hukum islam yang wajib ditaati, baik dalam hal perintah maupun laranganyya.

a. Dalil Al-Qur’an

Allah berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

59. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Artinya:”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr: 7)

Dari dua ayat di atas sangat jelas bahwa kita wajib mengikuti perintah rasulullah, yang mana tertuang dalam hadist.

b. Dalil dari Hadist

Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa telah sampai kepadanya hadis bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

« تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Aku telah tinggalkan kepada kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunah nabi-Nya.” (HR. Malik dalam al-Muwatha‘)

Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.

2. Pembagian Hadist Dhaif

Hadist dhaif adalah hadist yang tidak memenuhi syarat hadist shohih dan hasan. Adapun syarat hadist shohih dan hasan adalah sebagai berikut :

  1. Sanad yang sambung dari awal sampai akhir sanad.
  2. Perawi yang sifatnya ‘adil (dapat dipercaya).
  3. Memiliki dhobit (tingkat hafalan yang sempurna untuk hadist shohih, dan    tingkat hafalan sedang untuk hadist hasan).
  4. Tidak ada pertentangan sanad (syad).
  5. Tidak ada cacat yang signifikan (illah qodihah).
  6. Adanya ‘adhit (penolong) berupa jalur periwayatan lain yang dapat mengangkat hadist dhoif naik ke hadist hasan li ghoiri[4].

Dengan demikian, apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka hadist tersebut tergolong kedalam hadist dhaif. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mendeskripsikan hadist dhaif terbagi menjadi dua macam yakni : pertama, terputusnya sanad dan cacatnya perawi hadist. Dari uraian di atas maka muncul beberapa macam hadist dhaif di antaranya :

a). Macam-Macam Hadist Dhaif yang disebabkan Terputusnya sanad :

  1. Hadist Muallaq: hadist yang terputus sanadnya di awal, baik terputus satu rawi atau lebih secara berurutan.
  2. Hadist Mursal: hadist yang terputus sanadnya di akhir setelah tabi’in.
  3. Hadist Mu’dhol: hadist yang terputus sanadnya dua rawi atau lebih secara berurutan.
  4. Hadist Munqoti’: hadist yang sanadnya tidak sambung dengan cara terputusnya sanad di manapun posisinya.
  5. Hadist Mudallis (tadlis): hadist yang aib perawinya (sanadnya) disembunyikan dengan beberapa cara, antara lain: menghilangkan mata rantai sanad yang dhaif diantara dua rawi yang tsiqoh. Ini disebut tadlis taswiyah. Atau dengan cara menyebutkan gurunya dengan sebutan atau julukan yang tidak dikenal audien. Ini disebut tadlis syuyukh.
  6. Hadist Mursal Khofi: meriwayatkan hadist dari orang yang pernah ia temui atau sezaman, akan tetapi riwayat (hadist) tersebut tidak pernah ia dengar darinya.
  7. Hadist Muan’an: hadist yang diriwayatkan dengan menggunakan kata (‘An) fulan (dari si fulan).
  8. Hadist Muannan: hadist yang diriwayatkan dengan menggunakan kata ‚ٌ( أ an ) fulan qola (sesungguhnya si fulan berkata).

b). Hadist Dhaif yang disebabkan cacatnya rawi:

  1. Hadist Maudhu’: hadist palsu, imitasi, yang disandarkan kepada Nabi dari perawi yang pendusta.
  2. Hadist Matruk: hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh berdusta. 3. Hadist Munkar: hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak salah dan lupa.
  3. Hadist Mu’allal: hadist yang terdapat cacat yang signifikan (illah qodihah), yang dapat menghilangkan keshohihan hadist.
  4. Hadist Mudraj: hadist yang matan (redaksi hadistnya) dirubah atau disisipi lafat lain.
  5. Hadist Maqlub: hadist yang sanad atau matannya diganti dari awal ke akhir atau sebaliknya.
  6. Hadist Majhul: hadist yang perawinya tidak diketahui namanya atau status keadaannya.
  7. Hadist Bid’ah: hadist yang diriwayatkan perawi yang aliran atau keyakinannya berseberangan dengan aliran ahlu sunnah wal jama’ah [5].

3. Hukum Mengamalkan Hadist Dhaif

Adapun hukum mengamalkan hadits dhaif, secara teori, imam Syamsuddin bin Abdurrahman al-Sakhowi murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan ada 3 madzhab dalam mengamalkan hadits dhaif, antara lain[6] :

Pertama: Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhailul a’mal, maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib dan lain-lain) dengan syarat dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadits tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadits tersebut. Prof. Dr. Nuruddin itu mengatakan dalam manhaj al-naqd fi ulum al-haditsnya[7] bahwa ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud. Imam Ahmad berkata: hadits dhaif lebih kami sukai dari pada pendapat ulama (ra’yu), karena dia tidak mengambil dalil qiyas kecuali jika tidak ada nash lagi[8], Imam Ibnu Mandah juga berkata: imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad yag dhaif jika tidak ada dalil lain selain hadits tersebut, karena menurut Abu Dawud hadits dhaif lebih kuat dari pada (ra’yu)[9], Prof. Dr. Khalil Mula al-Khatir dalam salah satu kajiannnya yang berjudul “khuthurah Musawati al-Hadits al-Dhaif Bil Maudhu” menyatakan bahwa diantara para ulama hadits dan fuqoha yang mengikuti madzhab ini adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ibnu Hazm, Imam Abu hatim al-Razi, Imam al-Auzai, Imam Sufyan al-Tsauri.

Kedua: Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhailul a’mal, zuhud, nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah. Selama hadits tersebut bukan hadits maudu’ (palsu). Ini adalah madzhab jumhur ulama dari muhaditsin, fuqoha dan ulama yang lain. Diantara ulama yang berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu al Mubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-Nawawi menyatakan kesepakatan ulama hadits, ulama fuqoha dan ulama-ulama yang lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a’mal, zuhud, kisah-kisah dan halhal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan hukum syariat dan akidah akidah.[10]

Dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a’mal, para ulama mensyaratkan 3 hal; yaitu:

  1. Hadits tersebut tidak boleh (Mandzur) syadid dhaif (lemah sekali).
  2. Hadits tersebut masuk dalam salah satu kaidah syariat islam.
  3. Ketika mengamalkannya kita tidak boleh menyakini kebenaran hadits tersebut, supaya tidak menisbatkan sesuatu yang tidak diucapkan oleh baginda nabi.

Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam hal fadahilul a’mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam Abu Bakar Ibnu al Arabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani.

Baca juga: Apa itu Hadist?

Kesimpulan

Dari analisa dan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadist dhaif memiliki macam-macam yang sangat banyak, yang kesemuanya tidak bisa dihukumi untuk ditolak.

Ada hadist dhaif yang bisa diamalkan, seperti hadist dhaif yang yang disebabkan terputusnya sanad, atau karena majhul, dan yang lain yang mana kedhaifan hadist tersebut dikategorikan ringan. Dan ada hadist dhaif yang tidak bisa diamalkan, seperti hadist dhaif yang disebabkan adanya perawi yang banyak salah dan lupanya (munkar), atau adanya perawi yang dituduh berdusta (matruk), atau perawi yang pendusta (maudhu’).

Baca juga: Mengenal Lebih dalam Kutubut Tis’ah Menurut Prespektif Ilmu Hadist

Untuk pengamalan hadist dhaif tersebut bisa diamalkan dalam hal fadhoilul a’mal, mauidhoh, kisah dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan para muhadisin di atas. Mengamalkan hadist dhaif dalam fadhoil a’mal ini merupakan pendapat yang sudah disepakati para muhadisin dan fuqoha’.

Penulis: Najma Tsuroyya
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Daftar Pustaka

al-Khdir, A. K. (1997). Al-Hadist ad-Dhoif Wa Hukmul Ihtijaj Bihi. Riyad: Dar al muslim.

al-Khdir, A. K. (1997). Al-Hadist ad-Dhoif Wa Hukmul Ihtijaj Bihi . Riyad: dar al muslim.

al-Suyuthi, J. (1347 H). Tadrib al-Rawi,. Mesir: al muniriyyah.

Imam al-Nawawi. (1997). al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,. Saudi arabia: Tahkik.

Itr, P. D. (1979). Manhaj al-Naqd Fi Ulum al-Hadits. Beirut: Dar al fikr.

Itr, P. D. (Beirut). Manhaj al-Naqd Fi Ulum al-Hadits. 1979: Dar al fikr.

Mandzur, I. (n.d.). Lisanul Arab (Vol. 2). Dar Shodir,Beirut.

 


[1]  Imam Syafi’I, Kitab ar Risalah (Mesir: Dar al-Wafa’, 2001), 170.

[2] Imam Shuyuthi, Mifathul Jannah Fil Ihtijaj Bis Sunnah, (Kairo: Maktabah al-Muniriyah, tanpa tahun).

[3] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, juz. 2, Hlm. 131, cet. Dar Shodir, Beirut.

[4] Abdul Karim Abdullah al-Khdir, Al-Hadist ad-Dhoif Wa Hukmul Ihtijaj Bihi (Riyad: Dar al-Muslim, 1997),. 58-59.

[5] Mahmud Tohhan, Taisir Mustolah Hadist, (Alexandria: Markaz al-Huda Lid Dirosat: 1415H), 55. Abdul Karim Abdullah al-Khdir, Al-Hadist ad-Dhoif Wa Hukmul Ihtijaj Bihi (Riyad: Dar al-Muslim, 1997),. 63.

[6] Imam Syamsuddin bin Abdurrahman al-Sakhowi, al-Qoul al-Badi’ Fi al-Sholah Ala al-habib al-Syafi’, Dar alRayyan Li al-Turats, Mesir, hal. 256. Lihat juga: Prof. Dr. Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, cet. II, 1979, Hal. 392-294.

[7] Prof. Dr. Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Op. cit, Hal. 392

[8] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Penerbit al-Muniriyyah, Mesir, tahkik. Syaikh Ahmad Syakir, cet I, 1347H, juz. 1, hal. 68. Lihat juga: Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Op. cit, juz. 1, Hal. 374

[9] Ibnu Mandah, Fadl al-Akhbar Wa Syarh Madahib Ahl al-Atsar, Dar al-Muslim, Riyadh, tahkik. Abdul alRahman al-Faryawai, cet. I, Hal. 73. Ibnu Shalah, Ulum al-Hadits, cet. I, 1931M, Halb, hal. 40.

[10] Imam al-Nawawi, al-Adzkar, Maktabah Nazar Mustafa al-Baz, Makkah, cet. I, 1997 juz. 1, Hal. 10-11. Lihat juga: Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Saudi Arabia, tahkik. Muhammad Najib al-Muthi’i, juz. 3, hal. 226

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI