Kedudukan Hadits Tentang Hewan Amfibi

hadis hewan amfibi

Abstrak

Segala sesuatu itu tidak lepas dari hal-hal berikut, yaitu halal, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sementara di dalam Islam semua itu sudah ada aturan dan ukurannya masing-masing.

Karena itu dalam artikel ini akan membahas hadits tentang hewan amfibi, bagaimana kualitasnya, bagaimana pandangan ulama hadits maupun fiqih tentang hewan amfibi. Adapun tujuannya untuk mengetahui kualitas hadits dan hukum mengkonsumsinya menurut pandangan ulama hadits dan fiqih.

Metode yang digunakan dalam artikel ini ialah metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan mengumpulkan buku-buku, kemudian di analisa dengan menggunakan metode takhrij hadits, yaitu meneliti hadits dengan penulusuran hadits dari berbagai kitab sebagai sumber aslinya untuk mengetahui keaslian sanad.

Bacaan Lainnya

Hasil penelitiannya; Hadits tentang larangan membunuh katak termasuk kategori hadits shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Menurut pandangan ulama hadits katak haram dikonsumsi dan dijadikan obat karena membunuhnya saja tidak boleh apalagi menjadikannya sebagai obat. Dan menurut pandangan ulama fiqih mengkonsumsi hewan amfibi termasuk hewan khabais (menjijikkan).

Kata Kunci: Hewan Amfibi; Hukum; Konsumsi.

Pendahuluan

Indonesia salah satu Negara yang mempunyai keanekaragaman hayati cukup tinggi yang tidak lepas dari ondisi geofisik dan letak wilayah Indonesia, selain itu keberagaman ekosistemnya menyebabkan Indonesia dikenal dengan Mega Biodiversity.

Keanekaragaman hayati merupakan suatu komponen yang penting dalam melestarikan bumi dan seisinya, termasuk eksistensi manusia. Salah satunya ialah amfibi atau amfibia (Amphibia), yang umumnya didefinisikan sebagai hewan bertulang belakang (vetebrata) yang hidup di dua alam; yakni di air dan di daratan.

Amfibi merupakan hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu lingkungan. Keberadaan amfibi tersebut dipengaruhi oleh faktor iklim, topografi, vegetasi (Mistar, 2003). Kebanyakan amfibi berkembangbiak di habitat perairan dan pindah ke daratan untuk melakukan kegiatan hidupnya (Trenham dan Shaffer, 2005).

Pada umumnya, amfibi banyak ditemukan di tempat yang lembab agar tetap memiliki kandungan air di dalam kulit, amfibi termasuk hewan berdarah dingin, ini yang menyebabkan amfibi tidak dapat mengatur suhu badannya sendiri. Maka dari itu amfibi membutuhkan sinar matahari untuk menghangatkan badannya.

Amfibi mengawali hidupnya di perairan dan melakukan pernafasan menggunakan insang, seiring dengan pertumbuhan paru-paru dan kakinya amfibi pun dapat berjalan di daratan. Amfibi dapat dijumpai di seluruh dunia kecuali di kutub. Mereka menempati sejumlah habitat yang berbeda-beda, seperti hutan hujan, kolam, danau, bahkan di daerah berumput di lereng pegunungan tinggi bahkan juga di gurun. Mereka suka melakukan hibernasi dalam lumpur di dasar kolam jika dalam kondisi dingin.[1]

Metode

Metode yang digunakan dalam artikel ini ialah metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan mengumpulkan buku-buku, kemudian di analisa dengan menggunakan metode takhrij hadits, yaitu meneliti hadits dengan penulusuran hadits dari berbagai kitab sebagai sumber aslinya untuk mengetahui keaslian sanad. Apakah hadits yang dipakai itu shohih apa dhoif, hadits tersebut juga bisa dijadikan hujjah atau tidak.

Pembahasan

Amfibi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu Amphi (rangkap) dan bios (hidup).[2] Hewan yang hidup di dua alam sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah barma’i (برمائي). Kata barma’i merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu barr (بر) yang artinya daratan dan ma’ (ماء) yang artinya air. Secara sederhana artinya ialah hewan darat dan air (amfibi).[3]

Tidak semua hewan amfibi hidup di dua habitat yang berbeda, karena ada yang hidup di air seperti salamander dan di darat seperti beberapa jenis katak. Hewan amfibi dapat bernafas sengan paru-paru atau insang.[4]

Menurut pendapat mayoritas ulama mengenai hewan amfibi disamakan dengan hewan kebanyakannya ia berada, yaitu dimana tempat ia dilahirkan. Seperti contoh burung laut, para ulama fuqaha berpendapat bahwa burung tersebut dihukumi sebagai hewan darat. Dari ‘Atha diriwayatkan bahwa pendapatnya tentang burung laut tersebut hukumnya menurut tempat dimana kebanyakan hidupnya berada.[5]

Salah satu contoh hewan amfibi adalah katak. Menurut Kamus Besar Indonesia (KBBI), katak adalah binatang yang hidup dua alam, pemakan serangga, berkulit licin, berwarna hijau atau merah kecoklatan, pandai berenang dan kaki belakang lebih panjang dari kaki yang depan.[6]

Ada sebuah hadits yang dikutip dari kitab Bulughul Maram yang terdapat dalam bab makanan sebagai berikut:

(د) حدّثنا محمّد بن كثير, أخبرنا سفيان, عن ابن أبي ذئب, عن سعيد بن خالد, عن سعيد بن المسيّب, عن عبد الرّحمن بن عثمان : أنّ طيّبا سأل النّيّ صلّى الله عليه و سلّم عن ضفدع يجعلها في دواء, فنهاه النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم عن قتلها (رواه أبو داود : 3871)

Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al-Hadits ditemukan lafadz hadits tersebut:

أنّ رسول الله (ص) نهى عن قتل الضفادع (د طب, ن صيد, جه صيد, دى أضاحى)

Berdasarkan petunjuk kamus di atas, maka letak hadits tersebut terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud bab طب, Sunan An-Nasa’I bab صيد, Sunan Ibnu Majjah bab صيد, Sunan Ad-Darimi bab أضاحى.[7]

Berdasarkan dari kitab 9 imam, bunyi haditsnya ialah:

Sunan Abu Daud

حدّثنا محمّد بن كثير, أخبرنا سفيان, عن ابن أبي ذئب, عن سعيد بن خالد, عن سعيد بن المسيّب, عن عبد الرّحمن بن عثمان : أنّ طيّبا سأل النّيّ صلّى الله عليه و سلّم عن ضفدع يجعلها في دواء, فنهاه النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم عن قتلها (رواه أبو داود : 3871)

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Kasir, telah mengabarkan kepada kami Sufyan, dari Ibn Abi Zi’bi, dari Sa’id bin Khalid, Sa’id bin Musayyib, dari Abdurrahman bin Usman r.a. berkata: seorang dokter bertanya kepada Rasulullah SAW tentang katak yang dijadikan obat, maka Rasulullah SAW melarang membunuhnya (HR. Abu Daud: 3871).[8]

Sunan An-Nasa’i

أخبرنا قتيبة قال حدّثنا ابن أبي فديك عن ابن أبي ذئب عن سعيد بن خالد عن سعيد بن المسيّب عن عبد الرّحمن بن عثمان  أنّ طيّبا ذكر ضفدعا في دواء عند رسول الله صلّى الله عليه و سلّم فنهى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم عن قتله (رواه النّسائ : 4360)

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abu Zi’bi dari Sa’id bin Khalid dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Abdurrahman bin Usman bahwa terdapat seorang dokter menyebutka katak sebagai obat di hadapan Rasulullah SAW, kemudian beliau melarang dari membunuhnya (HR. An-Nasa’i: 4360).[9]

Sunan Ad-Darimi

أخبرنا عبيد الله بن عبد المجيد حدّثنا ابن أبي ذئب عن سعيد بن خالد القارظيّ عن سعيد بن المسيّب عن عبد الرّحمن بن عثمان  أنّ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم نهى عن قتل الضّفدع (رواه الدّرمي : 1998)

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Abdul Majid telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi’bi bahwa Rasulullah SAW melarang untuk membunuh katak (HR. Ad-Darimi: 1998).[10]

Sunan Ibnu Majah

حدّثنا محمّد بن بشّار و عبد الرّحمن بن عبد الوهّاب قالا حدّثنا أبو عامر العقديّ حدّثنا إبراهيم بن الفضل عن سعيد المقبريّ  عن أبي هريرة قال نهى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم عن قتل الصّرد و الضّفدع و النّملة و الهدهد (رواه أبن ما جه : 3223)

Artinya: Telah memeberitakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abdurrahman bin Abdul Wahab keduanya berkata; telah memberitakan kepada kami Abu Amir Al-Aqadi telah memberitakan kepada kami Ibrahim bin Al-Fadl dari Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah SAW melarang membunuh Shurad (sejenis burung pipit), katak, semut dan hudhud. (HR. Ibnu Majah: 3223).[11]

Kualitas Perawi dari jalur Abu Daud

Abu Daud

Menurut Abdurahman bin Abi Hatim, bahwa nama Abu Daud adalah Sulaiman bin Al-Asy’as bin Syadad bin Amru bin Amir. Menurut Muhammad bin Abdul Aziz Al-Hasyimi, Sulaiman bin Al-Asy’as bin Basyar bin Syadad. Ibnu Dasah dan Abu Ubaid Al-Ajuri berkata; Sulaiman bin Al-Asy’as bin Ishaq bin Basyar bin Syadad. Beliau lahir pada tahun 202 H dan meninggal di Basrah pada hari jum’at tanggal 16 Syawal 275 H pada usia 73 tahun. Pendapat ulama kritikus hadits tentangnya: Menurut Abdurrahman bin Abi Hatim: Siqah.[12]

Muhammad bin Kasir

Nama lengkapnya adalah Muhammada bin Kasir Al-Ibadi, kuniyah Abu Abdullah Al-Basari, kalangan Tabi’ul Atba kalangan tua. Kuniyah Abu Abdullah, hidup di Basrah dan wafat 223 H. Pendapat ulama kritikus hadits tentangnya: Menurut Yahya bin Ma’in lam yakun bi Siqah, Abu Hatim Saduq, Ibnu Hibban As-Siqat, dan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani Siqah.[13]

Sufyan bin Sa’id

Nama lengkapnya ialah Sufyan bin Sa’id bin Masruq Assauri. Kalangan tua, kuniyah Abu Abdullah, hidup di Kuffah dan wafat 161 H. pendapat ulama kritikus hadits tentangnya: Menurut Malik bin Anas, Yahya bin Ma’in Siqah, menurut Ibnu Hibban termasuk dari para Huffaz Mutqin, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani Siqah Hafidz faqih, Abid, Imam, Hujjah dan Adz-Dzahabi Imam.[14]

Muhammad bin Abdurrahman bin Al-Mugirah bin Al-Haris Ibn Abi Zi’bi

Nama lengkapnya ialah Hisyam bin Syu’bah bin Abdullah bin Abi Qais bin Abdu bin Nasr bin Malik bin Hasl bin Amr bin Lui bin Galib Al-Qurasy Al-Amiri, Abu Haris Al-Madani. Kalangan Tabi’in biasa, kuniyah Abu Al-Haris, hidup di Madinah dan wafat 158 H. pendapat ulama kritikus hadits tentangnya: Menurut Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, An-Nasa’i dan Az-Zahabi Siqah. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani Siqah, faqih.[15]

Sa’id bin Khalid

Nama lengkapnya ialah Sa’id bin Khalid bin Abdullah bin Qariz Al-Kinani Al-Madani, kuniyah Halif Bani Zuhrah. Kalangan Tabi’in pertengahan, hidup di Madinah. Pendapat ulama kritikus hadits tentangnya: Menurut An-Nasa’i dhaif, menurut Ad-Daruqutni Madani, Yahtaju bihi, menurut Ibnu Hibban Siqah, dan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani Saduq.[16]

Sa’id bin Musayyib

Nama lengkapnya ialah Sa’id bin Musayyib bin Hazan bin Abi Wahab bin Amru bin Aiz bin Imran bin Makhzum Al-Qurasy Al-Mahzumi, kalangan Tabi’in tua, kuniyah Abu Muhammad, hidup di Madinah dan wafat 93 H. Pendapat ulama kritikus hadits tentangya: Menurut Ahmad bin Hambal Siqah, menurut Abu Zur’ah Arrazy Siqah Imam, menurut Adz-dzahabi Imam, Ahadul A’lam, Siqah Hujjah dan ahli fiqih.[17]

Abdurrahman bin Usman

Nama lengkapnya ialah Abdurrahman bin Usman bin Ubaidullah bin Usman bin Amr bin Ka’ab bin Sa’id bin Tayyimi bin Murra At-Tayyimi, kalangan sahabat, hidup di Marur Rawdz dan wafat 73 H.[18] Pendapat ulama kritikus hadits tentangnya: Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Adz-Dz-Dzahabi sahabat.

Kesimpulan

Tujuan dibuatnya artikel ini yaitu agar tahu kualitas hadits tentang hewan amfibi hingga bisa atau tidaknya hadits tersebut untuk bibuat hujjah. Dan hasil penelitiannya; Hadits tentang larangan membunuh katak termasuk kategori hadits shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah.

Menurut pandangan ulama hadits katak haram dikonsumsi dan dijadikan obat karena membunuhnya saja tidak boleh apalagi menjadikannya sebagai obat. Dan menurut pandangan ulama fiqih mengkonsumsi hewan amfibi termasuk hewan khabais (menjijikkan).

Penulis: Mohammad Akmal Assyaibani
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia

Daftar Pustaka

Hermawan, Dian Angga. Reptil dan Amfibi. Yogyakarta: Istana Media, 2017.

Sarwat, Ahmad. Halal dan Haram. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Herjuno, Dimas. Vertebrata. Yogyakarta: Istana Media, 2017.

Hanafi, Ahmad. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Bulan BIntang.

Dekdipbup, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Wensink, Arnold John dkk. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faz Al-HAdits. Leiden, 1943.

Abu Daud, Sunan Abu Daud. Beirut: Darul Fikr, 1994.

An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i. Beirut: Darul Fikr, 1994.

Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi. (penerjemah, Ahmad Hotiba, faturrohman). Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Bairut: Darul Fikr, 1994.

Kitab 9 Imam.

Al-Mizzi, Tahzib Al-Kamal.

Ali, Syihab al-Din Ahmad bin Hajar Al-Asqalāni. Tahżib al Tahżib. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Bairut: Darul Fikr, 1994.


[1] Dian Angga Hermawan, Reptil dan Amfibi (Yogyakarta: Istana Media, 2017),55.

[2] Dian Angga Hermawan, Reptil dan Amfibi (Yogyakarta: Istana Media, 2017), 57.

[3] Ahmad Sarwat, Halal dan Haram (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), t. t, 182.

[4] Dimas Herjuno, vertebrata (Yogyakarta: Istana Media, 2017), 15.

[5] A. hanafi, Bidayatul Mujtahid (Jakarta: Bulan BIntang), t. t, 103.

[6] Dekdipbup, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 452.

[7] Arnold John Wensink, dkk, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faz Al-HAdits (Leiden, 1943), Juz 2, 205.

[8] Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut: Darul Fikr, 1994), Jilid 4, 1507.

[9] An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’I (Beirut: Darul Fikr, 1994), Jilid 7, 2372.

[10] Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 212, (penerjemah, Ahmad Hotiba, faturrohman).

[11] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Bairut: Darul Fikr, 1994), 2672.

[12] Kitab 9 Imam.

[13] Al-Mizzi, Tahzib Al-Kamal, jilid 9, 291.

[14] Ibnu Hajar, Tahzib Al-Tahzib, jilid 2, 715.

[15] Al-Mizzi, Tahzib Al-Kamal, jilid 9, 138.

[16] Ibnu Hajar, Tahzib Al-Tahzib, juz 2, 632.

[17] Ibnu Hajar, Tahzib Al-Tahzib, juz 2, 689-691.

[18] Syihab Al-Din Ahmad Ali bin Hajar Al-Asqalani, Tahzib Al-Tahzib, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1995), juz 4, 92.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI