Sungguh terasa nyata suhu rata-rata permukaan bumi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi merupakan salah satu aspek dari pemanasan global.
Pemanasan global atau global warming adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Pemanasan global dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi makhluk hidup di permukaan bumi termasuk umat manusia.
Pemanasan global yang ditandai dengan peningkatan suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan di muka bumi seperti naiknya permukaan laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem (perubahan iklim yang ekstrem) serta perubahan jumlah dan pola presipitasi, terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser sampai dapat menyebabkan punahnya berbagai jenis hewan.
Para ilmuwan yang tergabung di dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengkonfirmasi bahwa pemanasan global yang terjadi sejak pertengahan abad ke-20 adalah hasil dari aktivitas manusia yang terkait erat dengan masalah ekonomi dan politik.
Akan tetapi di lain pihak, ada terdapat beberapa ilmuwan dunia yang tidak setuju dengan berbagai kesimpulan tersebut.
Baca Juga: Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Lingkungan
Golongan ilmuwan ini termasuk di dalam kelompok “pseudoskeptis”. Kelompok pseudoskeptis adalah sebuah pemahaman yang selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Penolakan kelompok pseudoskeptis terhadap pemanasan global ini merupakan antropogenik secara moral dan epistemis yang tidak bertanggung jawab.
Antropogenik mengandung pengertian dibuat atau dihasilkan oleh manusia atau disebabkan oleh aktivitas manusia.
Istilah ini digunakan dalam konteks perubahan iklim global untuk merujuk pada emisi gas yang merupakan hasil dari aktivitas manusia, serta lainnya berpotensi mengubah iklim kegiatan, seperti penggundulan hutan.
Para cerdik pandai dari berbagai latar belakang ilmu memandang bahwa tindakan seperti itu dikonseptualisasikan sebagai kejahatan terhadap manusia. Tuduhan tersebut masuk akal mengingat kenyataan bahwa tindakan tersebut disebabkan oleh manusia atau campur tangan manusia.
Pemanasan global antropogenik dan penyakit dapat dibandingkan dalam hal usaha untuk penyembuhannya/mengatasinya. Apabila kurang tepat dalam penyembuhan dan mengatasinya akan menjadi terminal terakhir dari kehidupan. Mengingat status kejahatan moral terhadap manusia yang sudah sedemikian parah sehingga wajib untuk melakukan divestasi keuangan dari kegiatan yang terkait.
Divestasi sendiri menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Divestasi Terhadap Investasi Pemerintah mengandung pengertian penjualan Surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain.
Untuk menetapkan bahwa kebijakan perusahaan dan politik yang berkontribusi pada percepatan pemanasan global dipahami sebagai kejahatan moral terhadap kemanusiaan dan divestasi bahan bakar fosil dilakukan untuk menghindari kolaborasi dan keterlibatan dalam kejahatan semacam itu.
Usaha umat manusia dalam mengurangi laju pemanasan global salah satunya dengan digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim oleh PBB. Yang terkini telah dilakukan KTT Perubahan Iklim yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia, mulai tanggal 31 Oktober hingga 13 November 2021 dan lebih dikenal dengan COP26 (Conference of the Parties). Kegiatan KTT yang menghasilkan COP 26 tersebut membuat kesepakatan dan penekanan terhadap hal-hal sebagai berikut:
- Meningkatkan komitmen
- Target untuk mengurangi ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil
- Kesepakatan pembayaran kepada negara miskin dan rentan akibat dari emisi (Pengurangan emisi).
- Aturan untuk pasar karbon global (aturan perdagangan karbon)
Dari hasil Kesepakatan dalam COP 26 Glasgow tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan modalitas untuk implementasi yang lebih nyata dari berbagai elemen yang sebelumnya telah disepakati dalam dokumen Paris Agreement yang telah dilaksanakan pada tahun 2015.
Dalam Paris Agreement sebelumnya telah disepakati sebuah persetujuan dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB yang mengawal reduksi emisi karbon dioksida efektif yang berlaku pada tahun 2020.
Sejalan dengan kesepakatan dalam COP26 tersebut, pemerintah Indonesia mengajak kepada semua pihak untuk berjanji bersama-sama melakukan tindakan berdasarkan prinsip-prinsip Konvensi serta Perjanjian Paris.
Sebuah langkah serius telah diambil langsung oleh Presiden Republik Indonesia yang memberikan pernyataan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerjasama, kolaborasi global adalah kuncinya.
Setelah melalui negosiasi yang intens hingga menjelang akhir COP26, akhirnya The Glasgow Pact, yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama telah menghasilkan beberapa hal yang secara eksplisit berencana secara serius mengurangi penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil.
Telah disepakati bahwa sudah sangat mendesak untuk dilakukan pengurangan emisi dan secara paralel akan memberikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka dalam usaha menurunkan emisi serta beradaptasi dengan dampak serta konsekuensi yang akan timbul.
Juga telah disepakati bahwa secara bersama-sama akan terus menjaga suhu bumi supaya tidak naik 1,50 Celsius serta mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam nationally determined contribution (NDC) di setiap negara pada tahun 2022.
Indonesia sebagai salah satu negara peserta KTT tersebut dengan serius merespon terhadap semua kesepakatan dalam KTT. Melalui beberapa kementerian terkait serta beberapa Badan dan Lembaga yang ada, Pemerintah Indonesia membuat program sebagai pola mitigasi terhadap ancaman global warming.
Di Indonesia pengendalian perubahan iklim memerlukan proses nasional dan internasional yang bersifat perulangan dan sinergis. Menurut sumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q Dirjen PPI Indonesia telah meratifikasi UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dengan:
- Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim),
- Meratifikasi kesepakatan Kyoto Protokol melalui UU No. 17 Tahun 2007 tentang Undang-undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
Di Indonesia telah dilakukan berbagai cara untuk mitigasi pemanasan global, namun demikian masih banyak dari manusia yang tidak memedulikan pemanasan global tersebut.
Manusia adalah aktor utama sebagai perusak lingkungan di dunia ini, sehingga harus diberikan kesadaran pentingnya kelestarian alam. Keganasan dan keserakahan manusia dalam merusak lingkungan ini harus mendapatkan sanksi supaya jera.
Tindak Pidana Lingkungan Hidup saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XV, yaitu mulai dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH.
Pasal 97 UUPPLH (Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) menyatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan (rechtdelicten), sehingga maknanya bahwa level perbuatan tercelanya di atas pelanggaran.
Secara umum perbuatan yang dilarang dengan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggarnya dalam UUPPLH yaitu perbuatan Pencemaran lingkungan hidup dan perusakan lingkungan hidup, namun dalam rumusan tindak pidana dalam UUPPLH diatur tidak secara umum tetapi lebih spesifik secara khusus.
Namun demikian meski sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tetapi pelanggaran terhadap kejahatan lingkungan juga masih tetap marak.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya kegagalan dalam implementasi kebijakan UUPPLH. Berbagai faktor yang bisa menjadi penyebab kegagalan implementasi kebijakan, misalnya lemahnya dukungan pemerintah, KKN, rendahnya pengetahuan kelompok sasaran terhadap program yang di implementasikan.
Menurut Sabatier (1986:268) menyebutkan bahwa kegagalan atau keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh:
- Tujuan atau sasaran kebijakan yang jelas dan konsisten;
- Dukungan teori yang kuat dalam merumuskan kebijakan;
- Proses implementasi dalam merumuskan kebijakan;
- Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan;
- Dukungan para stakeholder;
- Stabilitas kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Fenomena di lapangan banyaknya kegagalan dalam implementasi UUPPLH telah dikaji. Berbagai faktor di sinyalir sebagai penyebab kegagalan implementasi kebijakan tersebut, misalnya adanya KKN, kecenderungan untuk menyeragamkan kebijakan, lemahnya dukungan pemerintah dan rendahnya pengetahuan masyarakat.
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan adalah upaya untuk melaksanakan keputusan kebijakan. Yang kemudian model ini menurut saya adalah paling tepat untuk menerapkan implementasi kebijakan UUPPLH.
Menurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) mengklasifikasikan implementasi kebijakan dalam 3 model, yaitu:
- Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
- Variabel intervening, yaitu: variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan pihak luar dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risosisn dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
- Variabel dependen, yaitu: tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan: pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
Beberapa pola mitigasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mitigasi dalam skala makro.
Program penghentian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batu bara.
PT PLN (Persero) Tbk berencana mengganti pembangkit listrik fosil tua dari PLTU batu bara menjadi EBT (Energi Baru Terbarukan) mulai tahun 2026. Penggantian PLTU batu bara menjadi EBT sangat penting karena dapat mengurangi emisi karbon sebagai akibat pembakaran batu bara yang selama ini merupakan penyumbang emisi karbon yang sangat besar. Hal tersebut telah tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030.
Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030 tersebut juga disebutkan bahwa komitmen PLN dengan strategi dedieselisasi dilakukan PLN sebagai upaya mewujudkan komitmen mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Program dedieselisasi pembangkit listrik PLN untuk dikonversi menjadi pembangkit listrik murni EBT atau hybrid kombinasi antara pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit listrik berbahan bakar gas atau LNG.
Program bauran energi dari Kementerian ESDM yang mewajibkan kontribusi pembangkit listrik dari energi terbarukan minimal 17% untuk tahun 2020 dan 23% yang harus dicapai pada tahun 2025 sebagai amanat dari siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor; 126.Pers/04/SJI/2021, Tanggal 7 April 2021 dalam Forum Kehumasan DEN: Menuju Bauran Energi Nasional tahun 2025.
Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan dan mulai berlaku setelah diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2019 (Kompas, 2 September 2019).
2. Mitigasi dalam skala mikro.
Percepatan program Pembangkit Tenaga Surya (PLTS) atap.
Untuk menggugah minat masyarakat dan industri memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya atap, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Melalui revisi aturan tersebut ditargetkan ada sebesar 3,6 gigawatt kapasitas terpasang PLTS atap sampai tahun 2025. Program ini akan memberikan dampak positif bagi negara dengan mengurangi konsumsi batu bara sebesar 2,98 juta ton per tahun
Program percepatan panel surya sekala rumah tangga yang sejalan dengan Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 terus mengalami penyempurnaan kebijakan dengan terbitnya Permen ESDM No. 13 Tahun 2019 Perubahan Atas Permen ESDM No.49 Tahun 2018 (2 September 2019) serta Permen ESDM No. 16 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Permen ESDM No.49 Tahun 2018 (27 September 2019. Kementrian ESDM (NOMOR: 290.Pers/04/SJI/2020 Tanggal: 25 September 2020) terus melakukan program percepatan implementasi PLTS Atap dengan dikeluarkannya kebijakan tentang Akselerasi PLTSA Atap, dengan program Energi Surya Nusantara. Program ini nantinya akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan rentan miskin atau pelanggan PLN yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Program nyata implementasi PLTS atap dengan Program Pemasangan PLTS Atap di gedung pemerintah dan gedung BUMN, Program Pemasangan PLTS Atap di gedung komersil, Program Pemasangan PLTS Atap dalam pembangunan rumah baru (program PUPR dan REI), Program Pemasang PLTS Atap pada pelanggan PLN golongan >1300 VA dengan diberikan insentif atau skema pembiayaan yang menarik (contoh diskon PBB, rebate dan kredit dari bank) serta Program Pemasangan PLTS Atap di rumah pelanggan golongan tarif R1 (pelanggan 450 VA dan 900 VA).
Konservasi Lingkungan
Menghentikan deforestasi dapat mengurangi emisi lebih dari 40 persen dari total pengurangan emisi dengan solusi biaya rendah. Melindungi hutan juga memiliki potensi tertinggi untuk memitigasi perubahan iklim berdasarkan kawasan lahan. Brasil dan Indonesia bersama-sama menghasilkan lebih dari 50 persen emisi karbon akibat kehilangan tutupan pohon di wilayah tropis sehingga memiliki potensi mitigasi terbesar dari deforestasi terhindarkan. Sebagai contoh, memperkuat dan memperluas Moratorium Hutan Indonesia dapat membantu menghindari 427 juta metrik ton emisi negara terkait deforestasi pada tahun 2030. Jika semua negara mencapai NDCnya untuk perubahan penggunaan lahan pada tahun 2030, keseluruhan hutan dunia dapat menyimpan gas rumah kaca lebih banyak dari yang dihasilkan oleh Rusia saat ini.
Konservasi lahan gambut.
Salah satu cara paling efektif untuk menghindari emisi dari hutan dan konversi lahan adalah menjaga dan mengembalikan lahan gambut. Lahan basah adalah jenis tanah yang paling kaya karbon dan menawarkan 14 persen dari solusi iklim alami rendah biaya yang ada, yaitu solusi dengan manfaat terbesar dari luas lahan terkecil.
Dalam setiap hektar gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan 55 metrik ton karbon dioksida setiap tahunnya, hampir setara dengan pembakaran lebih dari 6.000 galon bensin.
Indonesia memiliki potensi tertinggi untuk mendapatkan manfaat mitigasi dari restorasi lahan gambut dan konversi terhindarkan. Melindungi lahan basah juga meningkatkan ketahanan iklim. Bakau melindungi garis pantai dari badai dan peningkatan air laut, sementara lahan basah berfungsi sebagai penahan banjir di tengah curah hujan yang ekstrem yang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan iklim.
Seluruh masyarakat tanpa terkecuali harus mendukung implementasi kebijakan pemerintah dalam hal mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global. Upaya ini akan dilakukan secara terus menerus, komprehensif dan lintas sektoral. Sikap peduli terhadap lingkungan harus ditumbuhkan di masyarakat, bahwa mereka itu adalah bagian dari ekosistem dan lingkungannya.
Baca Juga: Refleksi Desa Wisata di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021
Proses implementasi merupakan proses yang rumit dan kompleks. Menurut Edward III (1980) terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses implementasi kebijakan, antara lain: komunikasi, sumber daya, disposisi atau perilaku dan struktur birokrasi. Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi dalam mencapai implementasi kebijakan publik.
Sumber daya manusia, sarana prasarana, sumber daya finansial perlu mendapat perhatian, Disposisi merupakan faktor penting yang mempengaruhi kebijakan dan insentif menjadi faktor pendorong dalam menjalankan perintah dengan baik. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan.
Penulis: Atik Saraswati
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik
Universitas Brawijaya, Malang
Editor: Diana Pratiwi