Jakarta – Lembaga Pariwisata dan Pecinta Alam Mahasiswa Islam (LEPPAMI) HMI Se-Jakarta turun ke jalan sejak Jum’at (14/08/20) hingga hari ini Minggu (16/08/20). Mereka menolak RUU Omnibus Law Cipta kerja. Terutama mengenai dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masa depan ekologi di Indonesia.
“Berdasarkan kajian dan uraian yang dilakukan oleh Leppami HMI Se-Jakarta sudah sangat jelas. Bahwa keberpihakan RUU Omnibus Law semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi. Serta menguntungkan pengusaha, investor, dan lembaga terkait,” tutur Direktur Leppami HMI Jaksel Azzam Rofiullah dalam press rilis yang dikirim ke redaksi (Minggu, 16/08/20).
Azzam melanjutkan bahwa keberlangsungan lingkungan dan ekologis yang langsung terkait dengan hidup dan penghidupan Rakyat Indonesia diabaikan. Untuk itu, kata Azam, langkah menolak RUU Omnibus Law merupakan tindakan yang sangat rasional dan berprikemanusiaan.
“Berdasarkan kajian yang dilakukan, Leppami HMI Se-Jakarta menyepakai 4 poin utama menjadi landasan penolakan terhadap RUU Omnibus Law yang berkaitan langsung dengan Lingkungan,” tegasnya.
Pertama, Penghapusan Pasal 40 dalam UU 32/2009 Tentang Izin Lingkungan, mengindikasikan bahwa setiap proyek pembangunan atau Bisnis yang beroperasi pada suatu wilayah tidak lagi memperdulikan dan memperhatikan aspek lingkungan.
Tentunya ini akan berdampak terhadap rusaknya ekologi dan tatanan kehidupan masyarakat sekitar yang berdampak langsung pada sumber penghidupan mereka, seperti tercemar nya air laut karena limbah pabrik, rusaknya kualitas tanah pertanian akibat aktivitas pertambangan dan eksploitasi.
Kedua, dengan adanya Omnibus Law ini proses perampasan tanah warga lokal untuk pembangunan semakin dipermudah yang semakin memperparah konflik agraria.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sejak 2014 hingga 2018 terdapat 41 orang tewas, 546 dianiaya, dan 51 orang tertembak akibat letusan konflik agraria yang menyebar mulai dari Riau 42 konflik, Sumatra Utara 23 konflik, Jawa Barat 23 konflik.
Petani, masyarakat adat, dan nelayan juga akan kehilangan ruang hidupnya karena dengan Omnibus Law ini, Pemerintah akan memprioritaskan kepemilikan lahan untuk kepentingan bisnis dan Investasi.
Ketiga, Sebelumnya dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 semua bisnis dan kegiatan perusahaan wajib mempunyai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum beroperasi. Yakni menyangkut lingkungan hidup berupa aspek abiotik, biotik, dan kultural.
Namun pada RUU Omnibus Law Pasal 25 Ayat 3 dinyatakan AMDAL tidak di berlakukan lagi secara keseluruhan hanya Bisnis yang di anggap punya dampak penting bagi lingkungan yang perlu AMDAL.
Akibatnya pihak pengusaha dapat menjadikan Omnibus Law ini sebagai tameng apabila terjadi kerusakan lingkungan akibat kegiatan Bisnisnya, contohnya apabila terjadi pembakaran hutan tidak lagi menjadi tanggung jawab mereka.
Keempat, Pengebirian hak warga negara yakni dengan membatasi masyarakat setempat baik Petani, Nelayan, Masyarakat adat tidak bisa mengajukan gugatan apabila kegiatan bisnis berdampak negatif bagi lingkungan tempat tinggal mereka.
Begitu pun dengan peran dari organisasi lingkungan, pakar teknik lingkungan, dan institusi terkait tidak lagi dilibatkan dalam proses analisis lingkungan./jus
Baca juga:
Hipotesis Omnibus Law Terhadap Ruang Hidup Masyarakat Adat
Omnibus Law: Investor Senang, Buruh Gamang
Kebijakan yang Merampas Hak Rakyat (Omnibus Law)