Baru-baru ini publik digemparkan dengan Rancangan Undang-undang (RUU) yang mengatur investasi dan ketenagakerjaan atau juga dikenal dengan Omnibus Law. Secara harfiah, arti dari Omnibus Law adalah hukum yang mengatur untuk semua Istilah ini bermula dari Bahasa latin yaitu omnis yang berarti “untuk semua” atau dalam artian lain berarti “banyak”. Menurut Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri pada Kompas (29/11/19), Omnibus Law dapat diartikan menjadi Undang-Undang (UU) yang mengatur isu besar dan dapat mengubah atau menghapus beberapa UU. Hal ini menyebabkan banyak UU yang akan dihapus dan digabungkan menjadi satu undang-undang. Pembuatan draf RUU Omnibus Law terkesan sembunyi-sembunyi karena publik dan akademisi tidak dilibatkan dalam penyusunannya. Tentu sikap pemerintah yang demikian membuat pelbagai kalangan publik yang lain marah. Bagaimana tidak, RUU ini diprediksi menjadi pemulus jalan investasi bagi investor dan merugikan buruh.
Pada dasarnya, RUU Omnibus Law berawal dari mandat Presiden Jokowi yang disampaikannya saat Sidang Paripurna MPR RI (20/10/19). Beliau berkata “Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas.” Lalu, berlanjutlah pada pembahasan RUU sebanyak 82 UU yang disodorkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam waktu 3 bulan. Bayangkan saja, apakah bisa satu UU menggantikan 82 UU yang mempunyai detail masing-masing dalam bidangnya? Justru dengan menggabungkan Undang-Undang seperti Omnibus Law akan menyebabkan kehilangan banyak detail dari setiap regulasi yang sudah ada. Banyak regulasi yang seharusnya tidak digabungkan dan memang mempunyai spesifikasi tersendiri pada bidangnya. Hal ini bukan menjadi solusi namun akan memunculkan masalah baru pada birokrasi di pemerintahan. RUU Omnibus Law juga terkesan memihak para investor dan tidak memberikan ruang diskusi serta evaluasi pada buruh yang bekerja dibawahnya.
Media seperti Kompas (26/02/2020) memperkuat kesan dukungan kepada para investor dengan menyertakan fakta bahwa peserta rapat pembahasan RUU Ombibus Law dengan pemerintah banyak dihadiri oleh pelaku usaha dan asosiasi, salah satunya adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Apabila RUU Omnibus Law ini disahkan dalam waktu dekat tanpa ada kritik dan saran serta kajian lebih lanjut, buruh akan mengalami banyak kerugian yang berdampak pada kinerja mereka. Sebut saja dalam draf RUU ini menambah waktu lembur yang semula 14 jam per minggu menjadi 18 jam per minggu. Hal ini membuat waktu kerja para buruh terkesan eksploitatif. Selain itu, ada wacana dalam draf Omnibus Law yang menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK) dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Dampak yang terjadi apabila hal ini disahkan adalah penurunan upah minimum buruh yang berada pada wilayah kabupaten/kota yang trategis. Hal ini dikarenakan upah minimum yang berada pada kota bisa saja lebih tinggi dari provinsi. Sehingga beban kerja yang sudah ada pada wilayah strategis, bisa saja dibayarkan dengan upah mengikuti UMP yang bisa saja lebih rendah dari UMK sebelumnya. Alih-alih akan membuka dan mempermudah lapangan kerja, hal ini dengan perlahan dapat membunuh orang yang bekerja. Bukankah seperti itu?
Dibalik lancarnya bisnis investor yang ada di negeri ini, ada banyak orang yang menjadi buruh yang perlu disejahterakan kehidupannya. Mungkin bukan kesejahteraan buruh yang diutamakan pada rezim sekarang, namun hanya kepentingan segilintir orang yang mempunyai modal yang menyokong pemerintahan dengan uangnya. Pada kenyataannya memang negara memerlukan investasi untuk menambah kas negara. Namun juga tidak harus mengesampingkan nilai-nilai yang seharusnya dipertahankan untuk membela para buruh yang sedang bekerja. Seharusnya pemerintah terbuka dengan masukan dari rakyat agar implementasinya tidak menguntungkan satu pihak saja. Selain itu, ketidakterbukaan seperti ini rawan terjadinya “aturan titipan” dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Apabila proses pembentukan Omnibus Law ini bersih, transparan, dan saling ada koreksi dari pelbagai pihak, maka hal ini akan menjadi solusi terbarukan dari tidak konsistennya regulasi yang ada di Indonesia. Seperti yang dikatakan Wiji Tukhul, apabila nanti kondisinya pemerintah menolak usul tanpa ditimbang dan kritik dilarang tanpa alasan, hanya ada satu kata bagi rakyat: lawan!
Farid Bajuri
Mahasiswa Sampoerna University